Mereka bilang aku adalah benih malaikat. Asalkan benih di dalam tubuhku masih utuh, aku akan menjadi malaikat pelindung suatu hari nanti, setelah aku mati. Tapi yang tidak aku tahu adalah bahaya mengancam dari sisi manapun. Baik dunia bawah dan dunia atas sama-sama ingin membunuhku. Mempertahankan benih itu semakin lama membuatku mempertanyakan hati nuraniku.
Bisakah aku tetap mempertahankan benih itu? Atau aku akan membiarkan dia mengkontaminasiku, asal aku bisa menyentuhnya?
Peringatan Penting: Novel ini bisa disebut novel romansa gelap. Harap bijak dalam membaca.
Seluruh cerita di dalam novel ini hanya fiksi, sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mochapeppermint, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 The Fallen
Suara kisapan pria itu hampir membuatku berpikir dia akan pindah alam detik ini juga. Kedua matanya membelalak, satu tangan di dada, suara barang-barang terjatuh yang tak sengaja terdorong olehnya tak kalah kerasnya dengan suara jantungnya yang bertalu-talu di dadanya. Walaupun ini siang hari, mungkin seharusnya aku tidak muncul tiba-tiba di hadapannya. Tapi masih untung aku menyembunyikan kedua sayapku di balik perisai atau pria ini benar-benar mengira aku adalah malaikat pencabut nyawa yang datang untuknya.
“Xaverius.” Ulangku sekali lagi pada pria itu yang berprofesi sebagai Satpam yang menunggu di pos di depan gereja St. Joseph. “Panggil dia kemari.”
Mulutnya terbuka tutup beberapa kali. Sebenarnya aku agak kasihan padanya. Tidak seharusnya aku mengejutkan pria separuh baya dengan rambut putih sudah mulai menghiasi kepalanya dan kerutan-kerutan halus di wajahnya.
“An- Anda siapa?” Cicitnya lalu dia berdeham, tampaknya dia sudah kembali sadar. “Ada perlu apa dengan Pastor Xaverius?” Kali ini suaranya lebih jelas walaupun masih tampak takut-takut.
Aku menggerak-gerakkan rahangku dengan kesal. Seandainya bisa, aku pun sudah langsung menemui Xaverius di dalam tanpa harus bertemu pria ini. Aku melangkah mendekat dan menatap pria itu lekat-lekat. “Panggil dia kemari, sekarang.” Aku memberi penekanan lebih lagi, bahkan menggunakan sedikit kekuatanku. Aku bisa melihat kedua matanya membelalak dan keringat semakin mengucur deras di pelipis pria itu. “Bilang saja, namaku tidak boleh disebut.”
Tanpa penundaan lagi, pria itu langsung menyambar pesawat telepon di mejanya yang berantakan dan menekan beberapa tombol. Dia mengucapkan apa yang tadi aku ucapkan di imbuhkan dengan kata ‘segera’ yang membuatku puas. Setelah mengembalikan pesawat telepon di tempatnya, pria itu menghela nafas dan mengusap keringatnya yang mengalir seolah dia sudah selesai melakukan tugasnya.
Aku melangkah menjauh dari pos kecil itu dan menatap ke gerbang gereja, menunggu Xaverius. Pria itu ada di dalam, aku bisa menciumnya dari sini. Aku hanya harus sabar menunggunya berjalan kemari melewati taman luas di dalam.
Aku menatap ke balik gerbang. Taman luas dengan berbagai macam tumbuhan, gedung-gedung dengan bangunan lebar yang bersambungan satu sama lain. Bangunan gereja ini tidak jauh beda dengan bagunan-bagunan gereja di negara-negara lain. Yah, mungkin ada beberapa titik yang memiliki khas negara masing-masing, seperti bangunan-bangunan adat, tapi tetap saja, membosankan.
Tidak perlu waktu cukup lama sampai aku bisa melihat sosok Xaverius dari kejauhan. Pertama kali melihatnya, malam pertama Amy keluar, aku tahu dia pria cerdas, jadi aku tahu kalau dia akan memahami ‘namaku’ yang disebutkan satpam tadi. Dia tidak tampak terkejut melihatku, dengan langkah lebarnya, Xaverius menatapku dengan tegas.
