Terjebak dalam kesalahpahaman di masa lalu, menyebabkan Lauren dan Ethan seperti tengah bermain kejar-kejaran di beberapa tahun hidup mereka. Lauren yang mengira dirinya begitu dibenci Ethan, dan Ethan yang sedari dulu hingga kini tak mengerti akan perasaannya terhadap Lauren. Berbagai macam cara Lauren usahakan untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu, namun berbagai macam cara pula Ethan menghindari itu semua. Hingga sampai pada kejadian-kejadian yang membuat kedua orang itu akhirnya saling mengetahui kebenaran akan kesalahpahaman mereka selama ini.
“Lo bakal balik kan?” Ethan Arkananta.
“Ke mana pun gue pergi, gue bakal tetap balik ke lo.” Lauren Winata.
Bagaimana lika-liku kisah kejar-kejaran Lauren dan Ethan? Apakah pada akhirnya mereka akan bersama? Apakah ada kisah lain yang mengiringi kisah kejar-kejaran mereka?
Mari ikuti cerita ini untuk menjawab rasa penasaran kalian. Selamat membaca dan menikmati. Jangan lupa subscribe untuk tahu setiap kelanjutan ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Choi Jaeyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ice Matcha
Sembari mengikuti langkah Ethan yang menuju ke lantai dua, Lauren tak henti-hentinya merasa takjub dengan suasana café ini. Sepanjang dinding dekat anak tangga, di desain dengan batu bata merah yang tersusun rapi. Di tengah-tengah café itu, terdapat taman kecil yang dihiasi dengan berbagai macam tanaman dan ada satu pohon kecil yang tumbuh tinggi hingga daunnya mencapai ke lantai dua.
Sesampainya Lauren di lantai dua, rasa takjubnya kembali muncul. Ternyata di lantai ini menyediakan suasana rooftop terbuka dengan desain yang hampir sama dengan desain lantai satu, hanya saja kursi yang di sini berbeda bentuknya. Sungguh, Lauren sangat mengagumi semua hal yang ada di café ini.
Coba saja sekarang ada Nathan di sampingnya, mungkin laki-laki itu akan menertawakan dirinya yang seperti baru pernah masuk ke dalam café.
Saat tak sengaja matanya menatap ke arah kursi yang berada dekat dengan dinding berbentuk pintu cekung, tepat di tengahnya kursi itu berada. Di sana sudah ada Ethan yang duduk acuh tak acuh sembari membuka laptopnya.
Pada saat itu pula Lauren baru tersadar, dia masih berdiri di samping pintu yang mengarah ke rooftop. Karena tak ingin merusak suasana hati Ethan, gadis itu dengan cepat melangkahkan kakinya dan duduk di hadapan laki-laki itu.
“Café ini unik banget, baru kali ini gue liat desain interior café yang begini,” ucap Lauren sembari berusaha mengusir hawa canggung di antara mereka.
Ethan lantas menganggukkan kepalanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. “Café ini pake desain interior model bangunan Spanyol, jadi kemungkinan masih jarang ada café lain yang pakai desain begini.”
Ah, begitu rupanya. Pantas saja di bagian café ada beberapa tulisan bahasa asing dan Lauren tak mengerti arti tulisan tersebut, ternyata tulisan-tulisan itu berasal dari bahasa Spanyol. Tetapi Lauren baru menyadari, laki-laki di hadapannya itu lebih dulu memberitahukan hal yang sedari tadi ingin dia nyatakan.
Gadis itu refleks tersenyum tipis, usaha untuk menghilangkan kecanggungan yang dilakukannya sedikit membuahkan hasil. Lauren sangat senang akan hal itu.
Beberapa saat setelah itu, ada seorang waiters yang mengantarkan pesanan mereka. Waiters itu menghampiri mereka dengan senyum ramah dan memindahkan makanan dari nampan ke atas meja dengan berhati-hati. Karena senyum waiters itu, Lauren juga refleks tersenyum hingga memunculkan kedua lesung pipinya.
Entah kenapa Lauren sangat menyukai aura positif yang dipancarkan oleh waiters perempuan itu, dia bahkan ikut membantu memindahkan makanan dari nampan sembari terus tersenyum.
“Maaf kalau saya lancang,” ucap waiters itu tiba-tiba. “Tapi kakaknya cantik banget, trus lesung pipinya bikin kakaknya tambah manis.”
Aduh. Dipuji secara tiba-tiba seperti itu membuat Lauren tersipu malu. Apalagi yang memujinya adalah seorang perempuan, dia jadi tak bisa mengontrol dirinya untuk tidak tersenyum lebar. Lauren juga merasa aneh.
Jika ada laki-laki yang memujinya cantik, manis atau pun itu, dia merasa biasa saja, bahkan dia bisa merasa tengah diolok-olok. Tetapi lain hal jika yang memujinya adalah seorang perempuan, seperti sekarang. Sudah pasti hati Lauren akan langsung meleleh dan tak dapat menyembunyikan semua itu.
“Kamu bisa aja. Tapi, makasih banyak loh,” balas Lauren masih dengan senyum lebarnya. “Kamu juga cantik, vibesnya positif banget. Aku suka liatnya.”
“Terima kasih kembali, kak,” ucap waiters itu sembari tersipu malu karena ucapan Lauren barusan.
“Lo pesan semua ini?” tanya Lauren kepada orang yang di hadapannya tepat setelah waiters tadi pergi.
