NovelToon NovelToon
Feathers

Feathers

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Cinta Beda Dunia / Iblis / Dunia Lain
Popularitas:495
Nilai: 5
Nama Author: Mochapeppermint

Mereka bilang aku adalah benih malaikat. Asalkan benih di dalam tubuhku masih utuh, aku akan menjadi malaikat pelindung suatu hari nanti, setelah aku mati. Tapi yang tidak aku tahu adalah bahaya mengancam dari sisi manapun. Baik dunia bawah dan dunia atas sama-sama ingin membunuhku. Mempertahankan benih itu semakin lama membuatku mempertanyakan hati nuraniku.

Bisakah aku tetap mempertahankan benih itu? Atau aku akan membiarkan dia mengkontaminasiku, asal aku bisa menyentuhnya?

Peringatan Penting: Novel ini bisa disebut novel romansa gelap. Harap bijak dalam membaca.
Seluruh cerita di dalam novel ini hanya fiksi, sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mochapeppermint, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 The Seed

Melihat kamar mandi di lantai atas aku langsung berputar balik dan memilih kamar mandi di bawah. Walaupun di lantai bawah gelap, tetap saja paling tidak ada dinding dan ada pintu yang membatasi. Kamar mandi di atas benar-benar tidak ada privasi, hanya pancuran demi pancuran tanpa sekat. Yang benar saja?

Selain itu pakaian yang di sebutkan Kaliyah rasanya tidak bisa di sebut pakaian. “Ini pakaian dalam, Kal.” Ucapku sambil menunjukkan sebuah tank top putih di ujung jariku yang dibawakan Kaliyah. Dari pada memakai tank top itu, aku lebih memilih memakai handuk yang terlilit di tubuhku. Selain lebih tebal, handuk ini lebih panjang.

Kaliyah mengambil pakaian dalam berwarna biru tua. “Kalau yang ini baru pakaian dalam, Amy.” Aku menghela nafas melihat celana dalam bermodel tong dan branya pun hanya terbuat dari renda tipis saja. Hanya beda berapa jam saja aku sudah disuruh memakai dua pakaian yang berbeda. Satu pakaian tertutup berlapis-lapis, satu lagi pakaian setipis saringan tahu.

“Apa kamu punya jaket? Atau apapun yang berlengan panjang?”

“Untuk apa? Kamu sakit?”

Aku menarik nafas panjang, rasanya kesabaranku habis. “Kurasa aku lebih nyaman pakai lengan panjang.”

Kaliyah mengerutkan dahinya semakin tampak bingung. “Tapi di luar panas, Amy. Kamu bisa terkena heat stroke. Makanya aku pilihkan pakaian tipis. Kalau aku sih nggak akan terkena heat stroke.”

Memang di luar panas, tapi kan di dalam ACnya menyala. Tapi ya sudahlah, berdebat dengan Kaliyah tidak akan ada ujungnya. “Ya, sudah aku pakai pakaianku yang tadi saja.” Kaliyah tampak kecewa tapi aku mengabaikannya dan kembali ke kamar mandi.

Sebenarnya pakaianku sebelumnya hanya piyama terusan berwarna putih sepanjang mata kaki untuk tidur dan jujur saja aku tidak suka memakai pakaian seperti itu. Saat di biara aku hanya diberikan pakaian itu dan kini tampaknya pakaian itu memang lebih pantas daripada tank top dan tong milik Kaliyah.

Saat kami hendak keluar kamar dan kembali ke atas, tubuh Kaliyah menegang. Sedetik dia terdiam, menjatuhkan pakaian yang dibawanya, sedetik kemudian dia berteriak padaku. “Kedinding! Cepat!” Teriaknya keras membuatku terkejut hingga tidak bisa berbuat apa-apa. Otakku berjalan lebih lambat daripada refleksnya. “Cepat, Amy!” Teriaknya lebih keras membuat tubuhku melenting bergerak sesuai keinginannya.

Punggungku merapat pada dinding tempat dia menyuruhku, Kaliyah berada tepat di depanku sedang sayapnya menekuk ke belakang, di kedua sisi tubuhku. Dia membungkuk, tepat seperti Deyna tadi. Dia pun sudah menggenggam dua bilah belati kecil, masing-masing di kedua tangannya. Keheningan sangat pekat, hanya jantungku saja yang bertalu-talu kencang.

“Ap-”

Ledakan kaca terdengar sangat kencang di tengah-tengah keheningan dan ketegangan di ruangan kamar yang kosong, memotong pertanyaanku. Pekikanku beriringan dengan pecahan kaca yang berterbangan, Kaliyah semakin merapatkan sayapnya padaku. Di balik bahu Kaliyah aku melihat beberapa orang berderap mendekat. Raziel, Astar dan Sa’el. Kehadiran mereka dan sayap-sayap besar mereka membuat ruangan kecil ini terasa sangat sempit.

