Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diberi Waktu Sepuluh Hari
Setelah Siti Adawiyah dibawa ke tempat kediaman Panglima Jenderal Asrul, Maelin segera datang untuk mengobatinya.
"Aduh.. Maelin, pelan-pelan sedikit.. Sakit.." Siti Adawiyah meringis kesakitan ketika Maelin mengoleskan obat untuk menyembuhkan luka bekas cambukan pada tubuh Siti Adawiyah.
"Tahan sedikit lagi, ini hampir selesai." Maelin melanjutkan pengobatannya.
"Engkau memang yang terbaik, Maelin. Ketika aku sedang terluka, engkau langsung datang untuk mengobati aku." Siti Adawiyah merasa bangga terhadap Maelin.
"Engkau terlalu berlebihan.. Aku hanya kebetulan lewat. Aku sebenarnya hendak mengobati Panglima Jenderal Asrul, lalu aku melihat engkau sedang terluka." Maelin menutupi rahasianya bahwa selama ini dia mengawasi Siti Adawiyah.
"Apa? Apakah Panglima Jenderal Asrul terluka setelah menyelamatkan aku ketika aku disiksa?" Siti Adawiyah khawatir terhadap Asrul.
"Sebenarnya Panglima Jenderal Asrul mengalami penyakit bronkitis. Sejak beliau berdiam diri di dalam goa selama dua puluh tahun, udara lembab disana membuat bronkus pada paru-paru Panglima Jenderal Asrul mengandung cairan. Terlebih lagi saat beliau menyelamatkan kamu dari penyiksaan tadi, beliau mengeluarkan tenaga dalam yang cukup besar. Makanya staminanya turun drastis." Maelin menjelaskan.
Setelah Maelin selesai mengobati Siti Adawiyah, Maelin kembali ke lembah taman seribu bunga. Sementara Siti Adawiyah pergi ke kamar Asrul untuk melihat keadaannya.
"Panglima.. Apakah Panglima ada didalam? Apakah Panglima baik-baik saja?" Siti Adawiyah memanggil Asrul berulang kali, namun tidak ada jawaban.
"Mungkin Panglima sedang tidur. Aku akan melihat kondisinya." Siti Adawiyah memasuki kamar Asrul tanpa ragu-ragu.
Ketika Siti Adawiyah baru satu langkah memasuki kamar Asrul, tiba-tiba Pedang Penguasa Malam melesat menuju wajahnya. Namun Siti Adawiyah tidak menghindar, tetapi pedang Penguasa Malam itu terhenti tepat didepan muka Siti Adawiyah berjarak satu inci.
Asrul kemudian tiba-tiba telah berada didepan Siti Adawiyah.
"Kenapa engkau tidak menghindar? Tahukah kamu bahwa Pedang Penguasa Malam ini tidak memilih sasaran? Apakah engkau tidak takut?"
"Tentu saja aku takut. Namun, tidak ada alasan bagiku untuk menghindar. Aku yakin Panglima tidak akan menyakitiku. Bukankah Panglima telah mengatakan sendiri bahwa kita berjodoh? Makanya aku tidak menghindar walaupun tetap saja aku merasa takut."
"Kemarilah.." Asrul mempersilahkan Siti Adawiyah untuk masuk.
"Kenapa engkau memasuki kamar pribadiku? Apa yang engkau cari?" Asrul bertanya penuh curiga.
"Aku kemari karena mendengar kabar bahwa Panglima sedang terluka setelah menyelamatkan aku. Apakah Panglima baik-baik saja?" Siti Adawiyah menatap dengan penuh kekhawatiran.
Asrul tidak menjawab, justru Asrul melontarkan sebuah pertanyaan.
"Mengapa engkau memasuki goa tempat aku berkholwat di jurang neraka?"
Siti Adawiyah menjawab dengan percaya diri.
"Aku sudah memberitahu Panglima bahwa aku berusaha kabur dari kejaran kedua penjaga itu. Lagipula mana aku tahu kalau jurang neraka itu adalah tempat terlarang. Aku baru mengetahuinya setelah aku ditangkap. Aku benar-benar bertujuan hanya untuk mengantarkan obat untuk Jenderal Umar. Aku tidak menyangka bahwa hari itu adalah hari upacara pelantikan Panglima yang baru. Diantara sekian banyak Jenderal, Jenderal Umar adalah orang yang paling kejam dan bodoh. Bagaimana bisa dia dicalonkan untuk menggantikan posisi dirimu."
Asrul berdiri mendekati Siti Adawiyah.
"Berani sekali engkau tidak hormat kepada Jenderal Umar! Beliau adalah Jenderal yang melindungi bumi dari ancaman kaum Iblis. Apakah engkau tidak takut akan tersambar petir karena kuwalat?"
Siti Adawiyah berdalih yang membuat Asrul terdiam.
