Nb : konten sensitif untuk usia 18 tahun ke atas !
Parade Hitam, wabah Menari.
Kisah kelam dalam hidup dan musik.
Tentang hati seorang anak manusia,
mencintai tapi membenci diri sendiri.
Sebuah kisah gambaran dunia yang berantakan ketika adanya larangan akan musik dan terjadinya wabah menari yang menewaskan banyak orang.
------------------------------------------------
Menceritakan tentang Psikopat Bisu yg mampu merasakan bentuk, aroma, bahkan rasa dari suatu bunyi maupun suara.
Dia adalah pribadi yang sangat mencintai musik, mencintai suara kerikil bergesekan, kayu terbakar, angin berhembus, air tenang, bahkan tembok bangunan tua.
Namun, sangat membenci satu hal.
Yaitu, "SUARA UMAT MANUSIA"
------------------------------------------------
Apa kau tahu usus Manusia bisa menghasilkan suara?
Apa kau tahu kulitnya bisa jadi seni indah?
Apa kau tahu rasa manis dari lemak dan ototnya?
Apa kau tahu yang belum kau tahu?
Hahahaha...
Apakah kau tetap mau menari bersamaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sad Rocinante, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian III - Like A Mirror
Semalaman Nyonya Way tidak bisa tidur dengan nyenyak, pikirannya terus berputar-putar, badannya terasa pegal tak kunjung berhenti gelisah.
"Bagaimana mungkin wanita berkharisma nan elegan seperti aku harus menggunakan pakaian yang sama, dan bagaimana mungkin tahun ini wanita lain yang akan terpilih menjadi The May Queen menggantikan aku yang telah terpilih enam kali secara beruntun?" Itu merupakan kegagalan yang akan sangat mengecewakan bagi pamornya di kalangan elit seantero negeri.
Dini hari sekali Nyonya Way asik sendiri di depan cermin raksasa di ruangan hias pribadinya, ia berulang kali mengobrak-abrik lemari mewah berisi gaun-gaun indah serta berulang kali bergonta-ganti gaun hitam di depan kaca.
Ahh ..., sialan semuanya mengecewakan.
Hampir seluruh gaun hitam terindah yang ia miliki telah ia coba, semuanya baik dan tidak ada yang terbaik, semuanya buruk dan memperburuk kekecewaan di hati Nyonya Way.
Matahari mulai benderang dari balik awan segar, bulir-bulir embun bening memantulkan binar-binar bintang timur, benderang begitu terang tak luntur oleh kegalauan di hati Nyonya Way.
Maaa ....
Dari balik kamar seberang—kamar putranya—terdengar rengekan manja menyambut pagi, suara itu mengingatkan Nyonya Way akan satu hal yang bisa menyelamatkan gelarnya nanti.
"Minette ..., Minette cepat kemari!" Nyonya Way yang lemas dan mengantuk berteriak memanggil Minette dengan sisa tenaganya.
"Baik, Nyonya," jawab Minette yang sedang berlari ke arah ruangan Nyonya Way.
"Saya di sini, Nyonya." Minette bersujud memberi hormat.
"Minette, satu jam lagi cepat persiapkan air mandi saya dan putra saya, serta persiapkan pula pakaian dan kereta kuda terbaik. Saya mau tidur sebentar."
Nyonya Way membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur mewah, kantung matanya menghitam bak luka pukulan.
"Baik, Nyonya, kemanakah sekiranya kita akan pergi?"
"Sudah, persiapkan saja, kau juga akan tahu nanti. Haahh ...." Nyonya Way menutup mata dan mulai tertidur.
"Baik, Nyonya."
Minette dengan sigap mempersiapkan air hangat serta pakaian, berupa: gaun, sepatu, dan topi bagi Nyonya Way, serta pakaian untuk Tuan Muda Hutton, berupa: pakaian beludru sutra untuk anak lelaki.

Hutton Brian Way adalah putra satu-satunya dari pasangan suami isteri keluarga Way yang tinggal di Geneva, kebanyakan Bangsawan Way menjadi orang kaya di berbagai kota dan jarang dalam satu kota yang sama dengan Keluarga Way yang lain.
Hutton adalah anak yang selalu kesepian dan tidak memiliki teman, hal itu yang terkadang membuat Minette merasa sedih dan iba terhadapnya.
"Tuan Muda Way, apakah anda sudah bangun, Tuan Muda?" Minette mengetuk pintu kamar Hutton dengan pelan.
