Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Bulan sudah membaik, dia mulai bisa tersenyum. Tapi hatiku pilu menyaksikan lebam-lebam di beberapa bagian tubuhnya.
Aku ingin tau apa yang sudah mereka lakukan kepada putriku. Tapi dokter Agam melarang ku.
Setelah kupikir ada benarnya juga. Bulan pasti trauma dengan apa yang sudah di alaminya. kalau aku menanyakan ini dan itu pasti akan mengingatkannya pada kejadian itu.
Saat aku sedang termenung menatapnya. tiba-tiba dokter Agam masuk sambil menenteng tas besar.
"Hadiah indah untuk anak yang cantik dan kuat..." ucapnya seraya mengeluarkan sebuah boneka besar berwarna pink.
Bulan terlihat senang.
"Bulan suka" ulangnya.
"Suka..." jawab gadis kecilku mengangguk sambil tersenyum. wajahnya terlihat bahagia.
Aku teringat saat mas Sigit juga membelikan boneka yang persis seperti itu untuk Tara. Anak ku hanya bisa melihat sepupunya itu bermain. Karena Tara tidak memperbolehkan Bulan menyentuhnya.
Lihatlah Mas... Anakmu sangat bahagia menerima hadiah boneka yang di inginkannya. Tapi mirisnya itu bukan darimu, tapi dari dokter Agam.
"Terima kasih.. " ucapku berkaca-kaca.
"Eeh, mulai deh cengengnya. Dan yang Ini untukmu." dia mengulurkan sebuah tas kecil kepadaku.
Dengan ragu aku menerimanya.
"Untuk saya?"
Mungkin dia tau kalau di benakku sedang ada pertanyaan
"Itu baju ganti. aku tau kau tidak akan sempat pulang. Selain jauh, Bulan tidak akan bisa di tinggal." ucapnya santai.
Aku terpana menatapnya. Dia hanya seorang dokter yang sedang bertugas di kampung kami. Tapi perhatiannya sangat menyentuh dan tulus. Apa yang dia lakukan untuk ku dan Bulan, Hal yang bahkan tidak bisa di lakukan oleh seorang Sigit. Dia ingat padaku yang tidak membawa baju ganti, padahal aku sendiri tidak kepikiran.
"Dokter ingat kalau saya tidak bawa baju ganti. saya jadi malu. Jangan-jangan saya bau sekali, ya.." ucapku berusaha mencairkan suasana yang tadinya haru.
Dia tertawa lepas mendengar candaan ku.
"Kau bisa saja. Oh, ya.. Itu ada makanan juga. Aku juga tau kau tidak akan sempat keluar mencari makanan."
"Saya jadi tidak enak. Sudah terlalu banyak yang sudah dokter lakukan untuk kami. Dengan apa saya harus membalasnya.." ucapku sambil memeluk kepala Bulan.
Dia terdiam sejenak.
"Tidak usah di pikirkan, aku tidak akan menganggap itu sebagai hutang Budi yang harus kau balas. Aku tulus melakukannya. Apalagi saat melihat Bulan...
Dari pertama aku melihat kalian berdua tuh, aku merasa kalian bukan orang asing lagi. apalagi saat melihat Bulan. Dia mengingatkan ku kepada... Ah, sudahlah." tiba-tiba dia menghentikan ceritanya. Wajahnya tiba-tiba sendu.
Dan aku melihat ada titik bening di sudut matanya. Dia sedang ada masalah kah?
Aku menatapnya dengan seksama.
"Dokter baik-baik saja?"
"Aku tidak apa-apa. mungkin karena terlalu terbawa perasaan saja." jawabnya menghapus sisa sisa air matanya.
Pasti ada sesuatu yang membuatnya bersikap seperti itu. Tapi aku tidak bisa memaksanya bercerita.
"Kalau dokter percaya pada saya, saya siap kok jadi pendengar. Siapa tau dengan begitu hati dokter bisa lebih lega."
"Ah, tidak.. Lupakan saja. Oh, ya.. Rasanya kurang enak kau memanggilku dengan panggilan pak Dokter. Canggung saja. Seperti kita baru kenal saja." ucapnya mengalihkan pertanyaan ku.
"Lalu saya harus panggil apa?"
"Apa ya, yang lebih akrab dan enak di dengar.." gumamnya sambil memijat keningnya.
"Agam saja.." tukasnya.
"Agam? Tapi saya tidak enak. Dokter lebih tua dari saya." ucapku ragu.
"Menurut Bulan, ibu harus memanggil apa pada saya..?"
"Iya juga. Lalu apa ya?" ia terlihat bingung sendiri.
Dia malah bertanya kepada Bulan.
Bulan menggeleng sambil memeluk bonekanya.
"Bagaimana kalau Mas Agam? Itupun kalau kau tidak keberatan.." tanyanya ragu.
"Mas Agam... Tapi apa tidak terlalu kasar? Mereka mengenalmu sebagai dokter. Bagaiman tanggapan orang-orang di kampung?"
"Jangan pedulikan kata orang, yang penting kau nyaman atau tidak."
