Gara-gara sahabat baiknya hamil menjelang kenaikan kelas 12, impian Alea untuk mengukir kisah kasih di sekolah dengan Dion, kakak kelasnya, harus buyar sebelum terwujud.
Dengan ancaman home schooling dan dilarang melanjutkan kuliah, Alea harus menerima keputusan ketiga kakak laki-lakinya yang mengharuskan Alea menikah dengan Yudha, sahabat Benni kakak keduanya.
Pernikahan tanpa cinta itu membuat hidup Alea kacau saat tidak satu pun dari kakaknya yang mau percaya kalau Yudha memiliki rahasia kelam sebelum menikahi Alea.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ditinggal
Tanpa terasa sebulan sudah Yudha dan Alea tinggal dalam satu atap sebagai suami istri.
Yudha sengaja tidak pulang ke Semarang, memilih menghabiskan waktu sebulan penuh bersama Alea apalagi Barry dan Lia sibuk menanti kelahiran buah hati mereka, Benni sudah berangkat tugas ke Kalimantan dan Bara semakin sibuk dengan jabatan barunya sebagai kepala auditor.
Rasanya senang bisa melakukan banyak kegiatan bersama Alea mulai dari matahari terbit hingga malam menjelang apalagi pelan-pelan Alea mulai berubah meski belum cinta.
Yudha bahagia karena Alea mulai merasa nyaman berada di dekatnya, tidak terlalu jual mahal bahkan tidak segan minta Yudha menjadi guru privat, membantunya memahami soal-soal latihan untuk persiapan ujian.
Di sela-sela kebersamaan mereka, Alea mulai sering menyatakan kekagumannya dan memuji Yudha sebagai orang pintar dan guru yang menyenangkan.
“Apa Mas Yudha selalu begini baik sama semua perempuan ? Nggak pernah punya cita-cita jadi guru SMA atau dosen kan ?”
“Maksudmu ?”
“Bisa bahaya kalau sekolah punya guru kayak Mas Yudha soalnya bakalan banyak murid cewek yang galfok dan susah konsentrasi kalau Mas Yudha lagi ngajar,” sahut Alea sambil tertawa.
“Kamu juga bakalan begitu ?” Alea menggeleng.
“Selama Mas Yudha ngajar, aku sih biasa-biasa aja, nggak ada rasa yang gimana-gimana gitu. Apa mungkin karena aku terbiasa hidup dengan 3 kakak cowok yang seumuran sama Mas Yudha ?”
“Jadi aku terlalu tua dan kurang tampan untukmu ya ?” ledek Yudha sambil tertawa.
“Tua buatku belum tentu tua untuk yang lain.”
”Jadi aku boleh kalau mau alih profesi jadi guru atau dosen ? Sudah cocok kan ?”
“Sudah aku bilang bahaya.”
“Bahaya karena bisa bikin kamu cemburu. Begitu kan Alea ?” Yudha kembali meledek istrinya yang langsung manyun.
“Mulai deh.” Yudha hanya tertawa.
“Lusa Mas Yudha jadi pulang ke Semarang ?”
“Jadi, ada pekerjaan yang harus aku bereskan sama Imam. Kamu nggak apa-apa tinggal di rumah Kak Barry dulu ?”
“Nggak apa-apa daripada kesepian di sini sendiri, Kak Bara juga belum bisa pulang dari Surabaya.”
“Aku sudah minta mama carikan pembantu untuk menemanimu di sini biar aku tenang kalau sewaktu-waktu harus meninggalkanmu dan kamu tidak bisa menginap dimana-mana.”
“Aku nggak enak sama mama karena belum bisa datang ke Semarang.”
“Nggak usah dipikirin, mama mengerti kalau kamu sedang sibuk dengan ulangan dan tugas-tugas sekolah. Kamu bisa datang mengunjungi mama saat liburan akhir tahun sekalian aku ajak melihat kantorku di sana.”
“Rasanya nggak sabar kalau dengar kata liburan.”
“Sabar, sekolah tinggal beberapa bulan lagi. Begitu semua ujian selesai, kamu pasti akan bosan karena kelamaan libur terus pingin balik sekolah lagi.”
“Iya, rasanya aku belum terlalu rela meninggalkan masa-masa indah di SMA,” tutur Alea dengan wajah sedih.
“Jalani aja dan sekarang waktunya kamu tidur biar besok nggak kesiangan terus sambil ngantuk-ngantuk harus mengerjakan soal ulangan matematika.”
Alea menurut dan membereskan tumpukan bukunya sementara Yudha memeriksa pintu dan mematikan lampu-lampu di dapur dan ruang tengah.
“Selamat malam Alea.”
“Selamat malam Mas Yudha.”
