Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua
"Tapi, Mbak, kasihan anak-anakku jika harus berpisah dari ayahnya. Aku juga takut jika harus meminta cerai terlebih dahulu," ucap Naii dengan sikap serba salah.
Mbak Fhitry membolakan kedua matanya, ia menatap geram pada Naii yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.
"Naii, cinta boleh, tapi bodoh jangan!" sergah wanita itu dengan kesal. Ia menganggap Naii adalah wanita terbo-doh yang mampu bertahan dengan perangai suaminya tersebut.
Naii terdiam mendengar ucapan dari mbak Fhitry. Ia menatap kedua anaknya yang kini masih memeluknya. Aliyah terlihat menangis karena seringnya melihat perlakuan sang ayah terhadap ibu mereka.
"Ahnaf tidak mau punya Ayah seperti itu. Ayah jahat sama ibu dan kita," ucap Ahnaf tiba-tiba.
"Tuh, kan, mereka saja mendukung saya. Sudahlah, lepaskan saja pria seperti itu, untuk apa juga kamu bertahan," Mbak Fhitry semakin bersemangat memprovokatori Naii.
Naii tampak berfikir. "Baiklah, nanti saya fikirkan, mbak," jawab Naii dengan lemah.
"Syukurlah, semoga mikirnya gak pakai lama, jangan nanti diajak mesra langsung luluh, terus lupa semua perbuatan buruknya," omel mbak Fhitry.
"Assallammualikum," terdengar suara ucapan salam seseorang dari depan pintu.
"Waalaikum, salam," sahut kedua wanita itu bersamaan.
Lalu terlihat pak Kasim berdiri diambang pintu dengan tatapan penagih hutang.
"Naii, mana janji kamu buat bayar kontrakannya? kemarin kamu janjikan hari ini," ucap Pak Kasim dengan wajah sangarnya.
Naii tergugup dan mere-mas jemari tangannya. Ia bingung harus menjawab apa, sebab uang tersebut sudah dibawa kabur oleh suaminya.
Wanita itu menghampiri pak Kasim. Ia meminta penangguhan waktu dan belas kasih pemilik kontrakan yang terkenal sangat kasar tersebut.
"M-maaf, Pak. Saya minta penangguhan waktunya, sebab uangnya dibawa kabur oleh Bang Hardi," jawab Naii jujur, bahkan wajahnya masih terdapat bekas tamparan pria yang tak memiliki rasa iba tersebut.
Kedua bola mata Pak Kasim membeliak. Rasa amarah memuncak diubun-ubunnya.
"Kamu ini selalu saja, besok, besok terus gak ada habisnya. Urusanmu dengan si Hardi jangan dijadikan alasan. Saya tidak mau tau, saya minta uang itu sekarang juga, kalau tidak kamu pergi tinggalkan rumah saya," hardik pak Kasim yang sudah tersulut emosi. Bahkan wajahnya memerah bersama amarahnya yang membuncah.
Naii gemetaran. Bahkan kedua anaknya bersembunyi dibalik tubuhnya karena ketakutan melihat wajah pria paruh baya tersebut.
"Eh, Pak Kasim. Punya perasaan dikit, dong. Naii lagi kesusahan, beri tangguh waktu untuknya mencari uang tersebut," sergah Mbak Fhitry yang juga tersulut emosinya.
Mendengar ucapan mbak Fhitry, pria paruh baya itu semakin terbakar emosinya.
"Eh,Mbak Fhitry, ini usaha saya, ini bisnis dan bukan Dinas Sosial apalagi yayasan sosisal yang bisa menampung para orang-orang miskin seperti mereka secara sukarela. Kalau Mbak Fhitry merasa kasihan, bayarin, dong," jawab Pak Kasim sinis.
Mbak Fhitry semakin kesal. Ingin rasanya ia menjambak kumis pria tua tersebut, tetapi Naii mencoba mencengkram pergelangan tangan wanita itu.
"Baiklah, Pak. Saya akan meninggalkan rumah ini, sebab saya tidak sanggup mengadakan uang tersebut untuk hari ini," jawab Naii.
Terlihat Mbak Fhitry ingin menyanggah ucapan Naii, tetapi wanita itu terlebih dahulu mencegahnya dengan menatap sendu.
Akhirnya mbak Fhitry mengalah dan menghembuskan nafasnya dengan berat.
