Ketika yang semua orang anggap hanya omong kosong menyerbu dari utara, saat itulah riwayat Suku Gagak menemui akhirnya.
Tanduk Darah, iblis-iblis misterius yang datang entah dari mana, menebar kekacauan kepada umat manusia. Menurut legenda, hanya sang Raja Malam yang mampu menghentikan mereka. Itu terjadi lima ribu tahun silam pada Zaman Permulaan, di mana ketujuh suku Wilayah Pedalaman masih dipimpin oleh satu raja.
Namun sebelum wafat, Raja Malam pernah berkata bahwa dia akan memiliki seorang penerus.
Chen Huang, pemuda bernasib malang yang menjadi orang terakhir dari Suku Gagak setelah penyerangan Tanduk Darah, dia tahu hanya Raja Malam yang jadi harapan terakhirnya.
Apakah dia berhasil menemukan penerus Raja Malam?
Atau hidupnya akan berakhir pada keputusasaan karena ucapan terakhir Raja Malam hanya bualan belaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arisena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode : 25 — Matahari Ganda
Di ruang pertemuan Suku Langit sudah diisi oleh banyak orang. Yang paling mengejutkan Chen Huang adalah sosok Bai Li sudah berdiri di sana, bersikap sok paham dengan mengangguk-angguk bagai kepala ayam.
"Ayah, mereka menyerbu," Cia Kun memberi laporan. "Tak main-main, sepertinya semua orang langsung datang ke sini."
"Aku tahu," Cia Yan masih nampak tenang, dia memandangi peta yang terhampar di meja bundar penuh perhatian. Keningnya berkerut dalam tanda sedang berpikir keras.
"Beruntung kau datang," bisik Bai Li lirih. "Aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Dan bocah ini mengganggu, sungguh." Bai Li bergeser ke samping kiri Chen Huang, membuat sekat antara dirinya dan Cia Houw yang sedikit kecewa.
Cia Yan menunjuk satu titik pada peta. "Bagaimanapun, kita diuntungkan dengan tempat tinggi. Mereka butuh waktu untuk mendaki, apalagi bagian selatan desa amat terjal dan hampir tidak mungkin untuk dilewati."
Sang penasihat mengangguk. "Saya sarankan menggunakan formasi Matahari Ganda."
"Setuju." Seorang lelaki paruh baya berkata. "Itu akan menjepit mereka di tengah."
"Mereka kultivator," sembur Bai Li yang entah sejak kapan mulai memperhatikan. "Jika kalian mengambil jalan memutar untuk mengapit dari dua sisi, percuma. Mereka punya kemampuan untuk berlari cepat menaiki bukit terjal kalian."
"Kultivator? Mereka ada?" Lelaki paruh baya itu melebarkan mata.
"Sungguh, mengejutkan," sang penasihat menimpali, "mereka juga bisa menggunakan ilmu meringankan tubuh? Kenapa kau tak bilang sejak tadi?"
Bai Li mendengus tak sabar. "Bukan ilmu meringankan tubuh, tapi mereka mengendalikan Qi untuk membuat tubuh mereka dapat melesat cepat. Ah, itu tidak penting. Chen Huang, katakan pada mereka bagaimana langkah terbaik."
Tubuh Chen Huang menegang seketika. Bai Li baru saja mengatakan sesuatu yang di luar dugaan, dia bahkan belum bersiap-siap. Kalau seandainya ada sesuatu di sini yang mampu diangkat hanya menggunakan satu tangan—dan cukup keras—Chen Huang sudah mempertimbangkan untuk menghantam kepala Bai Li dengan benda tersebut.
Ketika semua mata terfokus padanya, Chen Huang pura-pura tenang. "Biarkan mereka naik," katanya sedikit asal, "selama para penduduk sudah merapat ke sisi utara, saya rasa tak ada masalah."
"Maksudmu, diapit pasukan di dalam desa?" si penasihat menebak. "Ide bagus, bisa dicoba."
Terima kasih, Dewa! Chen Huang merasa terharu ucapan asal itu ternyata cukup masuk akal dan berhasil menyelamatkan harga dirinya.
"Tapi, bagaimana dengan rumah-rumah penduduk?"
"Bisa dibangun lagi." Lelaki paruh baya yang lain menyahut, "tidak dengan nyawa."
"Aku setuju, Ayah." Cia Yang mengangguk memberi pendapat.
"Kalian berdua?" Cia Yan memandang Cia Kun dan Cia Houw. Keduanya mengangguk serempak. "Baiklah, lakukan formasi Matahari Ganda di desa. Ling Xia, kau memimpin regu berkabut di tengah desa. Lan Hui dan Sin To, kalian yang akan menjadi matahari. Para pemimpin perang lainnya, bersiap membantu regu mana saja yang mulai terdesak."
"Siap!"
"Sekarang, kita sambut mereka." Cia Yan mengangkat tangannya yang terkepal. "Terbang Tinggi!"
Mereka menyahut. "Terbang Tinggi!"
Chen Huang dan Bai Li ikut pergi ketika mereka keluar dari ruangan. Namun, Cia Yan menahan mereka. "Kalian tamu, tolong jangan bertindak gegabah."