***
Lusanya setelah mengantar Alea sekolah, Yudha langsung berangkat dan menjelan makan siang ia sudah memasuki kota Semarang.
Yudha memutuskan tidak mampir ke rumah karena banyak hal yang ingin dibahasnya dengan Imam terutama soal pembukaan kantor cabang di Jakarta yang masih tertunda.
Suasana kota Semarang memang jauh berbeda dengan Jakarta yang selalu padat dan macet dimana-mana terutama di saat jam sibuk. Perjalanan Yudha hanya tersendat di jalan Pandanaran yang hampir tidak pernah sepi karena berjajar hotel-hotel dan toko oleh-oleh makanan khas Semarang yang selalu menjadi pilihan turis lokal dan luar negeri.
Lepas dari jalan Pandanaran, Yudha melintasi Simpang Lima dan berbelok di jalan Ahmad Yani. Kantornya terletak di belakang salah satu bangunan hotel yang ada di jalan itu. Bukan gedung bertingkat seperti milik Kemal, hanya rumah satu lantai di atas tanah berukuran 300 meter persegi. Baru 4 tahun yang lalu Yudha bisa membelinya setelah 3 tahun mengontrak di situ.
Sepintas bangunan itu tidak terlihat seperti kantor tapi sangat nyaman untuk dijadikan tempat kerja. Sampai saat ini ada 15 orang karyawan tetap dan beberapa tenaga lepas bekerja di perusahaan yang dirintis Yudha sejak 7 tahun yang lalu, sekitar 6 bulan sebelum papanya meninggal.
“Memang beda yang namanya pengantin baru,” ledek Imam saat Yudha baru saja masuk.
Karyawan yang kebetulan ada di situ langsung menghampiri Yudha dan memberikan selamat karena hanya 3 orang termasuk Imam yang mewakili datang ke Jakarta.
“Acara makan-makannya tunggu istri saya datang kemari,” ujar Yudha dengan wajah sumringah.
”Dobel dong Mas,” celetuk salah satu karyawan.
“Triple juga boleh asal kalian rajin cari orderan,” sahut Imam yang diangguki oleh Yudha sambil tertawa.
Keduanya lanjut berbincang di ruangan Yudha. Imam senyum-senyum karena melihat wajah Yudha memang kelihatan lebih bahagia.
“Kalau tahu begini, dari dulu aja Mas Yudha nikah.”
“Aku langsung ditangkap polisi, Mam karena menikahi anak di bawah umur.”
“Iya juga sih.”
“Masalah perusahaan Kemal gimana ?”
“Aman Mas, sejauh ini alurnya lebih jelas dan mereka nggak sembarangan lagi merubah-rubah selain itu lebih sopan kalau bicara. Keputusan yang diambil Mas Yudha memang jitu, Pak David sekarang aktif mengawasi anak buahnya.”
“Data yang aku kirimkan sudah kamu bahas dengan Ario dan teman-temannya ?”
“Sudah, sebaiknya Mas Yudha bicara langsung sama mereka. Saya sudah jadwalkan rapat jam 2 nanti. Mas Yudha sudah makan ?”
“Belum. Bisa tolong ada yang belikan nasi ayam Bu Pini, Mam ? Kangen aku, soalnya belum nemu nasi ayam yang enak seperti di sini.”
“Mau berapa porsi ? Lima ? Biar makin kuat buat nyenengin istri,” canda Imam sambil beranjak bangun.
“Istri jauh, Mam, mau nyenenginnya cuma butuh handphone di gengaman tangan.”
Imam mengangguk-angguk sambil tertawa lalu keluar dari ruangan Yudha.
Yudha langsung meraih handphonenya dan mengirimkan pesan untuk Alea, mengabarkan kalau ia sudah sampai di kantor dan perjalanan lancar.
(ALEA) Mas Yudha sudah makan siang ?
Yudha menautkan alis melihat penunjuk waktu di handphone baru pukul 01.15 sedangkan Alea baru pulang jam 01.45.
(YUDHA) Kamu kok bisa langsung balas wa ? Jamkos ?
(ALEA) Lagi buat tugas di laptop jadi bisa sambil balas wa 🤭🤭
Yudha senyum-senyum membaca pesan Alea yang mulai ditambahkan emotikon.
(YUDHA) Belajar yang rajin, jangan galfok gara-gara mikirin suami🥰🥰
(ALEA ) 🤔🤔🥱🥱
(YUDHA) 🤣😍🤣😍 I love you.
(ALEA) Maaf, masih belum cinta.
Bukannya kecewa atau marah, Yudha malah tertawa sendiri. Alea selalu memberikan jawaban yang sama setiap kali Yudha bilang cinta.
lanjut..lanjut