Raziel mendekat, namun Kaliyah tidak bergerak sedikit pun. Astar dan Sa’el berada di kanan kirinya. “Tutup mata dan telingamu rapat-rapat.” Kata Raziel padaku dengan lembut walau seluruh tubuhnya menegang. “Aku butuh kamu mempercayaiku, hanya aku. Jangan dengarkan apapun. Jangan masukkan kata-katanya di dalam hati. Fokus saja denganku, Amy. Kamu bisa?” Jantungku semakin berdegup kencang. Berbagai pertanyaan berdesakkan di kepalaku namun aku mengangguk terbata-bata karena rasa takut mulai menjalar di benakku. “Sekarang tutup mata dan telingamu.” Perintahnya dan aku menuruti.

Hening. Walaupun aku menutup kedua mataku, aku tetap bisa merasakan ketegangan sangat berat di udara. Hembusan angin kencang terasa meliuk-liuk di antara kakiku, mungkin karena dinding kaca yang pecah.

Samar-samar aku mendengar sesuatu. Sesuatu seringan angin di kakiku. Aku terkisap saat mendapati suara itu ternyata memanggil namaku. Lagi dan lagi suara itu memanggilku dengan ringan, menggoda namun aku tetap menutup kedua mataku hingga mengerutkan dahiku dan menggali jariku lebih dalam ke telingaku.

“AMY!” Tiba-tiba suara itu lebih kencang seolah seseorang berbisik keras di telingaku. Aku memekik dan kedua mataku terbuka. Tepat saat itu aku melihat seseorang melenggang masuk dari pintu. Seorang pria paruh baya, menggunakan setelan jas hitam dan celana dengan warna yang sama. Rambutnya disisir ke belakang dengan rapi dan sebentuk senyum terulas di bibirnya.

Dari sudut mataku Sa’el dan Astar semakin menegang siap untuk menerkam. Mereka sudah siap dengan senjata mereka masing-masing. Sa’el menaikkan dua pistolnya ke arah sasaran, sedangkan Astar menggenggam kapak silang. Kaliyah masih tetap di tempat tidak bergerak sedikit pun. Sedangkan Raziel, kedua bahu lebarnya semakin menegang. Lalu sebuah pedang terwujud di tangannya. Pedang itu tidak mengkilap seperti yang biasa aku lihat di film, tapi pedang itu hitam legam seolah terbuat dari batu. Bahkan tidak ada kilau sedikit pun dari pedangnya, berbeda dengan mata kapak Astar yang mengkilap.

Pria berjas itu berdiri di depan kami dengan tangan terlipat sopan di depan tubuhnya. Dagunya terangkat tinggi dan dia tampak bangga menatap kami seolah bangga melihat kesigapan para malaikat di depanku. Lalu dia menatapku dari balik bahu Raziel dan Kaliyah. Entah kenapa tatapannya seolah menyentakku membuatku semakin merapat di dinding.

“Amethyst.” Ucapnya perlahan, mengulur setiap huruf. Seolah dia memutar-mutarnya di lidahnya sebelum mengucapkannya. Dan anehnya aku mendengarnya dengan jelas padahal kedua jariku masih menutup telingaku. “Si cantik Amethyst.” Senyumnya terulas lebih jelas lagi. Dia menaikkan satu tangannya di dada dan mengangguk. “Senang bertemu denganmu, Sayang.” Ucapnya ramah.

Dalam sekejap ujung pedang Raziel berhenti di leher pria itu, namun pria itu tidak tersentak sedikit pun. Pria itu masih tersenyum padaku dan bahasa tubuhnya masih terlihat tenang. “Pergi sekarang” Aku dengar suara Raziel dengan samar, teredam, berbeda dengan suara pria itu yang jelas sekali. Aku tidak tahu kenapa begitu, apakah pria itu berteriak? Namun tampaknya juga tidak. “Atau aku yang menyeretmu kembali ke neraka.”

Pria itu tertawa kecil sambil mengerutkan dahinya seolah sedang berbicara dengan anak kecil yang menggemaskan. “Aw...” Katanya. “Kamu memilih menemaniku disana daripada disini bersama gadismu?” Tanyanya sambil menelengkan kepalanya tidak mempedulikan gerakannya itu membuat ujung pedang Raziel menempel pada tenggorokannya.

“Aku tetap akan merangkak keluar walau membutuhkan seribu tahun!”