"Ya, Minette, masuk saja ... aku sudah bangun, kok."
"Baik, terimakasih, Tuan Muda."
Minette memasuki kamar Hutton dan langsung membuka jendela serta merapihkan tempat tidur. Setelah semuanya telah rapih, Minette menggendong Tuan Mudanya ke kamar mandi untuk dia mandikan.
"Mari, Tuan Muda, saya telah menyiapkan air hangat bagi Anda."
"Baik, terima kasih, Minette."
"Sama-sama, Tuan Muda, mari saya lepaskan pakaian Anda."
"Tidak perlu, aku bisa sendiri," tepis Hutton, berusaha membuka pakaiannya walau sedikit kesulitan.
"Wah ..., kerja bagus Tuan Muda, Anda sudah tumbuh dewasa dan bijak," ujar Minette memuji usaha Tuannya.
Mendengar pujian itu, Hutton nampak biasa-biasa saja, tatapannya kosong tidak berarti.
Minette pun mengangkat Hutton ke dalam bak mandi yang telah di penuhi air hangat dan wewangian cedar, dengan ketulusan dan kasih sayang ia membasuh dan membersihkan tubuh kecil Hutton, mulai dari kulit halus kekuningan serta rambut pirang tipis semuanya nampak mempesona bak boneka pajangan saja.
Selesailah Minette memandikan Tuan Muda Hutton, dengan sopan mengelap tubuh basahnya bagaikan menjaga cangkang telur agar tidak retak serta memakaikan pakaian mewah serta sepatu dengan hak kepadanya—seperti menghiasi karangan bunga dalam puisi cinta, semuanya indah dan menawan.
"Tuan Muda, Anda semakin tumbuh dewasa dan rupawan. Jadilah anak yang baik serta gagah berani seperti Ayah Anda kelak, doa saya selalu menyertai Anda, Tuan Muda," harap Minette yang sedang asik menyisiri rambut halus Tuan Muda Hutton di depan cermin.
"Sudah satu jam. Mari Tuan Muda, duduk di tempat tidur Anda, sementara saya akan membangunkan Nyonya dulu untuk mandi dan sarapan bersama."
Minette berdiri dan memberikan hormat, segera meninggalkan kamar Hutton.
Hutton yang terduduk di tempat tidur empuknya merasa sesak akan kesunyian, ia masih saja menatap tajam ke arah cermin, memelototi pantulan jiwa kesepian di sana. Dia mulai bercengkerama dengan pantulan itu, memberinya senyuman dan sapaan berharap dirinya jadi nyata.
Ketika ia semakin membutuhkan seseorang di cermin itu, semakin pula ia membenci dirinya sendiri. Kesendirian melahirkan penderitaan dan kesunyian melahirkan kegilaan.
***
Sementara itu Nyonya Way sedang dibasuh oleh Minette pada bak mandinya. Minette menggosok punggung Nyonya Way menggunakan kain berbusa dengan sangat pelan dan hati-hati agar kulit mulus Nyonyanya tidak lecet sedikit pun.
Di dalam bak mandi itu mereka berbincang-bincang sejenak tentang rencana Nyonya Way untuk hari ini.
"Minette, apakah kau telah menyiapkan keretanya?"
"Sudah, Nyonya, kereta yang terbaik siap mengantarkan Anda."
"Baguslah kalau begitu, sebentar lagi kita akan menuju pasar manisan."
"Apakah Anda ingin membeli manisan untuk pesta upacara nanti, Nyonya?" tanya Minette dengan wajah sedikit tertekan.
"Ya, tentu saja, jika saya tidak mendapatkan gaun terbaik, maka saya harus mendapatkan manisan terbaik. Bukankah begitu, Minette?"
"Ia, Nyonya, saya hanya pelayan Anda yang akan selalu mematuhi segala keinginan Anda, Nyonya."
"Ya, memang seharusnya begitu. Apakah kulit saya masih kencang dan wajah saya masih cantik, Minette?" Napas Nyonya Way melayang bersama uap air hangat bak bandi.
"Tentu saja, Nyonya. Anda adalah wanita tercantik yang pernah saya temui sepanjang hidup saya yang telah menginjak enam puluh tahun ini." jujur Minette meladeni pertanyaan Nyonya Way.
