Kakak Iparku Adalah Ayah Anakku

Selena duduk di meja area cafetaria, menyesap kopi yang ia seduh dengan wajah masam. Devon benar-bener membuat Selena kewalahan, hingga ia tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk mendorong pria itu pergi.

Untuk beberapa saat, Selena hanya berdiam diri menatap cangkir kopinya yang masih mengepulkan asap ke udara. Sampai saat suara desas desus beberapa pria yang tak jauh di dekatnya, Selena mendongak dan tersandar dari lamunannya. Bisik-bisik itu semakin lama semakin jelas, membuat Selena tidak bisa mengabaikannya.

Di dekat meja pantry, sekumpulan pria sedang bercakap-cakap dengan suara yang sedikit lebih keras dari bisikan.

“Kalian dengar? Selena akan dipindahkan ke Leonard Group. Menarik sekali, bukan? Perempuan itu pasti punya koneksi yang sangat kuat.” ucap pria berkemeja putih sambil menatap Selena terang-terangan.

Selena meremas roknya, tidak bisa breaksi apapun selain jantungnya yang mulai berdebar kencang

Pria 2 menyeringai, kemudian menjawab dengan penuh sindiran. Sama halnya dengan pria berkemeja putih, pria itu juga menatap Selena secara terang-terangan tanpa takut menyinggung perasaan Selena. “Koneksi, ya? Aku lebih yakin itu karena dia punya hubungan khusus dengan Devon. Siapa yang tidak tahu rumor itu? Dia bahkan berani mendorong Devon waktu pertama kali pria itu datang ke sini. Cukup berani untuk seorang pegawai biasa, bukan? Mencurigakan.”

Pria 3 ikut menimpali sambil tertawa kecil, pandangannya menatap Selena penuh penghakiman. “Mungkin itulah cara baru untuk mendapatkan promosi cepat. Menggoda bos besar.” jawabnya lalu ketiga pria itu tertawa. Membuat Selena tidak tahan dan akhirnya dari kursi yang di dudukinya sedari tadi.

Selena menggertakkan giginya, wajahnya mulai memerah mendengar komentar-komentar itu. Selena tahu, tidak peduli seberapa keras dia berusaha, gosip seperti ini tidak akan pernah berhenti. Namun, lebih menyakitkan ketika ia tahu bahwa Devon juga pasti tahu gosip yang mulai beredar ini karena Devon jelas berada di kantor, mungkin mendengar setiap kata itu, dan tidak melakukan apa-apa untuk menghentikannya.

Selena berusaha untuk tetap tenang, tapi hatinya mulai panas. Selena tahu bahwa jika ia bereaksi, itu hanya akan memperburuk keadaan. Namun bisikan-bisikan itu terus menusuk telinganya. Sepanjang lorong Selena berjalan, tatapan orang-orang mulai menghakiminya.

Lalu tidak jauh dari meja kerja Selena, sekelompok wanita yang biasanya ramah kini mulai menunjukkan sikap yang berbeda. Mereka berbicara keras, jelas-jelas mengarah kepada Selena, meski tidak secara langsung menatapnya.

“Kupikir dia sudah punya suami dan anak. Tapi aneh sekali ya, kenapa dia begitu dekat dengan Tuan Devon? Aku tidak mengerti bagaimana seorang ibu bisa begitu tidak tahu malu.” ucap salah satu wanita itu dengan nada setengah berbisik namun cukup keras untuk didengar.

“Suami dan anak di rumah, tapi di kantor mesra dengan pria lain. Aku heran bagaimana dia bisa hidup dengan dirinya sendiri.” jawab wanita lain. Suaranya penuh dengan cemoohan.

“Mungkin itu sebabnya dia dipindahkan. Mungkin Tuan Devon ingin lebih dekat dengannya, siapa tahu? Aku hanya kasihan pada suaminya. Pasti menyakitkan mengetahui istrimu bermain api di belakangmu.”

Tawa kembali menyelimuti Selena. Selena hanya bisa menahan napas, berusaha keras untuk tidak menunjukkan betapa sakitnya dia mendengar kata-kata itu. Wajahnya semakin memerah, bukan karena malu, tapi karena amarah yang ia coba redam. Namun, Selena tetap diam, tidak ingin memberi mereka kepuasan dengan melihatnya bereaksi.

Sementara di pojok ruangan, tidak jauh dari pemandangan ini, Devon berdiri dengan santai. Kedua tangannya ia masukan ke dalam kantung celana. Tatapannya tak lepas dari wajah Selena yang memerah, dan seulas senyum miring terukir di wajahnya. Devon senang melihat Selena terjebak dalam situasi ini, meski ia tidak akan pernah mengakuinya. Bagi Devon, ini adalah bentuk dari pengaruhnya yang tak tergoyahkan atas Selena, meski Devon tahu ini kejam. Tapi tidak ada pilihan lain.

Selena bisa merasakan tatapan Devon di punggungnya, dan hal itu hanya membuatnya semakin kesal. “Ini semua salah Devon,” gumam Selena kesal. Jika bukan karena Devon, gosip-gosip ini tidak akan pernah muncul. Jika bukan karena Devon, Selena tidak akan menjadi pusat perhatian seperti ini dengan segala macam rumor buruk tentang dirinya.

Selena tidak menyukai situasi ini.

Selena mendongak dari komputernya, tatapannya kini bertemu dengan mata Devon yang sedang mengamatinya. Dalam sekejap, Selena merasakan gelombang emosi yang campur aduk—kesal, marah, tapi juga sebuah perasaan yang sulit ia jelaskan, seolah ia tidak bisa benar-benar memutuskan ikatan batin yang masih ada di antara dirinya dan Devon.

Devon hanya membalas tatapan Selena dengan senyuman sinis, seolah menikmati penderitaan yang sedang dialami Selena. Namun, di balik senyuman itu, ada percikan cemburu yang masih terpendam dalam matanya, yang Selena sendiri belum sepenuhnya mengerti.

Selena akhirnya kembali bangkit dari duduknya. Memutuskan untuk menghampiri Devon dan meminta pertanggung jawaban atas semua rumor ini. Selena tidak akan membiarkan Devon atau gosip-gosip ini menghancurkan dirinya.