“Hmm… Manis sekali.” Pria itu terkikik seperti gadis-gadis yang sedang menggosip. “Tapi gadis itu sudah lama mati sebelum kamu menginjakkan kaki di bumi ini.” Lanjutnya membuatku merinding. “Sedangkan aku? Oh…” Pria itu mengibaskan tangannya sambil mendengus geli. “Seharusnya kamu yang lebih tahu kalau aku ada banyak.” Dia mengucapkan kata terakhir dengan penekanan, membuat kilat yang ada di kedua matanya tampak jelas.

Raziel mendengus. “Jangan khawatir, selama perjalanan ke bumi aku akan dengan senang hati mengutukmu satu persatu untuk menghabiskan waktuku.”

Sekilas aku melihat kedua mata pria itu goyah sebelum dia mengedip dan kegilaan kembali pada tempatnya. “Jangan terlalu serius, Raz.” Pria itu tertawa sambil mengibaskan tangannya. “Aku kemari hanya ingin mengunjungi Amy.” Tatapannya kembali padaku dan dia memiringkan kepalanya untuk melihatku. Dia mengerutkan dahinya ekspresinya berubah khawatir. “Kamu baik-baik saja, Sayang?” Nadanya meyakinkanku kalau dia benar-benar peduli padaku. Dia berdecak sambil menggeleng. “Siapa yang sangka kalau mereka mengurungmu padahal mereka adalah hamba-hamba Tuhan?”

Aku menurunkan kedua tanganku yang terasa pegal. Rasanya percuma saja aku menutup telingaku rapat-rapat karena aku masih bisa mendengar Pria itu dengan jelas. Tapi aku tetap menutup mulutku rapat.

Ujung pedang Raziel bergerak ke sisi lainnya, membuat Pria itu kembali menegakkan kepalanya. “Jangan bicara padanya.”

Pria itu memutar kedua matanya. “Aku hanya khawatir padanya, Raziel. Kalau dengan para hamba Tuhan itu dia diperlakukan seperti itu, menurutmu Amy akan mempercayaimu?” Pria itu mengulurkan kedua tangannya. “Ya, ampun! Kalian malaikat kegelapan kan?” Ucapnya seolah kami tidak tahu. Aku mendengar Kaliyah mengeram rendah. “Apa yang biasa kalian lakukan bahkan lebih keji daripada mereka yang mengurungnya di bawah tanah.”

“Tutup mulutmu!” Geram Kaliyah.

“Ah! Si cantik Kaliyah.” Sapa Pria itu seolah baru menyadari keberadaan Kaliyah. Sa’el bergerak cepat ke depan Kaliyah dengan sayap terbentang. “Love birds.” Kedua matanya berkilat senang. “Aku suka sekali percintaan!” Ucapnya bersemangat. “Sangat kuat, tapi juga sangat rapuh.” Lalu tatapannya kembali ke depannya. “Benarkan, Raziel?” Tanyanya namun Raziel tetap bungkam.

Pria itu menepuk kedua tangannya dengan keras. “Jadi, Amy…” Tatapannya kembali padaku. “Akhirnya kamu keluar dari Gereja, jadi aku bisa bicara padamu secara langsung.” Pria itu terkikik dan bulu kudukku meremang.

“Jangan bicara padanya!” Bentak Raziel lebih dalam dan ujung pedang Raziel kini mulai menembus kulit leher pria itu. Bukan darah merah yang kulihat, tapi yang mengalir seperti oli kotor, hitam legam. Dan samar-samar bau busuk belerang mulai tercium di hidungku.

Namun pria itu masih tetap tersenyum lebar padaku seolah tidak terusik dengan Raziel. “Apakah kamu tidak ingin tahu tentang apa yang terjadi sebenarnya, sayang?” Tanyanya dengan nada suara menggoda, hampir membuatku membuka mulutku untuk menjawabnya.

“Jangan dengarkan dia, Amy!” Ucap Raziel padaku dengan cepat sebelum aku bisa menjawab ‘ya’ pada pria itu.

“Hmm…” Pria itu menggerakkan kedua matanya dan menatap Raziel. Tatapannya seolah menikmati kobaran amarah Raziel. “Aku yakin kamu pasti juga setengah mati ingin tahukan, Raziel? Bagaimana cara menyentuhnya? Merasakannya tanpa membunuhnya?”

Rasa ingin tahu semakin berkobar di dadaku. Panas. Hampir-hampir membuatku menggeliat, tidak tahan untuk tidak menjawabnya. Namun sebelum ada satu ucapan kata lagi, pedang Raziel sudah berada di sisi lain Pria itu. Teriakkanku memekakkan telingaku sendiri, bahkan aku tidak peduli tenggorokanku sakit karena berteriak sekuat tenaga. Bahkan melampaui teriakkanku, aku bisa mendengar suara bagian tubuh yang jatuh itu dengan sangat jelas.