"Yah, mungkin benar seperti katamu, Minette, tetapi saya harus lebih sering menggunakan ramuan abadi itu. Saya tidak sudi menjadi tua seperti dirimu, Minette."
"Tentu saja, Nyonya, Anda bebas melakukan apapun untuk kebahagiaan Anda, dan saya tidak ada hak sama sekali untuk melarangnya," jawab Minette yang telah selesai membersihkan tubuh Nyonyanya.
"Sudah selesai, Nyonya, mari beranjak dari bak mandi ini agar saya keringkan badan Anda, Nyonya." Minette meraih handuk lembut yang tergantung di belakangnya.
"Mari saya lap badan Anda, Nyonya."
"Ya, silahkan, Minette."
Nyonya Way berdiri begitu anggun, keluar dari dalam bak mandi, menghempaskan aroma harum dan uap hangat tubuh yang memenuhi seisi ruangan.
Minette berlahan dan penuh kekaguman menyeka tubuh halus dan mulus Nyonya Way, bahkan untuk wanita tua sepertinya pun lekukan pinggul indah nan sempurna ini adalah hal yang membuat jantung berdebar tak karuan, buah dadanya padat mempesona, tak beda lah dari bokongnya.
"Silahkan angkat lengan Anda, Nyonya, agar saya bisa menyeka bagian dalam lengan Anda." bisik napas ber'uap Minette.
"Silahkan."
Nyonya Way pun mengangkat lengannya begitu anggun bak penari suci pada sebuah pesta perayaan.
Mengagumkan ....
"Kaki anda juga, Nyonya."
"Silahkan."
Nyonya Way melonggarkan kakinya seperti sedang menari saja, begitu anggun dan mempesona. Setiap titik air yang menempel di kulitnya menguap ke langit-langit seperti menderita harus terpisah dari tubuh luar biasa ini. Aroma harum kayu cedar merebak bersama uap.
"Badan Anda telah kering sepenuhnya, Nyonya. Mari duduk dulu agar saya bisa mengeringkan wajah dan rambut Anda juga." bujuk Minette menunjuk ke sisi bak mandi.
Minette menggantungkan kembali handuk yang telah basah dan menggantinya dengan handuk kering yang lain, dengan pelan dan berlahan Minette menyeka setiap inci rambut cantik Nyonya Way yang tak kalah menawan dari tubuhnya: panjang, tebal, harum, dan amat lembut.
Setelah rambut telah kering dan berkibar sesuka hati, Minette meraih kain sutera indah dari dalam kotak mandi. Begitu pelan ia mengibaskan kain itu dan menyeka wajah cantik penuh lekukan anggun Nyonya Way.
Cantik tak pernah menua.
Tidak aneh lah jika banyak bangsawan dan saudagar kaya yang silih-berganti datang untuk mencoba peruntungannya serta berlomba-lomba menunjukkan segala pesonanya untuk melamar Nyonya Way sang janda paling cantik di kota ini.
Namun, dari sekian banyak pria muda maupun tua yang datang untuk menjadi tambatan hatinya, Nyonya Way tidak pernah memberikan pandangan berarti terhadap mereka. Semuanya pulang membawa kekaguman dan kekecewaan.
Minette yang telah membuka kain penutup bak mandi. "Sudah, Nyonya, mari kita ke ruang berhias Anda untuk mengenakan gaun." Ia menunduk.
"Terimakasih, Minette."
Sesampainya di ruangan kamar terlihat bahwa gaun anggun berkualitas tinggi telah terkembang indah di atas tempat tidur Nyonya Way—bersama dengan sepatu, tas, dan topi berhias bulu-bulu indah.
"Silahkan duduk, Nyonya, agar saya sisir rambut Anda."
Minette menyisir rambut indah Nyonya Way serta meminyakinya dengan minyak cedar kebanggaan Geneva, halus sungguh menawan, bahkan sisir tidak macet sedikit pun.
"Silahkan Berdiri di depan cermin, Nyonya, agar saya bantu pakaikan gaun Anda." ujar Minette.
"Baik, silahkan, Minette."
Minette membantu Nyonya Way memakaikan berbagai hal rumit yang tidak dapat dilakukan oleh satu orang atau sendirian tentunya.
Mulai dengan shift putih, pakaian dalam yang dikenakan tanpa celana dalam. Selanjutnya Minette mempersilahkan Nyonya Way untuk duduk dan memakaikan stoking sampai ke atas lutut dan mengikatkannya dengan pita garter agar stoking tidak turun ketika berjalan atau menari.