"Tidak," balas Chen Huang. "Mereka datang mencari Bai Li, kami tak bisa tutup mata dan pura-pura tuli."
"Tunggu!"
Namun, keduanya sudah pergi.
Persiapan dilakukan dengan amat rapi dan cepat. Pasukan besar dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mengevakuasi para warga ke desa bagian utara. Tak sampai satu pembakaran dupa, tugas itu sudah selesai sejak beberapa saat lalu.
"Itu regu kabut," Cia Kun berkata ketika mereka berjalan cepat menuju salah satu matahari. "Kuharap kalian tetap bersama ayah, tapi sepertinya ayah pun tak sanggup menahan kalian," dia terkekeh. "Aku akan ke matahari timur, kalian ke barat."
"Aku ikut Bai—saudara Chen!" Cia Houw berseru, "apakah boleh?"
"Lakukan!" Cia Kun tak ada waktu meladeni sikap adiknya yang ingin terus lengket dengan Bai Li. "Temani dia," pintanya kepada Cia Yang yang mengangguk.
Mereka berpisah di sana.
Dipimpin oleh Cia Houw, empat orang ini pergi ke barisan penyergap sebelah barat yang mereka sebut sebagai matahari. Pemimpinnya adalah lelaki kurus tinggi yang tadi dipanggil Sin To.
"Jangan gegabah," katanya pada mereka.
"Aku tahu!" Cia Houw membalas ketus. Daripada ketus, dia mencoba bersikap berani dan gagah di depan Bai Li.
Sin To memberi isyarat kepada beberapa anak buahnya, menyuruh mereka tetap dekat dengan empat orang tersebut.
Waktu berlalu cepat, tapi itu amat menyiksa. Perlahan mereka melihat panji-panji biru muda bergambar pedang itu mulai mendaki bukit.
"Tenanglah, ini perang, kau jangan terlalu memamerkan taring. Itu bisa melukai kawan sendiri." Chen Huang meremas tangan Bai Li dengan tatapan khawatir ketika melihat wanita itu menggeram marah.
Bai Li menepisnya. "Kaupikir aku tidak tahu? Aku tak akan jauh-jauh darimu."
Terompet terdengar membahana dan menggetarkan.
WOOOOOOooooo ... WOOOOOooooo ... WOOOOOooooo ....
"Bersiap!" Sin To berseru dan mulai merapal mantra, sepasang tangannya diselimuti pola-pola rumit sampai ke pergelangan tangan.
Dia kuat! batin Chen Huang melihat simbol itu yang walau rumit, tapi tidak banyak.
Dia pun merapal mantra, pola rumit segera memenuhi tangannya sampai ke pundak.
Tiba-tiba, terdengar teriakan lalu disusul beradunya senjata. Secepat itu pula kabut tebal seperti awan menyelimuti tengah desa. Kabut itu benar-benar seperti awan yang dijatuhkan dari langit, amat putih dan tebal. Teriakan susul menyusul terdengar makin riuh.
"Tunggu!" Chen Huang menarik tangan Bai Li yang sudah melompat. "Belum ada tanda untuk menyerang, apa kau sebodoh itu?"
"Kenapa? Sekte Pedang Kelabu itu tak bisa ilmu perang, mereka hanya mengandalkan kekuatan dan asal maju."
"Karena itulah jangan ikut-ikut mereka, kau sudah bukan anggota mereka."
Bai Li merengut sebal. Dia menahan egonya, demi Chen Huang.
WOOOOOOOOOOOOOOooooooooo ....
"Serbu!" Sin To berseru.
"Terbang Tinggi!" Cia Houw berteriak kemudian lari menuruni bukit.
Karena pertempuran yang amat mendadak, mareka tidak menaiki kuda kecuali para pemimpin perang. Ditambah lagi, sepatu kuda akan menimbulkan suara berisik sehingga tidak terlalu cocok untuk penyergapan Matahari Ganda. Maka, hanya mengandalkan ilmu meringankan tubuh, mereka melesat menuruni bukit.
"Terbang Tinggi!" suara-suara lain menyahut.
Mendengar ini, Bai Li mendapat dorongan aneh yang membakar semangatnya. Dia merasakan sensasi yang baru dirasakannya kali ini, sensasi patriotik mempertahankan tanah miliknya—walau tempat ini bukan tanahnya.
Karena api semangat itu, dia ikut berteriak, meneriakkan kata-kata yang membuat Chen Huang jengkel setengah mati.
Dengan tangan terkepal menghadap langit, ia berseru lantang. "Membentangkan Sayap!"
"Bukan begitu kata-katanya!"
Gaya penceritaanmu udah pas menurutku. Enak diikuti. Entahlah, beberapa yang saya baca dan bagus malah sepi.
Saya kurang paham dg selera orang-orang zaman sekarang. Kadang yg minim narasi, typo bertebaran, catlog, cerita serupa, malah lebih banyak pembacanya.
persahabatan Bai Li apa tidak akan diromantisasi?
(dari siang kesel ga bisa komen)