Satu persatu teror datang mengancam keselamatan Gio dan istri keduanya, Mona. Teror itu juga menyasar Alita, seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Konon, pernikahan kedua Gio menjadi puncak kengerian yang terjadi di rumah mewah milik Miranda, istri pertama Gio.
“Apakah pernikahan kedua identik dengan keresahan?”
Ada keresahan yang tidak bisa disembuhkan lagi, terus membaji dalam jiwa Miranda dan menjadi dendam kesumat.
Mati kah mereka sebagai tumbal kemewahan keluarga Condro Wongso yang terus menerus merenggut bahagia? Miranda dan Arik kuncinya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kutukan Istri Pertama ²⁵
Gumpalan berlendir mengendap di hidung Arik seakan-akan udara dingin yang bercampur debu dan membekukan pernapasannya semalaman.
“Cukup.” Arik memberi tahu dirinya sendiri untuk berhenti melawan apa yang sedang dia pikirkan kuat-kuat—bahwa semua perlawanan yang dia lakukan akan sia-sia di matanya sendiri bahkan di mata Miranda.
“Aku harus bersekutu dengan budak iblis?” Ya Allah, aku minta ampun. Minta perlindunganmu dari godaan setan yang terkutuk!” Arik menekuk jari-jarinya ke dalam genggaman tangan seolah-olah dia menguatkan diri sebelum tenggelam dalam dunia bawah tanah.
Arik menarik napas seraya menendang pelan punggung Miranda yang masih terlelap di atas tikar gulung.
“Rencana gelapmu tidak akan berhasil jika masih tidur, Kak!”
Miranda tersenyum, siapa juga yang tidur? Dia hanya merebahkan tubuhnya untuk memulihkan tenaga.
“Rencanamu sendiri bagaimana? Sudah ada?” Miranda membalikkan tubuhnya, “Habis makan nasi goreng kamu kelihatannya tidur nyenyak banget sampai aku takut lehermu patah!”
Arik membuang tatapannya ke sembarang arah, malas melihat mata segar yang tidak ada lelahnya itu.
“Jangan lihat ke mana-mana, nggak ada yang lebih baik dari pada aku di sini.” ucap Miranda sambil menggoyangkan sepatu Arik.
“Kamu nendang aku tadi, memangnya aku bola?”
“Bola panas yang bergulir dan mengakibatkan bencana!” sembur Arik dengan serak, dan kejadian berikutnya dia tak tahan untuk bersin-bersin saking dinginnya udara di sana. Ingus mengalir dari hidungnya.
Arik mengatupkan bibirnya kuat-kuat sedang Miranda tergelak lalu menggodanya dengan tisu yang dia iwir-iwir di depan mukanya.
“Mau dibersihkan?”
Arik melotot galak, sumpah, sudah semalam dibuat malu tak karuan waktu di suapi Miranda. Sekarang harus... Miranda membersihkan ingusnya tanpa rasa jijik.
Arik tercenung, begitu kah para wanita yang telah tersakiti dan merayu, memperhatikan laki-laki lain?
Arik memperhatikan Miranda yang justru berlutut, mau apa lagi wanita gila ini? Tubuhnya langsung waspada, tak mampu menemukan kata-kata selagi matanya begitu menggilai aksinya yang tidak kaleng-kaleng.
“Ayo ke kamar mandi.” ajak Miranda sambil melepas ikatan di pergelangan kakinya. “Kamu harus melakukan suatu hal yang pasti kamu tahan-tahan, tapi jangan kabur.” Miranda gegas menahan lengan Arik sewaktu pemuda desa itu berdiri tanpa merasakan kesemutan atau kram.
“Semoga air sumurnya masih layak pakai, kalau nggak kita harus ke kali.”
Wajah kesal Arik tidak lagi sempurna, wajah itu lebih terlihat heran saat Miranda terkekeh-kekeh.
“Apanya yang lucu?” tanya Arik malas.
“Kamu lah, mana mungkin aku.” Miranda memanyunkan bibirnya. “Dari remaja aku sudah lama berurusan dengan iblis. Jadi aku nggak mungkin lucu. Aku seram.”
Arik mendengarnya seperti nada bercanda, tapi wajah Miranda selalu serius dan kurang mampu membangkitkan kelakar untuk membuat semuanya terdengar santai.
“Aku sudah buat keputusan.” ucap Arik.
“Oh ya?” Mereka telah sampai di sumur yang berada di pekarangan belakang rumah. Rumput dan ilalang tumbuh subur. “Ini rumah ayahnya Pak Bagyo, masih di rawat karena beberapa kali dijadikan tempat penyekapan. Jadi pakailah. Aku tunggu di dapur.”
Miranda melepas ikatan di pergelangan tangan Arik sambil menatapnya lekat-lekat. “Aku kasih kamu kepercayaan dan berapapun jumlah uang yang kamu inginkan.”