Selanjutnya Lauren dapat melihat sosok itu menggelengkan kepalanya. “Ice matcha sama nachos buat lo,” tanpa menatap ke gadis itu Ethan mengambil hot cafe latte miliknya. “Lo kan suka matcha dan buat makanannya gue pesan random aja.”
Tunggu sebentar. Apa yang barusan diucapkan Ethan tadi? Laki-laki itu tahu kalau dirinya menyukai matcha? Tapi dari mana dia tahu? Nathan yang berteman akrab dengannya saja tidak tahu kalau dia sangat menyukai matcha. Karena notaben nya memang baru-baru ini juga dia menyukai rasa teh hijau itu. Seketika Lauren menatap Ethan dengan penuh selidik. “Dari mana lo tau gue suka matcha?”
Hampir saja Ethan tersedak setelah mendengar pertanyaan tersebut. Bodoh, kenapa tadi dia berucap seperti itu. Jika sudah begini, Lauren bisa saja tiba-tiba memandangnya dengan perasaan aneh atau bahkan curiga. Tidak, tidak. Ethan tak ingin hal itu terjadi.
“Gue nebak aja, nggak tau malah benar,” ucap Ethan sembari menutupi perasaan paniknya sekuat tenaga.
Tetapi Lauren tak semudah itu percaya dengan ucapan laki-laki di hadapannya itu. Walaupun wajah Ethan terlihat tidak peduli akan keadaan, tapi hal itu tak menutup kemungkinan ada sesuatu yang tengah dia sembunyikan.
Iya, Lauren berpikir seperti itu. Istilah berpisah beberapa tahun, tidak menghilangkan kepekaan Lauren terhadap tingkah Ethan.
“Iyain aja,” Lauren tersenyum tipis. Jika saja mereka seakrab dulu, dia sudah menginterogasi laki-laki di hadapannya itu. Tapi untuk saat ini tidak dulu, mungkin bisa lain kali pikirnya.
Tak ingin menanggapi lebih lanjut, Ethan memilih memutar laptopnya ke hadapan Lauren. “Gue udah bikin beberapa desain yang bakal kita pake buat pameran. Lo tinggal pilih mau pake yang mana.”
“Lo minta gue yang pilih?”
Ethan menganggukkan kepalanya seraya menyeruput minumannya.
“Nggak salah?”
“Kenapa nanya begitu?” tanya Ethan balik.
“Bukannya bagian desain interior harusnya lo yang ngurus? Kenapa malah nyuruh gue?”
“Ya itu, udah gue bikin beberapa desainnya yang sesuai sama tema. Tinggal lo pilih yang mana yang paling pas.”
“Tapi tetap aja, kenapa ha-”
“Nanti kalo nggak gitu, lo bakal aduin gue sama pak Dani.”
Sebelumnya mulut Lauren sudah terbuka karena ucapannya yang dipotong oleh Ethan, tapi setelah mendengar ucapan laki-laki itu mulutnya semakin terbuka lebar.
“Jangan bilang, kalo lo nanggapin serius perkataan gue waktu itu,” ucap gadis itu setelah beberapa saat terdiam. “Gue cuma bercanda elah, Than.”
Ethan mengedikkan kedua bahunya. “Siapa tau lo serius.”
Selanjutnya terdengar suara kekehan dari Lauren. “Nggak lah, santai aja kali,” kemudian dia pun meraih laptop milik Ethan tadi dan memperhatikan dengan seksama tiap gambaran desain yang telah dibuat oleh laki-laki itu. “Kayaknya lebih pas ini,” ucap Lauren sembari kembali memutarkan laptop itu menghadap Ethan.
Desain yang dipilih Lauren adalah sebuah taman rooftop yang memiliki desain tempat yang cukup luas. Lantainya di desain menggunakan susunan papan-papan kayu yang berbentuk kecil hampir di sepanjang rooftop, dan hanya menyisakan sedikit bagian kecil di pojok sebelah kiri dengan desain sedikit berbeda.
Di pojok tersebut Ethan memilih menghiasi lantainya menggunakan batu-batu berukuran sedang berwarna putih yang tentunya tertata sedimikian rupa, lalu di tengah-tengahnya terdapat kayu berbentuk segi empat disusun layaknya jalan setapak.
Beralih dari desain lantai, rooftop tersebut diberi pagar pembatas yang terlihat sangat kokoh dengan desain transparan. Lauren tak tahu nantinya pagar pembatas itu akan terbuat dari apa, tetapi dengan desainnya yang transparan membuat siapa saja yang berada di rooftop itu tetap dapat menikmati pemandangan di sekitar meskipun pagar pembatasnya cukup tinggi.
Tak hanya itu, separuh dari rooftop diberi atap yang desainnya sama persis seperti pagar pembatas dan menurut Lauren desain tersebut sangat sesuai dengan tema yang mereka pilih.
Meskipun rooftopnya memiliki atap, namun hal itu tidak menghalangi seseorang untuk menikmati pemandangan langit dari tempat tersebut.
“Gimana pilihan gue?” tanya Lauren setelah melihat Ethan yang hanya diam menatap layar laptop.
Laki-laki itu pun tak langsung menjawab pertanyaan Lauren, perlu beberapa menit hingga dia menatap ke arah gadis tersebut dan mengacungkan jempolnya. “Nice, sepemikiran. Kita bakal pake desain yang ini.”