Tentang sebuah perasaan dan liarnya hati ketika sudah tertuju pada seseorang.
Rasa kecewa yang selalu menjadi awal dari sebuah penutup, sebelum nantinya berimbas pada hati yang kembali merasa tersakiti.
Semua bermula dari diri kita sendiri, selalu menuntut untuk diperlakukan menurut ego, merasa mendapatkan feedback yang tidak sebanding dengan effort yang telah kita berikan, juga ekspektasi tinggi dengan tidak disertai kesiapan hati pada kenyataan yang memiliki begitu banyak kemungkinan.
Jengah pada semua plot yang selalu berakhir serupa, mendorongku untuk membuat satu janji pada diri sendiri.
”tak akan lagi mencintai siapapun, hingga sebuah cincin melekat pada jari manis yang disertai dengan sebuah akad.”
Namun, hati memanglah satu-satunya organ tubuh yang begitu menyebalkan. Untuk mengendalikannya, tidaklah cukup jika hanya bermodalkan sabar semata, satu moment dan sedikit dorongan, sudah cukup untuk mengubah ritme hari-hari berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lu'lu Il Azizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Paras cantik tidak bisa mendikte kemauan hati.
Pukul 20.00. Setelah membersihkan badan, merefresh otak. Aku duduk tepat di depan laptop toko yang tergeletak di samping mesin kasir, jariku menekan random huruf pada keyboard, dengan layar yang tidak menyala. Percakapan dengan pak bos sore tadi jadi masalah baru untukku. Aku masih tertegun tidak percaya.
“menurutmu Laras cantik?”tanyaku pada Vika, dia sedang selonjor tidak jauh dari kursi yang sedang ku duduki, di sampingnya ada dua bungkus camilan, sudah terbuka.
”tidak perlu jawaban untuk pertanyaanmu itu.”jawabnya tidak peduli. Vika sudah berangsur kembali menjadi dia yang dulu, setidaknya seperti itu asumsiku sekarang.
“mood mu sedang bagus untuk mendengar cerita?”lagi, aku bertanya, memandang siluet ku sendiri pada layar laptop yang mati.
”kenapa kau berbelit-belit El! Kau jatuh cinta padanya? Kau sudah menyerah dengan Ain?”kali ini dia melihat ke arahku.
“apakah ucapan adik Laras kemarin berhasil membuatmu tumbang?”lanjutnya bertanya, masih menatapku.
Aku menghela nafas panjang.”tidak... tidak mungkin aku menyerah pada Ain.”sejenak aku menghentikan ucapanku, mengingat komunikasi ku dengan Ain yang sedang buruk, buruk sekali.
”bagaimana jika sebaliknya? Maksudku, Laras lah yang suka padaku.”lanjutku bicara tanpa mengubah posisi. Vika langsung tersedak keripik kentang yang belum selesai ia kunyah.
”sialan kau El!!”Vika meraih botol minuman dan segera meminumnya, dia merasa tertipu karena wajahku sedang tidak terlihat bercanda.
“bodoh! Aku sedang tidak bercanda Vik.”tegasku.
Vika melirik tajam ke arahku, memastikan jika aku benar benar tidak sedang bercanda, lalu bergegas menarik kursi plastik di dekatnya seraya duduk di sampingku dengan wajah penasaran.
”sebentar! apa maksudmu? darimana kau tau itu?”dia semakin penasaran, menatap wajahku yang mungkin terlihat dilema.
“tadi sore pak bos memberitahuku. Awalnya ku pikir dia juga sedang bercanda seperti biasanya, tapi dia meyakinkanku jika semua yang dia katakan serius.”ku buang nafas kasar, menutup laptop lalu mendaratkan dagu di atasnya. Vika menarik kasar lengan kaosku, memaksaku untuk menatapnya. Mungkin dia gemas melihat tingkahku.
”lanjutkan ceritamu E!”ucapnya menyidik, dengan wajah semakin penasaran juga mata yang mengisyaratkan ucapan, ceritakan sedetail mungkin!
Aku sedikit menggeser kursi, risih dengan polah Vika, lalu menyalakan sebatang rokok dan mulai bercerita, tentang pak bos yang sudah sering bicara tentangku pada pak Herman, bahkan jauh sebelum ada rencana membuka toko. Lalu beliau katanya suka dengan karakterku ketika kami pertama kali bertemu, entah bagaimana cara beliau memaparkan rencana pada Laras anak pertamanya. Yang jelas Laras tidak menolak juga tidak serta merta menerima.
”biarkan aku sendiri yang menilai, seperti apa dia.”begitulah ucapan Laras, kata bosku.
”jadi maksudmu. Salah satu alasan kenapa Laras begitu aktif dengan persiapan tokonya, karena penasaran denganmu?”Vika memotong ucapanku dengan kening mengkerut, juga ujung bibir yang sedikit naik.
“mungkin.” jawabku menjatuhkan latu rokok pada asbak kayu kecil bermotif kendi.
“ternyata si cerdas bisa bodoh juga.” Vika memandang remeh ke arahku.
”sialan kau Vik!”.
”untuk sekelas ghozali yang selalu tolol dengan perasaannya sendiri. Gadis secantik Laras sampai rela merepotkan diri.”celetuknya tanpa beban.
“ironis!!”tutupnya, merasa heran. Sambil menggelengkan kepala, di iringi dengan sebuah decakan.
“kau saja yang terlalu dangkal! Tak mampu menggali potensiku.” Ku lempar bungkus rokok ke arah kerudung cokelat nya. Vika tertawa, sukses memancingku.
Ku hisap kembali sebatang rokok yang masih menyala, sebelum kembali melanjutkan ceritaku. Tentang Laras yang begitu semangat dengan bidang barunya di tengah skripsi yang sedang dia garap, belum rampung. Terakhir kali pak Herman menyinggung tentangku, respon Laras sangat positif, bahkan sudah beberapa kali dia bercerita tentangku pada ibunya, dan itu adalah kali pertama Laras berani bicara tentang laki-laki.
Pak bos memberiku saran untuk segera memberi respon pada Laras.
Vika terus saja menggeleng kepala, dia masih tidak percaya.“lalu, apa rencana mu.”tanya Vika setelah aku menutup cerita dengan hembusan nafas kasar.
“bunuh diri!” jawabku asal.
“perlu bantuan!”Vika melotot. Kepalaku kena timpuk botol kosong yang dia pegang.
Aku mengusap jidatku sendiri.”seharusnya ini adalah sesuatu yang sangat aku tunggu kedatangannya. Setidaknya untuk beberapa bulan yang lalu, sebelum aku menautkan hati pada ain.”gumanku dalam hati.
Suasana toko yang sepi seakan memberiku kesempatan untuk meluapkan segala hal yang menggangu pikiranku.
“aku juga belum tau Vik. Minimal kemarin aku sudah bercerita tentang Ain padanya.”ucapku mengingat kembali hari dimana aku dan Laras mendisplay barang.”pantas saja mood Laras hari itu langsung berubah, setelah aku bercerita tentang siapa Ain bagiku.”batinku merangkai kembali ingatan tentang kebersamaan kami.
Vika kembali tersentak.“gila! Kau sudah menceritakan tentang Ain padanya??”respon nya dengan suara cukup keras, wajah penasarannya kembali.
”dia sendiri yang memaksa, lagi pula aku juga sudah terlanjur berjanji padanya di lain waktu.”
Beberapa kali Vika menggelengkan kepala, di tutup dengan menepuk jidatnya sendiri.
”apa kau sama sekali tak memiliki intuisi? Minimal sedikit membaca makna dari wajah Laras saat kalian bersama.” Vika menarik nafas panjang. Aku hanya diam, memandang jalan depan toko yang semakin lengang. Lalu dia menceramahi ku banyak hal, tentang perasaan, tentang sensitif, tentang kode tersembunyi dari tingkah wanita, dan lelaki yang di tuntut untuk peka pada hal itu.
“terlalu banyak kata TENTANG yang harus di uraikan. gen kalian memang sangat merepotkan!”protesku sambil menggaruk kepala bagian samping.
“tapi hatiku sama sekali tidak konek Vik, aku jadi merasa tak enak hati dengan Laras.”ku tarik nafas panjang.
“kau tau Vik. Jika semua ucapanmu barusan ku kaitkan dengan tingkah Ain selama ini, itu artinya dia juga jatuh cinta padaku.”lanjutku mengutarakan isi kepala, membuat sebuah kesimpulan sepihak.
Vika melotot ke arahku.”astaga!! aku sedang membahas siapa, dan siapa yang malah kau cerna...”Vika kembali menggelengkan kepala, kali ini dia menahan geram.
“dengan senang hati, aku akan membantu Laras jika dia berencana untuk mencekikmu sekarang!”Vika semakin memasang wajah geram, mencubit lenganku sekuat tenaga.
Tentu saja aku kaget, terus mengusap lengan bekas cubitan darinya, sakit!
Belum puas, dia kembali menghajar kepalaku dengan botol kosong.
“lalu keputusanmu?”Vika menghentikan aksinya, dengan wajah yang masih penasaran.
“secepatnya aku akan mengajak Laras bicara.” Kedua sikuku bertumpu pada kaca etalase, dengan jari yang kumasukan pada sela rambut sekaligus menahan berat kepalaku yang condong ke depan.
Lagi-lagi Vika membuang nafas kasar.”aku memang tak pernah paham jalan pikiranmu.”dia membetulkan posisi duduknya, tidak lagi menghadap ke arahku.
”selalu dan selalu memilih jalan yang rumit.”lanjutnya bicara.
“saranku El. Kau tidak perlu mengajak Laras bicara. Entah kau yang tidak peka atau memang Laras yang pandai menyembunyikan rasa sakitnya, yang jelas saat kau sudah menceritakan tentang Ain padanya, seharusnya itu sudah cukup untuk membuat Laras sadar.”
***
Angin malam yang mulai menusuk sama sekali tak ku hiraukan, duduk sendiri di teras depan ruang tamu. Pukul 00.00 baru saja terlewati, suasana hening terasa menenangkan. Aku masih merenung sendiri, tentang apa yang terjadi padaku dalam beberapa bulan terakhir.
Aku yang tadinya begitu yakin dengan janjiku sendiri, bertahun-tahun mendiamkan hati menunggu seseorang datang dengan kasih sayang dan komitmen yang jelas. Namun, jika aku mengingat kembali, hanya satu dorongan kecil juga beberapa ketidaksengajaan yang terjadi, seketika membuat hatiku berontak begitu liar. Memaksa tetap maju meski kabut tebal dengan ujung yang masih putih pekat. Saat itu, sebegitu kesepiannya kah aku??
Lalu sekarang, saat seseorang yang seharusnya sangat kutunggu kehadirannya benar-benar datang, seseorang dengan komitmen yang jelas, seseorang yang terlihat begitu sempurna, kenapa hatiku sama sekali tak tergerak?? Kenapa wajah Ain yang tetap menari-nari di setiap sudut hatiku. Bahkan.....arhhh! ayolah hati, alur seperti apa yang ingin kau telusuri...