"Aku tidak sekuat itu untuk menerima sambaran petir. Memang benar di istana negeri akhirat ini banyak pejabat eselon atas. Semuanya harus dihormati. Namun aku adalah pelayan pribadi Panglima Asrul. Bagiku, cukup aku patuh dan hormat kepada Panglima, itu sudah cukup."
Asrul tidak melanjutkan pembahasan soal tata krama. Asrul merasa sudah cukup waktu untuk menyelidiki Siti Adawiyah.
"Mungkin sebaiknya kamu harus tetap tinggal di lembah taman seribu bunga bersama tabib Jena. Engkau telah membohongiku. Sekarang kembalikan barang milikku."
"Barang apa Panglima?" Siti Adawiyah kebingungan.
Asrul menjelaskan. "Bukankah ketika aku berkholwat aku menggenggam sebuah liontin? Engkau telah mengambilnya. Sekarang serahkan kepadaku."
Siti Adawiyah menggaruk kepalanya. "Aku tidak tahu dimana liontin itu. Mungkin terjatuh ketika aku kesana kemari. Apakah Panglima masih perhitungan hanya masalah liontin itu? Bukankah saya telah menyerahkan hidup dan mati saya ditangan Panglima?"
Asrul kembali duduk diatas tempat tidurnya. "Aku berikan waktu sepuluh hari untuk kamu mencari liontin itu. Setelah engkau menemukannya, segera berikan kepadaku. Jika engkau tidak bisa memberikannya, aku akan menyerahkan kamu ke Jenderal Umar. Sekarang engkau boleh pergi."
Siti Adawiyah membungkuk sebentar, lalu mundur dan meninggalkan kamar Asrul.
Tidak lama Siti Adawiyah meninggalkan Asrul, Surti masuk ke kamar Asrul sekedar untuk melihat kondisi Asrul.
"Selamat sore Panglima. Saya masih merasa semua ini adalah mimpi. Saya sangat bersyukur melihat Panglima telah kembali ke istana negeri akhirat."
Sejak Surti masuk ke dalam kamar Asrul, Asrul menatap Surti dengan tatapan yang tajam. Surti menjadi salah tingkah.
"Ada apa Panglima? Apakah ada sesuatu yang ingin Panglima katakan kepada saya?"
Asrul menggelengkan kepalanya. "Tidak.. Tidak ada apa-apa."
Surti semakin penasaran. "Katakanlah Panglima, apapun yang Panglima katakan adalah kehormatan bagiku. Sudah begitu lama Panglima tidak berbicara kepadaku. Perintahkan saja Panglima, Pasti akan aku laksanakan dengan segenap kemampuanku walaupun mempertaruhkan nyawa juga aku rela."
Surti tidak menyangka kalau Asrul meminta sesuatu yang tidak begitu sulit.
"Lepaskan jepit rambutmu!"
"Baik Panglima.." Tanpa berfikir apapun, Surti segera melaksanakan perintah Asrul.
Asrul melanjutkan. "Hapus perona pipi kamu!"
Surti segera tersadar. "Kenapa Panglima? Kenapa aku tidak boleh berhias seperti yang dilakukan para wanita? Aku sekarang sudah menjadi wanita seratus persen."
"Mereka tidak sepertimu, yang sebelumnya berjanggut, yang mampu menggunakan tombak seberat lima kwintal. Aku ingin engkau melakukan sesuatu." Asrul langsung mengatakan tujuannya.
"Katakanlah Panglima, aku siap melaksanakan perintah Panglima." Dengan semangat, Surti mendengarkan perkataan Asrul dengan seksama.
"Aku ingin engkau mengawasi seseorang. Engkau harus melaporkan kepadaku segala pergerakannya." Sambil berkata, Asrul memperhatikan Siti Adawiyah.
Siti Adawiyah sedang bermalas-malasan sambil memandangi liontin yang dipegangnya.
"Apa istimewanya liontin ini? Sepertinya liontin ini hanyalah perhiasan biasa. Kenapa Panglima begitu menginginkannya? Dasar Panglima dakik!"
Beberapa saat kemudian, Surti memasuki kamar Siti Adawiyah.
"Apa yang ada di tanganmu!"
"Bukan apa-apa.. Aku akan bersih-bersih. Kenapa engkau menatapku begitu aneh?" Siti Adawiyah menutupi bagian dadanya yang sedikit terbuka.
Surti menatap Siti Adawiyah dengan tajam. "Engkau keliatan begitu mencurigakan. Sekarang kemasi barang-barangmu, bawa ke kamarku. Mulai sekarang kamu akan sekamar denganku."
"Tidak bisa! Mana mungkin aku harus satu kamar denganmu!" Siti Adawiyah membantah.
"Engkau tidak boleh membantah apa yang aku katakan!" Surti memaksa.
"Mana boleh seorang wanita tinggal sekamar dengan seorang pria!"