"Nah, bagus dong, segera kemasi barang-barangmu, lagi pula tidak ada barang yang begitu berarti dirumah ini, semuanya hanya rongsokkan saja," cibir Pak Kasim, yang membuat rasa ngilu dihati Naii. Sehina itukah dirinya dimata orang-orang karena hanya kemiskinannya.
"Dasar, punya mulut tapi kek comberan, gak ada bersih-bersihnya," umpat Mbak Fhitry, yang akhirnya tidak dapat menahan emosinya yang sudah ia tahan sejak tadi.
Pak Kasim mencebikkan bibirnya, kemudian berlalu pergi.
Setelah kepergian pemilik kontrakan tersebut, kedua wanita itu saling pandang. "Maafin, Mbak ya, Nai. Mbak gak bisa bantu kamu untuk nutupin kontrakan. Sebab Mbak baru kirim uang buat Emy menyusun skripsinya, sedangkan Fauzan masih diluar negeri sibuk dengan pekerjaannya dan belum mengirimi Mbak uang," ungkap Wanita itu dengan rasa bersalah karena tidak mampu membantu Naii dalam keadaan tersulitnya.
"Tidak apa, Mbak. Ini memang sudah nasib saya," ucapnya dengan rasa sungkan.
Seketika raut wajah mbak Fhitry berubah menjadi gelisah, "Kamu mau tinggal dimana, Naii? Ini sudah malam. Tidak mungkin kamu mencari kontrakan malam dan membawa barang-barang beserta anak kamu," ucap Mbak Fhitry dengan khawatir.
Naii seketika tercengang. Benar apa yang dikatakan wanita itu. Ia harus kemana, apalagi ia tidak memiliki uang sepeserpun, bahkan perutnya belum sama sekali ia isi.
"Entahlah, Mbak. Mungkin saja saya akan mencari kolong jembatan dan akan tinggal bermalam disana sampai saya memiliki uang untuk membayar kontrakan," ucap Naii dengan perasaan miris dan menahan perih karena melihat kedua anaknya yang tampak memandangnya dengan penuh harapan.
Bahkan Naii tahu jika kedua anaknya itu belum makan sama sekali, sebab persediaan makanan telah habis dan ia belum sempat berbelanja, karena baru selesai berdagang keliling dan uangnya sudah diambil paksa oleh suami tak bergunanya.
Mbak Fhitry tampak prihatin melihat nasib wanita didepannya. Seketika wajahnya sumringah.
"Begini saja, kamu tidur saja dibelakang gudang milik mbak. Nanti kita bersihkan sama-sama. Kalau kamu sudah punya uang, baru kamu cari kontrakan," mbak Fhitri menawarkan bantuannya.
Seketika wajah Naii kembali ceria. "Ya Allah, Mbak. Makasih banyak buat bantuannya. Suatu saat saya akan membalas semua budi baik mbak selama ini kepadaku," ucap Naii lirih.
Mbak Fhitry hanya menyunggingkan senyum datarnya.
"Ya, sudah.. Ayo kita kemasi dulu barang-barang kamu," saran wanita tersebut.
Naii mengangguk dengan lemah, lalu mulai mengemasi barang-barangnya yang tak begitu banyak. Hanya ada selembar kasur lusuh, pakaian yang juga tak begitu layak, karena sudah sangat lama tidak membeli pakaian baru, dan jikapun ada itu karena pemberian mbak Fhitry dari pakaiannya yang sudah tidak muat lagi dengannya dan masih layak pakai.
Tampak Ahnaf yang masih berusia enam tahun dengan cekatan membantu sang ibu mengemasi barang-barangnya, sedangkan Aliyah yang masih berusia tiga tahun, hanya dapat melihat semua kesibukan itu.
Hampir pukul 9 malam, mereka selesai mengemasi barang-barang milik Naii.
Tampak mbak Fhitry membawa gerobak sorong dari rumahnya, dan membantu Naii melansir barang-barang tersebut.
Kegiatan mereka malam ini menjadi tontonan para tetangga. Mereka berkasak-kusuk melihat itu semua. Tak jarang mereka menggunjing dan mencibir nasib Naii yang sangat tragis.
"Mau pindahan kemana, Naii? Diusir dari kontrakan, ya? Sial bener nasibmu," cibir Yani dengan sinis.
"Iya.. Sudah punya laki pemalas, miskin pula," Santi menimpali.
Naii hanya mencoba menutup telinganya dari cibiran para tetangganya.