“Menerima uang darimu sama saja menerima uang haram!” Arik meludah seolah itu reaksi atas ketidaksukaannya. “Aku bisa bantu tapi gak menjanjikan apapun!”
“Terus kalau aku mati, Alita bagaimana?”
“Ya itu bukan urusanku, Kak!” sembur Arik seraya melongok ke dalam sumur, air di dalamnya memantulkan wajahnya yang letih. “Alita masih punya Bapak kan, suruh aja sama bapaknya!”
Miranda menendang lutut Arik seraya mengomel panjang. “Orang Bapaknya mau aku buat gila! Mentok-mentok ya mati.”
“Astagfirullah.” Arik mencengkeram rambutnya kuat-kuat. “Cukup, Kak! Aku nggak mau dengar kejahatanmu lagi.”
Miranda membiarkan pembicaraan mereka berakhir di sumur dan menunggu Arik di ruang tamu tanpa mencemaskannya.
“Gak kabur kamu?” ucap Miranda saat Arik kembali dengan wajah segar dan rambut yang sedikit basah dan tertata berantakan.
“Males, nanti juga bakal dicari-cari!” Arik melihat sekeliling. “Gak beli makanan? Laper aku.”
Miranda memandangnya dengan tatapan tersinggung sambil membuka tas tentengannya. “Apa kita bisa bicara baik-baik setelah makan?”
“Tergantung kakak.” Arik melahap roti dorayaki dan roti karamel seperti orang kelaparan. “Nasinya mana?”
“Astaganaga, Arik!” bentak Miranda dengan gemas. “Mana mungkin aku beli nasi sekarang, ini jauh dari penduduk desa.”
“Berarti Kak Mira tidak mau berkorban demi aku yang hendak membantumu.”
Demi bulan, bintang, dan jin setan yang hendak ia binasakan, Miranda tercengang dan tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk melawannya.
Arik, pemuda desa yang menggemaskan ini sungguh aduhai sekali sekarang. Dengan dibuat-buat, dia berwajah congkak seolah memenangkan pertandingan.
“Hpku di bawa admin pribadi, jadi nasinya nunggu Pak Bagyo datang. Gak apa-apa kan...?” Miranda nyengir. “Aku juga lapar, tapi gimana lagi? Apa perlu aku masak daun singkong? Atau kita maling singkong?”
Arik bersumpah dalam hati, kalau saja Miranda bukan seniornya, dia pasti sudah memukul keningnya dan mengatainya goblok.
“Kalau kakak mau aku kuat, silakan cari singkong dan kayu bakar.”
Miranda tergelak sambil mencubit pipinya. “Aku nggak mungkin keluar dari sini, sudah di pagari. Aku di jaga orang baik.”
Arik tidak percaya. Apapun yang Miranda ucapkan hendaklah jangan dipercaya, tapi setelah mata batinnya terpaksa dia buka sendiri. Semprul adalah satu-satunya kata yang keluar dari bibirnya.
Rumah itu diselimuti kubah tak kasat mata berwarna putih, ya benar, melindungi orang di dalamnya dari serangan-serangan yang belum Miranda inginkan.
“Kamu juga mau buat aku gila, Kak?” tanya Arik dengan tidak senang. “Mbah Redjo tidak masuk ke sini.”
“Memang betul.” Miranda bersedekap. “Masih ada selusin orang yang aku tunggu, Rik. Ini baru persiapan, tapi toh, kamu sama aku, kamu nggak bakal gila. Cuma kelaparan aja, mirip Gio dan Mona. Mereka pasti lapar berat dan depresi.”
Arik memegangi kepalanya. “Sumpah, Kak. Mending cepet-cepet tobat deh, istighfar, nyebut nama Allah.”
Miranda tersenyum sambil mengangguk. “Ajarin, mau?”
Arik menatapnya lekat-lekat dari ujung kepala sampai ujung kaki hingga membuat Miranda gelisah.
“Ini soal hidup dan mati kan? Kalau betul kakak mau tobat, ucapkan kalimat syahadat dulu!” Arik membimbingnya dengan pelan dan hati-hati, meski begitu Miranda nampak kelu saat mengucapkannya.
Arik menggeleng. “Bilang yang yakin, jangan setengah hati!”
“Tapi aku deg-degan, Arik. Jangan maksa.”
“Orang kakak juga tukang maksa, gitu aja merasa paling tertekan. Udahlah, aku males, muridnya pemalas, gak yakin! Labil!” Arik berdiri. Pergi ke sumur lagi, cari minum.
-
next
👍 great...
menegangkan, seru
say Miranda
duh punya berondong manise disanding terus, alibi jadi sekretaris pribadi nih...
next
jgn2 miranda jd tumbl bpknya sndri. krn thu miranda sdg skit hati.