Ello, seorang dokter pediatri yang masih berduka atas kehilangan kekasihnya yang hilang dalam sebuah kecelakaan, berusaha keras untuk move on. Namun, setiap kali ia mencoba membuka hati untuk wanita lain, keponakannya yang usil, Ziel, selalu berhasil menggagalkan rencananya karena masih percaya, Diana kekasih Ello masih hidup.
Namun, semua berubah ketika Ello menemukan Diandra, seorang gadis misterius mirip kekasihnya yang terluka di tepi pantai. Ziel memaksa Ello menikahinya. Saat Ello mulai jatuh cinta, kekasih Diandra dan ancaman dari masa lalu muncul.
Siapa Diandra? Apakah ia memiliki hubungan dengan mendiang kekasih Ello? Bagaimana akhir rumah tangga mereka?
Yuk, ikuti ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Dalam Ketidak Pastian
Wanita itu terbaring di ranjang, mencoba memfokuskan pikiran yang kabur. "Apa yang terjadi padaku? "Siapa mereka semua?" pikirnya. Dia menatap wajah-wajah yang terlihat khawatir, namun ada satu wajah kecil yang menarik perhatian, Ziel. Dia tampak familiar. "Kenapa aku merasa terhubung dengan bocah ini?"
Saat tangan mungil Ziel menggenggamnya, sebuah kehangatan meresap ke dalam hatinya. Ada sesuatu yang istimewa tentang genggaman ini. Dia mencoba untuk menggali lebih dalam, berusaha mengingat. "Apakah aku mengenalnya?" Namun, otaknya terasa kosong. "Aku tidak bisa mengingat namaku sendiri. Bagaimana aku bisa lupa?" Semua kata tanya itu terus berputar di benaknya.
Dia menatap Ziel yang menunggu dengan penuh harap, wajahnya menunjukkan kerinduan yang mendalam. "Apa yang membuat bocah ini begitu bersemangat untuk melihatku?" Senyuman Ziel yang cerah, meskipun ada kesedihan di matanya, menembus kabut bingung di benaknya. "Ada sesuatu di antara kami. Aku bisa merasakannya. Tapi apa itu?"
"Tante, Tante nggak ingat Ziel?" Pertanyaan bocah itu membuat hatinya bergetar. "Tante? Apakah aku... Tantenya?" Kalimat tanya yang tak terucapkan.
Dia merasakan sakit yang dalam saat menyadari bahwa ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. "Aku tidak bisa memberi kepastian padanya. Kenapa aku tidak ingat? Kenapa semua ini terasa seperti mimpi yang aneh?"
Di tengah keraguan dan kebingungan, satu hal mulai menguatkan hatinya. "Aku bisa merasakan cinta dan perhatian dari mereka, terutama Ziel. Meski aku tidak ingat siapa mereka, ada perasaan yang membuatku ingin melindungi bocah ini. Aku tidak tahu kenapa, tetapi aku ingin mengingat."
Dia tersenyum tipis, dan dalam hatinya muncul harapan kecil. Mungkin, seiring waktu, ingatan ini akan kembali. "Aku ingin tahu siapa aku dan hubungan apa yang membuat kami saling terhubung."
Elin membuka suara, merasakan kasihan pada wanita itu yang terlihat bingung. "Apa tidak sebaiknya kita periksakan dia lebih lanjut untuk mengetahui, kenapa dia tidak bisa mengingat apapun?" tanyanya, suaranya lembut dan penuh kepedulian. Tatapan matanya masih tertuju pada wanita yang mirip Diana itu, seolah berharap jawaban akan datang dari tatapan wanita tersebut.
Ello menyahut, "Iya, Kakak benar. Kita akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut." Ia merasakan beban di hatinya, ingin memastikan wanita itu mendapatkan perawatan yang tepat.
Zion mendesah pelan, mengangguk setuju. "Aku akan meminta Pak Hadi untuk mencari tahu. Mungkin Pak Hadi bisa menemukan keluarganya." Pikirannya melayang, berusaha menyusun rencana agar semuanya segera teratasi.
Elin dan Ello langsung memberikan respon setuju dengan ide Zion. "Baik, itu ide yang bagus," Elin menambahkan. "Kita harus memastikan dia tidak sendirian, dan jika ada keluarga yang mencarinya, mereka perlu tahu."
Ello menatap wanita itu dengan penuh harapan. "Semoga kita bisa menemukan informasi yang berguna." Mereka bertiga berdiri di sana, dikelilingi oleh ketidakpastian, tetapi memiliki tekad yang kuat untuk membantu wanita yang mirip Diana itu.
Wanita itu terdiam, mendengarkan percakapan Elin, Ello, dan Zion dengan penuh perhatian. Dalam hatinya, perasaan hangat mulai merambat, meski bingung tentang siapa dirinya dan mengapa ia berada di tempat ini.
“Mereka peduli padaku,” pikirnya, merasakan kehangatan dalam setiap kata yang diucapkan. “Tapi siapa mereka? Siapa aku? Kenapa aku merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar, namun tak bisa mengingat apa pun?”
Tatapannya beralih antara Elin yang penuh kasih, Ello yang profesional dan penuh perhatian, serta Zion yang penuh harapan. “Ziel… siapa bocah kecil ini? Ada sesuatu yang akrab dalam pandangannya, seolah dia mengenalku. Kenapa hatiku terasa hangat setiap kali ia menatapku? Apakah mereka semua khawatir tentangku? Apakah aku berarti bagi mereka? Rasanya seperti ada sebuah ikatan, meskipun aku tidak tahu dari mana datangnya.” Berbagai pertanyaan terus bergelayut di benaknya.