Aku bertanya-tanya, apakah Xaverius pernah menemui makhluk sejenisku atau belum? Kalau legion, aku yakin beberapa banyak para hamba Tuhan pasti pernah bertemu dengan iblis itu atau iblis-iblis lain dalam pengusiran setan. Walaupun biasanya Persaudaraan Rahasia berurusan dengan kami, kami bukan tipe makhluk yang senang menampakkan diri seperti iblis. Kami cenderung lebih menampakkan kekuatan kami daripada wujud kami. Mungkin terkecuali pada benih itu sendiri.
Aku berjalan ke arah yang lebih jauh dari pos, tidak menginginkan ada sepasang telinga lain yang akan mendengar percakapan kami.
Xaverius tampak tak sabar dalam langkah-langkah lebarnya, bahkan sebelum melewati gerbang, Xaverius sudah bertanya, “Dima-”
“Dia bersamaku.” Potongku. “Aman.”
“Omong kosong.” Ucapnya cepat seraya berjalan ke arahku. “Nyatanya kamu disini mencariku.”
Benarkan, dia pintar?
“Amy aman.” Ucapku. “Untuk sekarang.” Imbuhku kemudian, membuat kerutan di dahinya mendalam. Aku menarik nafas dalam dan menekan keangkuhan yang bergulat di dalam dadaku. “Tapi kami membutuhkan bantuanmu.”
Kerutan di dahi Xaverius menghilang dengan cepat. “Dia baik-baik saja?” Aku bisa mendengar nada khawatir yang dalam darinya. Aku mengangguk dan sebelum aku mengatakan sesuatu, dia menambahkan, “Amy terikat denganmu.” Itu pernyataan, bukan pertanyaan.
“Kamu tahu?” Aku tidak terlalu terkejut kalau Xaverius tahu akan hal itu.
Xaverius menghela nafas berat, tampak jelas dia tidak suka dengan pernyataan yang dia katakan sendiri. “Apa yang bisa aku bantu?”
Rasa lega menghangatkan dadaku. “Kami membutuhkan tempat yang lebih aman. Seperti yang kamu tahu, disini pun dia juga tidak aman.”
Xaverius mengangguk dan tampak berpikir sejenak. “Bukan pilihan bagus.” Ucapnya beberapa saat kemudian. “Tapi hanya itu yang aku pikirkan.”
***
“Kenapa harus disini? Apa nggak ada tempat lain?!”
Kalimat itu persis dengan apa yang kukatakan pada Xaverius tadi. Dari sudut mataku aku melihat Amy memutar kedua matanya dan menghembuskan nafas berat. Tampaknya tidak ada satu pun dari kami yang menyukai ide Xaverius.
Tadi Xaverius mengusulkan rumah Mikaela untuk tempat berlindung sementara waktu. Dia berkata lingkungan rumah Mikaela tidak terlalu ramai dan memiliki halaman luas, jadi perbatasan dengan tetangga sebelah cukup jauh. Posisi halaman yang mengelilingi rumah pun bisa menjadi hal yang menguntungkan, dia bisa mengelilinginya dengan perlindungan yang kami butuhkan.
“Hanya untuk sementara waktu.” Ucap Xaverius tenang kepada Mikaela yang tampak kesal.
“Nggak bisa! Aku nggak mau!” Tukas Mikaela seraya menghentakkan kakinya. “Kamu lupa kalau kamu sudah menerobos ke rumahku tanpa ijin? Aku bahkan belum dapat kompensasi untuk barang-barangku yang rusak. Dan jangan lupa punggungku juga memar karena kalian!”
“Aku tahu dan aku minta maaf karena itu.” Ucap Xaverius tulus dan dia pun masih tampak tenang. Aku akui dia sangat hebat dalam hal itu. Mendengar Mikaela berteriak-teriak saja cukup membuatku jengah. “Dan aku memang menunggu tuntutan darimu, ingat?”
Kedua bahu Mikaela naik saat dia menarik nafas hendak mengatakan sesuatu, namun aku memotongnya. “Aku akan memberimu bulu, secara gratis.” Aku tidak tahan lagi dengan gadis itu.