Bau belerang sangat kental memenuhi hidungku, hingga rasanya menodai paru-paruku. Rasa mual karena bau busuk belerang dan rasa mual karena melihat kepala pria itu terlepas dari tubuhnya dan menggelinding, bergulat hebat di perutku. Aku tidak bisa muntah karena terus berteriak, namun perutku terus bergolak tanpa ampun. Aku benar-benar merasa sakit.

Aku tidak tahu kapan Kaliyah menyingkir dari depanku, tapi kini Raziel sudah berada di depanku dengan kedua sayapnya terbentang menutupiku dari pemandangan mengerikan. Spontan aku merapat pada dinding, walau sudah tidak bisa kemana-mana, aku tetap mendesak dinding di belakangku, berharap dinding itu bisa memberiku sebuah ruang lagi untukku menjauh. “Amy!” Panggilnya. “Dia bukan manusia!” Jelasnya. Kedua matanya menatapku dengan khawatir. “Kamu harus mempercayaiku, Amy!”

Rengekan pelan keluar dari sela-sela bibirku, air mata panas pun mengikuti. Entah kenapa hatiku percaya padanya setelah apa yang aku lihat. Tapi apa yang ada di depanku masih membuatku ngeri.

“Amy.” Panggilnya kali ini lebih lembut dan entah bagaimana aku mengangguk pelan. Hanya satu gerakan pelan itu membuat tatapan khawatirnya mulai memudar. Hembusan nafasnya yang pelan menyapu lembut wajahku.

“Ap- Apa sebenarnya dia?” Tanyaku tergagap. Satu tetes air mataku mengalir saat aku diam-diam berdoa kalau pria itu bukan manusia.

“Legion.” Ucap Raziel getir seolah dia ingin meludahkan nama itu yang sudah membuat kotor lidahnya. “Dia iblis.”

Aku pernah dengar nama itu di Alkitab. “Yap, legion yang itu.” Ucap Astar yang seolah bisa membaca pikiranku. Dia sudah tampak santai, kedua kapaknya pun sudah tersemat kembali dibalik punggungnya. “Mungkin dia salah satunya. Mereka banyak dan bisa berwujud apa saja.”

Tawa sumbang terlepas dari bibirku, namun tak ada sedetik tawaku sudah lenyap. Para malaikat itu menatapku seolah tak seharusnya aku tertawa. “Jadi itu-” Aku menelan ludah susah payah dan kedua mataku memanas. “Mak- maksudmu- itu merasuki tubuh manusia?” Tanyaku terbata.

Raziel menggeleng. “Tidak. Lihatlah.” Raziel menyingkir dariku dan memperlihatkan apa yang membuatku mual.

Awalnya aku tidak ingin melihat, namun ada yang aneh hingga cukup menarik perhatianku. Tubuh pria itu tampak seperti sudah terdekomposisi selama berminggu-minggu bukannya baru terpenggal semenit yang lalu. Kulitnya mulai lapuk, tulangnya yang putih sudah mulai terlihat, bahkan yang lebih mengerikannya lagi ada banyak belatung yang keluar masuk di daging busuk itu. Saat aku memperhatikan lagi, perlahan tubuhnya tenggelam seolah lantai kamar ini bukanlah beton melainkan lumpur hisap. Begitu juga darahnya yang hitam juga sudah menghilang. Tak lama tubuh pria itu hilang sepenuhnya, tidak menyisakan apapun.

“Dia hanya mengambil citra manusia.” Jelas Astar mengimbuhi.

Aku menelan ludah dengan susah payah karena tenggorokanku sangat kasar. Walaupun banyak yang ingin kutanyakan, aku memejamkan kedua mataku dan menyandarkan kepalaku ke dinding. Rasanya apa yang terjadi terlalu berat untuk kepalaku. Aku bukan penggemar film pembunuhan atau horor dan kini rasanya aku dihadapkan pada keduanya.

“Amy.” Panggil Raziel lembut dan aku membuka kedua mataku lagi. “Kamu baik-baik saja?” Tanyanya dan aku mengangguk. “Kamu mempercayaiku?” Untuk sedetik aku terpaku sebelum mengangguk dengan yakin. Bukannya sebelumnya aku tidak yakin padanya, tapi aku memang mempercayainya.

Aku mendengar suara tawa yang sama seperti sebelumnya.

Tawa pria tadi.

1
🌺Ana╰(^3^)╯🌺
cerita ini benar-benar bisa menenangkan hatiku setelah hari yang berat.
Yue Sid
Gak sabar nunggu kelanjutannya thor, semoga cepat update ya 😊
Mochapeppermint: Thank you 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!