Aku mengangguk samar.
"Baiklah, kalau begitu aku mau pulang dulu, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Nanti siang aku usahakan datang."
"Tidak usah pikirkan kami. Saya bisa menjaganya, kok. Pak Dokter fokus saja pada pekerjaan nya." jawabku cepat.
Dia menatapku tanpa kedip.
Aku merasa risih.
"Saya salah, ya?"
"Iya kau salah. Kau menyebut pak Dokter lagi."
Aku jadi tersipu dengan kesalahanku.
"Maaf, Mas Agam.. Saya perlu membiasakan diri." ucapku malu.
Setelah mencium kepala Bulan, dia melangkah keluar.
Tapi saat tiba di pintu suara Bulan mengejutkan kami.
"Om Ayah...!"
Dokter Agam menoleh kepadanya. Begitupun aku. Om Ayah? Siapa yang mengajarinya?
"Bulan panggil om apa tadi?" dia mendekati Bulan dengan serius.
"Om Ayah.." jawabnya polos.
"Siapa yang mengajari mu, Nak?" tanyaku karena merasa tidak enak pada mas Agam.
"Om dokter seperti ayah, makanya Bulan panggil Om Dokter." jawabnya lugu.
Mas Agam tersenyum sambil mengacak rambutnya.
"Kau tau? Om Ayah suka panggilan itu.." dia menatap Bulan dengan serius.
"Bulan mau di bawakan es krim.." ucapnya kemudian.
"Ooh, eskrim? nanti tanya sama dokternya dulu, ya? Boleh gak Bulan maem es krim. Kan belum sehat..."
Bulan mengangguk mengerti.
Sampai punggung mas Agam menghilang. Aku masih bengong sendirian.
Bulan baru empat tahun setengah. Kok bisa mendapatkan kata-kata itu.
Tapi sudahlah, toh dokter Agam juga tidak keberatan. Aku bersyukur di tengah masalah yang menderaku masih ada orang baik sepertinya yang perduli pada kami.
***
Siang hari, perutku mulai berteriak minta di isi. Bulan sedang terlelap sambil memeluk bonekanya. Dia sudah ku suapi dengan bibir dari rumah sakit.
Setelah mencium keningnya aku mulai bersiap makan.
Tapi pintu terbuka tiba-tiba.
Mas Sigit dan Rani langsung menerobos masuk begitu saja.
"May apa yang terjadi pada Bulan?" tanyanya dengan wajah sedih. dia mendekati ranjang tempat Bulan tidur.
Dadaku kembali bergemuruh saat melihat kedua orang itu di hadapanku.
dengan semua kekuatan yang ku punya aku menarik tangannya untuk menjauh dari Bulan.
"Jangan pernah dekati putri ku kembali...!"
Belum sempat dia berkata-kata. Aku mendorong mereka dengan paksa keluar.
Aku tidak mau Bulan mendengar keributan yang terjadi.
"Apa maksudmu, May? Kenapa kau bersikap begini?"
Aku semakin muak dengan pertanyaannya itu.
"Aku yang harusnya bertanya pada kalian, kalian apakah anak ku? Kalian siksa hampir mati..!" aku tidak sanggup menahan emosi lagi
"Aku sungguh tidak tau yang terjadi. Saat aku tinggalkan, dia baik-baik saja." ucap mas Sigit sedih.
Mataku beralih ke Rani yang terlihat gelisah.
"Jadi kau tidak tau apa yang terjadi? Tanya ipar kesayanganmu mu ini? Apa yang sudah dia lakukan pada Bulan. Benar-benar licik kau ya? Kalau tidak suka padaku, lampiaskan padaku. Kalau mau ambil bapaknya, ambil saja. Tapi kenapa begini caramu?" aku menjambak rambut wanita kalang itu.
Beberapa orang berusaha melerai kami terima.asuk mas Sigit.
"Apa yang sudah aku lakukan? dasar wanita gila.. Lepaskan rambutku." Rani berusaha melepaskan diri dari cengkraman ku.
"Masih bisa bicara juga kau, ya.." aku semakin kencang menariknya. Sedang tangan yang lain mencakar wajahnya.
"Tolong.. Wanita ini sudah gila.. tolong pegang dia mas..!" teriaknya kepada mas Sigit.
Sampai satpam datang kami baru bisa di lerai. Rani di bawa untuk untuk mendapatkan pengobatan Karena wajahnya penuh bekas cakaran ku.
Mas Sigit menunduk penuh rasa bersalah.
"Sungguh, aku tidak tau yang terjadi. Aku sedang ada pekerjaan dan tidak bisa pulang. Rani yang berjanji menjaganya tiba-tiba dapat telpon dari keluarga nya. Akhirnya Bulan di jaga ibu dan ayah." jelas Sigit di sela penyesalannya.
"Penyesalanmu tidak ada gunanya, Mas. kalau kau tidak mengambilnya diam-diam dariku. Semua ini tidak akan terjadi." bentak ku sengit. Aku heran, pria di depanku ini seperti tidak punya akal. Sudah seperti ini masih berusaha mencari pembenaran.