Wanita itu meremas jemari Ziel yang mungil dengan lembut, merasakan kehangatan dan kekuatan dalam genggamannya. “Aku tidak tahu siapa diriku, tetapi aku ingin percaya bahwa aku adalah seseorang yang dicintai. Mungkin aku tidak ingat sekarang, tapi rasanya, ada sesuatu yang baik dalam diriku. Semoga aku bisa kembali kepada mereka dan menemukan siapa aku sebenarnya.”
Air mata menggenang di sudut matanya, campuran rasa haru dan bingung. “Aku ingin mengingat. Aku ingin tahu. Semoga aku segera menemukan jawaban.”
***
Setelah Ziel dan kedua orang tuanya pulang, suasana menjadi lebih tenang. Wanita itu akhirnya dibawa untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut, dengan Ello yang setia mendampinginya. Beberapa waktu kemudian, setelah serangkaian tes selesai dilakukan, dokter datang untuk memberikan hasilnya.
Dokter menghela napas sejenak sebelum mulai menjelaskan, menatap Ello dan wanita itu dengan penuh pengertian.
“Setelah kami lakukan serangkaian pemeriksaan,” ujar sang dokter dengan nada tenang, “hasil CT scan menunjukkan adanya trauma pada kepala, kemungkinan dari benturan keras yang menyebabkan cedera pada lobus temporal Anda.” Ia memandang wanita itu dengan lembut. “Ini adalah area yang sangat terkait dengan pembentukan dan penyimpanan memori jangka panjang.”
Wanita itu menatapnya bingung, sementara Ello mendengarkan dengan serius.
“Secara medis, kondisi Anda disebut amnesia retrograde, yang artinya Anda kehilangan ingatan terhadap kejadian-kejadian di masa lalu. Terkadang ini terjadi akibat kerusakan jaringan di otak atau gangguan pada sinyal saraf yang bertanggung jawab untuk menyimpan memori,” lanjut dokter.
“Apakah ini … akan pulih?” tanya Ello, sedikit cemas, meskipun sebagian seorang dokter, sedikit banyak ia tahu soal ini, namun ini bukan spesialisasinya.
Dokter radiologi itu mengangguk pelan, seolah memaklumi kekhawatiran itu. “Kemungkinan pemulihannya bergantung pada berbagai faktor. Dalam beberapa kasus, ingatan bisa kembali seiring waktu, terutama jika cedera pada otak tidak terlalu parah dan fungsi saraf mulai pulih. Namun, perlu diingat, ada juga kemungkinan amnesia ini bersifat permanen, terutama jika area yang mengalami trauma sulit untuk sepenuhnya pulih."
Ia lalu menatap wanita itu lagi, tersenyum menenangkan. “Saya akan menyarankan terapi rehabilitasi memori. Kadang-kadang, rangsangan terhadap ingatan-ingatan tertentu atau paparan pada hal-hal familiar dapat membantu pemulihan secara bertahap.”
Wanita itu menunduk, mengerutkan alisnya mendengar penjelasan dokter. Ada kegelisahan yang tumbuh di benaknya, dan sorot matanya mencerminkan kebingungan yang dalam. Perlahan, ia menggigit bibir, ragu untuk mengutarakan pikirannya.
"Saya…," ia terdiam, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Kalau saya memang perlu terapi untuk pulih, tapi…," suaranya melemah, ada kekhawatiran yang jelas terpancar. "Saya tidak tahu apakah saya bisa membayar semua ini. Bahkan… saya tidak tahu harus ke mana setelah ini."
Ello menatapnya penuh empati. Ia bisa merasakan ketakutan dan ketidakpastian yang tergambar jelas di wajah wanita itu. Tanpa memaksa, ia menempatkan tangannya di bahu wanita itu, memberikan dukungan yang tulus.
"Jangan khawatirkan soal biaya dulu," kata Ello dengan nada lembut namun tegas. "Fokus saja untuk memulihkan diri. Saat ini, yang penting adalah memastikan kamu mendapat perawatan yang kamu butuhkan."
Wanita itu menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, terharu atas perhatian yang diberikan padanya, terutama karena ia merasa sangat terasing di tengah situasi ini.
“Tapi … aku benar-benar tidak tahu siapa diriku. Jika nanti ingatanku tidak kembali, bagaimana aku bisa hidup tanpa tahu siapa aku dan tanpa tahu harus ke mana?” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Ello mengangguk penuh pengertian. "Kamu tidak perlu melewati ini sendirian. Kami akan membantumu semampu kami."
Wanita itu menatap Ello, dan sejenak semua kebingungan dan kekhawatiran di benaknya terasa mendesak untuk keluar. Sorot matanya memantulkan perasaan yang tak menentu, ada rasa terima kasih yang mendalam atas perhatian Ello, tapi juga ada keraguan dan ketakutan yang menyelimuti dirinya.
"Kenapa … kenapa kamu begitu baik padaku?" tanyanya, suara lirih namun penuh makna. "Aku bahkan tidak tahu siapa diriku. Aku tidak tahu apa aku pantas mendapat bantuan seperti ini." Ia menatap Ello dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued