Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Krisna
Kuulurkan tanganku. Kusentuh tangan Krisna yang putih itu. Dini sedari tadi mencolek-colek pinggangku. Aku tak mengerti kenapa dia seperti itu. Seperti ada yang salah dengan yang kulakukan di depan Krisna.
“Raina.” Jawabku ketus. Lain kali kalau jalan hati-hati ya, Mas!”
Aku berlalu meninggalkan Krisna. Kutarik Dini untuk segera keluar dari ruangan itu. Dini menganggukan kepala kepada Krisna, seolah minta maaf dengan sikapku yang kurang ramah.
“Lu kenapa sih malah minta maaf gitu. Orang dia nyebelin kok!” Sahutku sambil bergegas mencari Ago.”
“Ya ampun Raina, dia ganteng banget kaya orang bule. Kayaknya dia bukan orang Indonesia ya?”
“Terus, kalau ganteng harus ramah Jelas-jelas dia udah dua kali nabrak Gue,” mataku masih berkeliaran mencari Ago, teman satu tim yang sama-sama mengurus acara ini.
“Ago! Ago …!”
Aku berteriak memanggil Ago yang terlihat di samping pintu masuk. Ruangan pelatihan ini dinamakan ruang Bougenvile. Hotel ini memiliki beberapa jenis dan ukuran untuk meeting. Ruang ini termasuk ruang yang cukup luas menampung banyak peserta. Sehingga agak sulit menemukan Ago yang berlalu lalang di antara kerumunan peserta menuju lantai bawah.
Ago mengenakan kemeja putih dan jas biru tua. Rambutnya yang runcing ke atas, dan kulitnya yang hitam, menghampiriku sambil berlari kecil.
“Iya cantik, buru-buru amat. Ada apa sih?” senyumnya tak pernah lepas setiap Ago berbicara denganku.
“Ini tolong fotocopy di ruang panitia. Dibuat 300 rangkap aja, takut kurang!” Kuserahkan beberapa lembar kertas itu.
“Materi tambahan ya? Pasti dari Pak Krisna,” Ago merapikan susunan halamannya.
“Loh, kamu tahu Pak Krisna?” Tanyaku sambil melirik Dini yang berdiri di samping kami.
“Iyalah, dia itu kepala Divisi Keuangan kantor pusat. Baru tahu ya?” Ago tersenyum lagi padaku.
“Ya udah, Gue ke ruang panitia dulu ya. Ini harus dibagikan jam satu nanti kan? mudah-mudahan aja keburu.”
Ago berlalu meninggalkan kami. Aku dan Dini saling berpandangan. Ada rasa menyesal karena terlalu kasar pada pria itu.
“Mampus Lu, makanya jangan judes-judes. Kepala Divisi loh, gimana kalau lu dipecat gara-gara itu!”
“Duh… elu mah bukannya nenangin gue malah bikin parno. Mana gue tau, Din. Lagian ya, masa iya semuda itu udah jadi kepala Divisi. Aneh deh!”
Aku dan Dini masih kebingungan dengan sosok Krisna yang tak pernah kulihat sebelumnya. Sambil melangkah menuju restoran di bawah, aku masih saja gelisah.
“Mending lu minta maaf aja kalau ketemu. Kaya enggak paham aja budaya kerja di perusahaan kita, jilat menjilat dan gila hormat.” Dini berucap sambil berbisik. Untungnya, para peserta yang lewat tidak terlalu memerhatikan kami.
“Ah, itu mah orang lain aja yang doyan menjilat sama atasan, gue mah ogah. Paling nanti kalau ketemu biasa aja.”
Akhirnya, kami berdua mencoba melupakan soal kejadian tadi dengan Krisna. Kalau sudah senggang, akan kucari informasi tentang Krisna melalui portal perusahaan.
Tidak berapa lama kemudian, kami makan di restoran dengan lahap. Berbagai hidangan mewah tersedia di beberapa meja yang tersebar.
“Ssst... Na!” Dini berbisik sambil mendekatkan kepalanya ke wajahku.
“Apa sih?” Aku mengalihkan perhatian dari ponsel ke mata Dini.
“Itu … Pak Krisna yang ganteng di sebelah kanan lu, terhalang satu meja. Dia lagi makan sama Dirut (Direktur Utama).”
Aku mulai melirik ke arah yang Dini maksud.
“Jangan dilihat begooo …!” Dini kembali berbisik sambil meluruskan wajahku ke arahnya.
“Lu yang ngasih tahu.. lu yang larang. Gimana sih, Din? Kan gue juga penasaran!”
Aku menggerutu tapi tak lama tersenyum melihat tingkah Dini yang lucu.
“Ya tapi enggak dilihat sekarang juga. Kalau dari posisi lu terlalu jelas. Nah, kalau dari kursi gue, enak tuh mandanginnya.” Dini tersenyum sambil memandang Krisna.
“Ya ampun ganteng banget sih? Pasti pacarnya banyak, eh apa udah nikah ya? Gue mau kalau jadi istri kedua juga. Nggak apa-apalah yang penting ganteng. Mau dimadu kek, mau simpanan kek, yang penting ganteng dan kaya. Hihihi …!”
“Ih najis!” sahutku.
“Gue mah pantang ngerusak rumah tangga orang Din. Apalagi karena materi!”
Kuteguk air putih yang tinggal setengah itu. Sambil sesekali melirik ke arah Krisna, kusibukan diriku dengan membaca beberapa pesan yang masuk.
“Jangan sompral kalau ngomong, nanti kejadian. Pake acara najis segala!”
“Elu yang sompral, pake acara mau dimadu segala. Inget laki lu di rumah! udah yuk ah, belum salat. Bentar lagi jam satu loh!” Aku berdiri dan bergegas ke lantai atas bersama Dini.
Dini memang sudah menikah, dia dikaruniai suami yang tampan dan anak yang cantik. Usia anaknya tidak berbeda jauh dengan usia Randi. Kami sama-sama bekerja di kantor Sub Divisi Tangerang dan tinggal di perumahan yang sama di daerah dekat kantor. Beruntung aku mengenal Dini, dia sangat mengerti dengan keadaanku. Meskipun aku karyawan baru, Dini tidak sombong seperti karyawan lainnya.
Acara hari pertama selesai sudah. Kamar panitia sudah disiapkan di lantai tiga. Posisinya berjajar. Aku dan Dini sudah pasti satu kamar. Di sebelah kamar kami, ada Ago, lalu di sebelahnya lagi ada Mia dan Indri. Alhamdulilah sebagai panitia, kami cukup kompak dalam berkerja sama.
Waktu menunjukan pukul delapan malam. Semua peserta sudah selesai makan. Sebagian besar terlihat menuju kamar masing-masing, dan sebagian lagi entah ke mana. Beberapa daftar kehadiran dan materi sudah kusiapkan untuk besok. Sambil menatap layar laptop, kupastikan laporan hari tidak ada yang terlewat.
Kugerakkan tanganku ke atas. Meja rias berubah menjadi meja kerja di kamar hotel tersebut. Sambil meluruskan tangan dan menggeliatkan tubuhku, kutoleh ke belakang. Dini sudah tertidur sambil menatap layar ponsel. Sedangkan aku belum juga mengantuk.
Kubuka pintu balkon yang terbuat dari kaca. Dari sini, terlihat air laut dan suara debur ombak terdengar samar. Sepertinya aku harus mencari udara segar. Ingin kubangunkan Dini tetapi tak sampai hati. Akhirnya aku keluar sendiri sambil membawa kunci untuk membuka pintu nanti. Ponsel kutinggalkan karena sedang diisi daya. Untuk apa juga kubawa, aku hanya ingin berjalan-jalan ke pantai sebentar.
Celana palazzo hitam yang kugunakan, dipadu dengan kaos merah muda dan syal senada di kepala. Kubalutkan syal itu menjadi kerudung yang menutupi rambutku.
Seharusnya aku mengenakan mantel atau jaket. Kaos ini terlalu tipis. Tak kusangka hawa pantai yang biasanya panas ini memiliki angin yang cukup kencang.
Warung-warung kecil di pinggir pantai masih menyala. Di bawah hotel, ada beberapa tempat duduk dihiasi paying-payung berwarna putih. Aku terus berjalan menuju pantai. Ingin melihat indahnya laut di keheningan malam.
“Sendiri?” Sebuah suara yang tidak asing menyapaku. Sosok itu berdiri di antara remang cahaya bulan dan lampu.
"Krisna?” Aku spontan menyebut namanya tanpa embel-embel ‘Pak’.
Ia berdiri di samping, menghadap laut. Kaosnya yang berwarna putih dan celana pendek yang dikenakan, membuat pria itu semakin menawan. Semilir parfum Bulgari Pour Homme menusuk hidungku, menambah daya pesona pria itu.