Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Izin orang tua
Setelah tiba di apartemennya, Mika menyadari betapa sibuknya ia selama beberapa hari terakhir hingga lupa menghubungi orang tuanya. Di antara perjalanan mencari rumah dan pertemuannya dengan agen properti, waktu terasa begitu cepat berlalu.
“Aduh, aku bahkan belum cerita sama Mama dan Papa soal rencanaku pindah,” pikir Mika sambil menghela napas.
Malam itu, tanpa berpikir panjang, Mika memutuskan untuk pergi ke rumah orang tuanya yang berada di pinggiran kota. Ia tahu, meskipun ia sudah dewasa dan mandiri, restu orang tuanya tetap penting.
Saat Mika tiba di rumah, ibunya, Bu Ratna, tengah duduk di ruang tamu sambil membaca majalah. Ketika melihat putrinya masuk, wajah ibunya langsung berbinar. “Mika! Kok nggak bilang mau datang?”
Mika tersenyum tipis. “Maaf, Ma. Tadi aku dadakan.”
Setelah beberapa menit berbasa-basi, Mika mulai menyampaikan maksud kedatangannya. Ia tahu ini bukan pembicaraan mudah, tetapi ia harus mengatakan semuanya dengan jelas.
“Ma, Pa… aku mau balik ke kota lama kita.”
Ayahnya menatapnya dengan dahi sedikit berkerut, tetapi tetap tenang. Ibunya, di sisi lain, langsung menunjukkan raut khawatir.
“Mau apa kamu balik ke sana?” tanya Bu Ratna dengan nada penuh perhatian. “Bukannya kamu dulu pindah justru karena kamu trauma dengan orang-orang di sana, Mik?”
Mika menatap ibunya dengan lembut, tetapi di balik tatapannya, ada tekad yang bulat. “Iya, Ma… Dulu aku pindah karena itu. Tapi sekarang, semuanya sudah beda.”
Ibunya menatapnya, tak yakin. “Apa kamu yakin, Mika? Kamu sudah bahagia di sini. Bisnismu berkembang, kuliahmu lancar… Kenapa harus balik ke tempat yang menyakitimu dulu?”
Mika menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kalimat yang tepat. “Aku mau memperbesar bisnis kosmetikku, Ma. Di kota besar, peluangnya lebih banyak. Aku juga sudah nemu rumah yang pas buat kerja dan bikin konten.”
Ayahnya yang sejak tadi diam akhirnya ikut bicara. “Kamu yakin, Mika? Kami nggak mau kamu ke sana kalau hanya karena terpaksa atau merasa harus membuktikan sesuatu ke orang lain.”
Mika tersenyum lembut. “Aku ke sana bukan karena terpaksa, Pa. Aku cuma ingin bisnis ini berkembang. Aku udah jauh lebih kuat dari Mika yang dulu.”
Bu Ratna masih tampak ragu, tetapi ia tahu Mika bukan lagi anak kecil yang perlu selalu diarahkan. Anak perempuannya sudah tumbuh menjadi sosok mandiri dan ambisius, meski rasa khawatir tak bisa sepenuhnya hilang.
“Kalau begitu, Mama cuma minta satu hal,” ujar ibunya dengan nada serius. “Jangan biarkan masa lalumu mempengaruhi hidupmu lagi. Kami mau kamu bahagia, bukan terseret ke dalam urusan lama.”
Mika mengangguk mantap. “Tenang aja, Ma. Aku udah belajar dari semuanya.”
Dengan berat hati, Bu Ratna akhirnya memberikan izin. “Kalau itu keputusanmu, Mama dan Papa akan dukung. Tapi kamu harus hati-hati.”
Ayahnya menambahkan: “Ingat, kamu nggak perlu buktiin apa-apa ke siapa pun, Nak.”
Mika tersenyum lega. “Makasih, Ma. Makasih, Pa. Aku janji semuanya akan baik-baik saja.”
Malam itu, setelah menghabiskan waktu bersama orang tuanya dan menceritakan lebih banyak tentang rencananya, Mika pulang ke apartemen dengan perasaan lega.
***
Saat berbaring di atas kasur apartemennya, Mika memegang ponselnya dan membuka chat dengan Antony.
"Aku udah nemu rumah di sana. Nanti aku kabarin kalau udah balik," tulis Mika singkat.
Antony membalas cepat: "Aku tunggu. Jangan lupa kasih tahu kapan kita bisa ketemu."
Sambil memandang layar ponsel, Mika tersenyum tipis. Rencananya berjalan dengan sempurna. Tidak ada yang tahu apa yang ia simpan dalam pikirannya. Yang mereka lihat hanyalah Mika yang sukses dan cantik—tetapi di balik itu semua, Mika sudah menyiapkan permainan yang hanya dia yang tahu akhirnya.
“Dara... Antony... Kalian bahkan belum sadar apa yang akan terjadi,” bisik Mika dalam hati, senyumnya semakin lebar. Ini belum berakhir—justru baru saja dimulai.
***
Di kamar utama yang luas dengan nuansa mewah, Dara sedang duduk di depan meja rias, memakai rangkaian skincare dengan cermat. Kulit wajahnya terawat sempurna, dan ia memastikan setiap produk terserap dengan baik. Sementara itu, Antony duduk bersandar di tempat tidur dengan ponsel di tangannya, sibuk mengetik pesan yang mencurigakan.
Dara melirik ke arah suaminya melalui pantulan cermin, menghela napas panjang. Antony semakin sering terlihat tenggelam dalam ponselnya akhir-akhir ini, dan Dara merasa ada yang tak beres. Ia mencoba mengabaikan kecurigaannya dan mengganti topik.
“Sayang, gimana kalau weekend ini kita liburan? Alea udah lama nggak diajak jalan-jalan. Dia pasti seneng kalau kita pergi ke villa di Puncak,” ujar Dara sambil memijat pelembap di pipinya.
Antony mendengus pelan, masih menatap layar ponselnya. “Hmm… kayaknya nggak bisa, deh. Weekend ini aku sibuk banget. Ada beberapa meeting penting,” katanya tanpa menoleh sedikit pun.
Dara mengerutkan kening. “Meeting di weekend? Bukannya kamu bisa atur waktunya?”
Antony tampak terganggu dengan pertanyaan Dara. “Iya, tapi meeting-nya mendadak. Beberapa urusan bisnis gak bisa ditunda.”
Dara menyilangkan tangannya dengan ekspresi masam. “Jadi kamu lebih pilih urusan kerjaan daripada waktu bareng aku dan anak kita?”
Antony mendesah, mencoba menghindari konfrontasi lebih jauh. “Bukan begitu, Sayang. Ini cuma sekali. Nanti kita bisa atur waktu lain buat liburan, kok.”
Dara merasa ada yang janggal. Ini bukan pertama kalinya Antony menghindar dari liburan keluarga. Ia tahu persis kapan suaminya jujur dan kapan tidak. Tetapi ia menahan diri, tidak ingin merusak suasana dengan pertanyaan-pertanyaan tajam.
Antony meletakkan ponsel di meja samping ranjang dan merentangkan tubuhnya di atas kasur. Ia memasukkan rencana pertemuannya dengan Mika ke dalam pikirannya, sambil menyusun alibi untuk akhir pekan.
Sementara Dara kembali memoles wajahnya, ia tak bisa sepenuhnya menyingkirkan perasaan tidak nyaman. “Apa benar cuma bisnis?” pikirnya. Namun, ia tak punya bukti apa pun dan memilih untuk menekan kecurigaannya—untuk saat ini.
Begitu Dara mematikan lampu meja rias dan bergabung dengan Antony di ranjang, Antony meraih ponselnya kembali. Sebuah pesan baru muncul dari Mika:
“Aku udah fix bakal di kota hari Sabtu. Kita ketemuan, kan?”
Antony tersenyum tipis dan mengetik balasan: “Tentu. Aku nggak sabar ketemu kamu.”
Ia mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di samping bantal. Tatapannya kosong, tetapi pikirannya penuh rencana.
Malam semakin larut, dan Dara akhirnya tertidur di samping suaminya. Tetapi di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang Antony sembunyikan.
Sementara itu, di apartemennya, Mika juga memegang ponselnya dengan tatapan puas. Pesan singkat Antony membuatnya tersenyum.
"Semakin mudah dari yang kupikir," bisik Mika sambil menatap layar ponselnya.
Ia tahu bahwa Dara dan Antony terlihat sempurna di mata orang lain—tetapi setiap hubungan punya celah, dan Mika sudah siap untuk menyusup ke dalamnya. Ini adalah awal dari permainan yang akan ia kendalikan.
Malam itu, di antara pesan dan pikiran licik, permainan dendam mulai bergerak. Dan Mika tahu bahwa kali ini, dia yang akan menang.