Bibir Mikaela yang terpulas lipstik merah muda tampak mengerucut, dia tampak berpikir sejenak. “Lalu kalau Mamaku datang dan ternyata ada banyak orang di rumah, aku harus bilang apa?” Kali ini dia tidak lagi meninggikan suaranya, tapi itu cukup membuktikan kalau dia tertarik dengan tawaranku.
Untuk pertanyaan Mikaela aku tidak tahu jawabannya, jadi aku menoleh pada Xaverius, menuntut jawaban darinya. Aku tidak tahu apa yang akan Xaverius lakukan dengan satu kompi timnya di rumah ini - tidak benar-benar seratus orang juga, tapi cukup banyak - tapi aku yakin itu memang perlu.
“Nanti biar aku yang bicara.” Kata Xaverius.
“Oke.” Jawab Mikaela enteng dan mengangguk seolah satu detik yang lalu dia tidak menolak kami habis-habisan. “Aku mau buluku sekarang.”
“Mikaela.” Panggil Xaverius lembut. “Aku harap kamu tidak terlalu sering menggunakan bulu.”
“Aku tahu, bicara dengan orang yang sudah mati itu nggak ada di agamamu, Pastor.” Ucap Mikaela ketus sambil melambaikan tangannya tak acuh lalu dia menengadahkan tangannya padaku. “Mana?”
Dari sudut pandanganku Xaverius berbalik dan dia sedang bicara dengan Amy. Aku menghela nafas panjang dan menurunkan perisai tak kasat mata untuk kedua sayapku. Aku dengar Mikaela terkisap, namun aku mengacuhkannya dan menarik satu bulu sebelum kembali menutupi kedua sayapku dengan perisai lagi.
Aku mengulurkannya pada Mikaela, dan gadis itu tampak ragu sejenak sebelum mengambil bulu itu dariku. “Hati-hati.” Ucapku.
Sebelumnya aku tidak terlalu peduli dengan para manusia yang menggunakan bulu-bulu sayap, tapi karena Mikaela cukup membantu, aku rasa tidak ada salahnya memperingatkannya.
“Hati-hati apanya untuk lebih jelasnya?” Tanya Mikaela, namun dia tampak hanya ingin tahu bukan untuk benar-benar berhati-hati.
“Hati-hati dengan apa yang kamu minta.” Ucapku. “Hati-hati dengan apa yang ada hatimu.” Aku menunjuknya tepat di depan dadanya.
Hati manusia terlalu kompleks, sedangkan bahaya bisa mengancam dari sisi manapun. Susah untuk menjelaskannya, jadi aku hanya berkata demikian.
“Kamu sendiri yang bilang barusan, bicara dengan orang mati itu nggak ada.” Lanjutku.
Mikaela mengerutkan dahinya, tampak tersinggung bukannya bingung. Gadis itu mengacungkan bulu hitam itu di hadapanku. “Kamu sendiri yang bilang kalau bulu ini bisa menunjukkan apapun yang aku inginkan? Bahkan bertemu orang mati sekalipun.” Ucapnya membalikkan ucapanku sendiri seolah dia sedang mengejekku. “Kamu yang tahu kalau ini bukan yang pertama kalinya.”
“Memang.” Ya, aku mengatakan itu dan, ya, memang bulu itu bisa mempertemukanmu dengan orang yang sudah mati sekali pun, karena bulu itu bisa digunakan sebagai jendela yang menunjukkan ke sebuah dunia yang lain. Entah itu pengetahuan masa depan, atau masa lalu, bahkan dunia orang mati, tergantung apa yang manusia itu ingin lihat, mereka akan melihatnya. Tapi itu adalah hal-hal yang tidak seharusnya manusia masuki atau ketahui. Pengetahuan-pengetahuan itu bisa merusak cara pikir atau hati manusia karena mereka itu makhluk lemah dengan hati yang terlalu kompleks.
Aku tidak pernah peduli dengan peraturan seperti itu, aku hanya peduli tentang uang karena aku tinggal di dunia ini dan aku butuh uang. Jadi aku tidak pernah memusingkan memberitahu mereka tentang bahaya dari hal itu.
Aku menghela nafas berat. “Beritahu aku kalau kamu akan menggunakannya.” Ucapku. “Aku akan menjagamu.”