Di atasnya, rok linen putih selutut yang dikenakan untuk kehangatan dan kesopanan, dan di atasnya lagi tinggal menggunakan balin paus.
Korset diikat kuat dengan tali di bagian belakang, bertujuan untuk membentuk pinggang yang ramping dan elegan.
Kantong ditambahkan dalam bentuk tas yang dikenakan di pinggul, diikatkan dengan kencang agar tidak terlepas. Tujuan kantong ini adalah untuk menyimpan barang maupun menghangatkan tangan serta menambah kesan keanggunan.
Selanjutnya Minette mengikatkan petticoat pada pinggang Nyonya Way, petticoat merupakan rangka rok mengembang dan berenda, tujuannya untuk selain memberikan kehangatan juga untuk menampilkan kecantikan yang luar biasa nantinya.
Setelah itu Minette memasukkan rok dari berbagai jenis, lalu memakaikan gaun yang dimasukkan dari atas: celemek linen, dan kemudian celemek lain yang "tidak memiliki tujuan selain untuk menunjukkan status baik individu yang memakainya".
Banyak tumpukan kesombongan bagi wanita di abad ini yang telah dikenakan oleh Nyonya Way.
Tidak lupa pula wig dan topi bulu yang besar dan berlebihan, semuanya telah terpasang dalam tubuh bak boneka.
"Sudah sempurna, Nyonya. Mohon duduk kembali untuk mengenakan sepatu anda." Mintte menyeret kursi bulat kecil dari belakangnya.
"Ya, silahkan."
Minette meraih satu-persatu kaki lentur Nyonya Way, memakaikan sepatu kulit terbaik serta meletakkannya di kotak semir sepatu untuk selanjutnya diseka menggunakan kain bersih.
Lengkap sudah semua barang mahal telah menempel pada tubuh Nyonya Way, menambah citra janda tercantik yang memang pantas disematkan di belakang namanya.
"Sudah, Nyonya, semuanya telah sempurna. Marilah kita turun untuk sarapan." Minette memberi hormat.
Nyonya Way menatap pantulan dirinya sendiri pada kaca. "Minette, apakah saya secantik wanita di pantulan cermin ini?" ujarnya ragu, jarinya mengelusi kehalusan wajahnya.
"Ya, Nyonya, bahkan lebih cantik dari pada yang di cermin." Jawaban yang senantiasa diucapkan oleh Minette.
"Ya, tentu saja, karena saya telah meminum ramuan keabadian. Kamu bodoh, Minette, kenapa kamu tidak mau meminumnya."
"Saya hanya pelayan tua, Nyonya, kecantikan tidak pantaslah berada di benak saya." Minette menggeleng.
"Begitu, ya? Baiklah, memang setiap manusia memiliki keinginannya masing-masing."
"Terimakasih atas pengertiannya, Nyonya, marilah kita keruang makan."
"Baik, mari kita turun."
Nyonya Way nampak anggun dan menawan dengan segala keindahan gaun yang ia kenakan. Bak seorang putri kerajaan ia menuruni tangga begitu anggunnya, berjalan menuju ruang makan dimana Hutton putranya dan para pelayang yang berdiri di antara meja lebar memanjang serta di penuhi berbagai makanan mewah, setiap pelayan menunduk menunggu kehadiran Sang Nyonya.
"Silahkan duduk, Nyonya," ujar salah seorang pelayan wanita, menarik kursi agar Nyonya bisa duduk.
Nyonya Way tersenyum kepada putranya. "Ayo makan makananmu, Hutton, putraku yang manis, habiskan lah agar kita segera berangkat," rayunya.
Mereka berdua pun melahap makanannya, nampak Nyonya Way adalah pribadi yang sangat menjaga kebugaran dan kesehatan tubuh. Ia hanya memakan salat dengan berbagai macam sayuran dan buah saja.
Sarapan usai, meja segera dibereskan oleh para pelayan. Nyonya Way beserta putranya dan Minette segera keluar dari istana, menaiki kereta kuda yang telah berjejer di luar.
Seluruhnya ada empat kereta kuda mewah yang akan pergi mengantar mereka, berjalan pelan memacu kuda-kuda sampai ke tujuan kisah kita akan berjalan sesuai keinginannya.
pokoknya netral dah, baru kali ini ketemu novel klasik kayak novel terjemahan aja