Hubungan manis antara Nisa dan Arman hancur akibat sebuah kesalahpahaman semata. Arman menuduh Nisa mewarisi sifat ibunya yang berprofesi sebagai pelacur.
Puncaknya setelah Nisa mengalami kecelakaan dan kehilangan calon buah hati mereka. Demi cintanya untuk Arman, Nisa rela dimadu. Sayangnya Arman menginginkan sebuah perceraian.
Sanggupkah Nisa hidup tanpa Arman? Lantas, berhasilkah Abiyyu mengejar cinta Nisa yang namanya selalu ia sebut dalam setiap doanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaisar Biru Perak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Aku Salah Apa?
"Apa?" Nisa tak berkedip mendengar jawaban Abiyyu. "Jadi, ternyata Tante Hanum ini ibu kamu?"
Spontan, Nisa melihat Hanum lalu membandingkan wajahnya dengan Abiyyu. Mereka sama sekali tidak mirip, siapa yang menyangka kalau ternyata mereka adalah sepasang ibu dan anak.
Di sisi lain, Abiyyu mengangguk. Lalu memperkenalkan Hanum dan memberitahu Nisa siapa saja anggota keluarganya. "Iya, dia ibuku dan Annisa adalah adikkku satu-satunya. Lalu ayahku, dia meninggal sejak kami masih kecil."
"Kenapa kamu nggak bilang dari awal?" Kali ini, giliran Nisa yang melayangkan protes. Dia mencubit Abiyyu lagi. Lebih kecil dan lebih kuat hingga pria itu meringis.
Sakit atau tidak, Nisa tak peduli. Tapi yang jelas, Nisa kesal melihat ekspresi polos yang Abiyyu tunjukkan saat menjawab pertanyaan darinya.
"Mana aku tahu kalau orang yang ingin kamu temui adalah ibuku?" Pria itu memasang wajah cemberut, lalu mengintip bekas cubitan Nisa dan menunjukkannya pada Hanum.
"Lihatlah, Ma?" Tiba-tiba Abiyyu bangkit. Menunjukkan tangannya yang kemerahan dan mengadu seperti anak kecil. "Dia nakal. Dia nggak berhenti mencubit Abi!"
"Berapa usiamu, Bi?" Hanum tak kuasa menahan tawa. Apa yang Abiyyu lakukan mengingatkannya pada kenangan lama.
Abiyyu selalu begini. Merengek dan mengadu padanya jika teman-temannya usil padanya. Tapi itu dulu, bukan sekarang atau baru-baru ini di usianya yang sekarang.
Karena Abiyyu yang menggemaskan itu sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan, gagah dan pemberani. Anak itu tidak pernah menunjukkan sikap seperti itu lagi. Dia kalem, dia berkharisma.
Tapi siapa yang menyangka sifat manjanya akan keluar saat berada di depan Nisa? Itulah yang membuat Hanum tertawa sampai ingin menangis.
"Coba mama lihat?" Hanum pun meraih tangan Abiyyu, terlihat seolah akan memeriksa seperti apa luka yang ditinggalkan oleh Nisa.
Nyatanya, wanita itu malah memberikan cubitan yang sakitnya melebihi cubitan Nisa. "Jangan menunjukkan wajah seperti itu. Nisa nggak melakukannya dengan serius, iya kan, Nis?"
Akhirnya, Hanum menoleh. Sementara Nisa mengangguk dan tersipu. Uniknya, sifat keibuan Hanum langsung muncul ketika dia berbincang dengan Nisa.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kalian bisa saling kenal?" Hanum melihat Abiyyu dan Nisa secara bergantian. "Apa kalian sedang berkencan?"
"Ma, sebenarnya-"
"Enggak, Tante!" Nisa buru-buru menyela. Dia bahkan menutup mulut Abiyyu agar tidak sembarangan bicara. "Kami hanya berteman, kok, Tan?"
"Berteman?" Dahi Hanum mengkerut. Apalagi melihat tingkah mereka yang tak biasa. "Tapi, kok? Kelihatannya kalian sangat akrab?"
"B-benarkah?" Nisa buru- buru melepaskan Abiyyu. "Mungkin karena kami sering bertemu."
"Oh, maksudnya kalian sering kencan?" Hanum memelotot. "Benar begitu?"
"Bukan kencan!" Nisa melambaikan tangannya. "Setiap hari Annisa les di rumah dan dia datang menjemput."
"Jadi kamu guru lesnya Annisa?" Terkejut, Hanum sampai membentuk mulutnya menjadi huruf O. "Kalau begitu, berarti yang kecelakaan kemarin itu kamu, Nis?"
"I-iya, Tante!" Canggung, Nisa menggaruk pipinya. "Kemarin dia yang maksa supaya Raya ikut pulang ke rumah tante!" lanjut Nisa sembari menunjuk Abiyyu.
"Astaga, Nis?" Hanum memperlihatkan wajah sedih. "Seandainya tante tahu kalau yang kecelakaan itu kamu, tante pasti minta Abi membawa kamu sekalian!"
"Kamu gimana sih, Bi?" Lagi-lagi Hanum mencubit Abiyyu. "Kok nggak ngomong sih kalau Nisa sakit?"
"Kan, Abi udah ngomong, Mah? Kalau guru lesnya Annisa kecelakaan?" protes Abiyyu.
"Tapi kan kamu nggak bilang kalau namanya Nisa?" kata Hanum.
Ibu dan anak itu pun nyaris bertengkar lagi. Beruntung Nisa segera melerai mereka. "Tante, jangan marah-marah, ya? Nisa udah baikan, kok!"
Akhirnya, dua wanita beda generasi itu pun ngobrol sendiri. Membicarakan Abiyyu, Raya, Annisa, dan masih banyak yang lainnya. Sementara itu, Abiyyu yang tersisih memilih menjadi mendengar setia.
Melihat keduanya akrab seperti ini, Abiyyu pun mulai berandai-andai. Membayangkan apa saja yang anggota keluarganya lakukan di akhir pekan jika dia menikahi Nisa.
Mungkin, Hanum dan Nisa akan menghabiskan waktunya di dapur. Memasak, membuat kue atau semacamnya. Lalu, dirinya akan menjaga anak-anak.
Sementara Annisa, lebih baik anak itu membantunya menjaga anak saja karena Abiyyu berencana memiliki banyak anak. Selain itu, dapurnya bisa meledak kapan saja kalau Annisa ikut-ikutan memasak.
"Ma?" panggil Abiyyu. Ditengah-tengah obrolan seru itu, Abiyyu menyela. "Abi mau ngomong sesuatu sama mama."
"Memangnya kamu mau ngomong apa?" Satu alisnya terangkat ke atas. Tumben-tumbennya Abiyyu seserius ini.
"Sebenarnya, Abi suka sama Nisa. Tapi Nisa nolak Abi terus." Abiyyu tidak hanya memegang tangan Nisa. Tapi membungkam mulut Nisa agar tidak bicara.
Apa yang dia lakukan sangat persis seperti apa yang Nisa lakukan tadi. "Tapi Abi belum nyerah!"
"Bagus!" Hanum mengangguk, bahkan memberinya dua jempol sekaligus. "Lalu?"
"Kalau suatu hari nanti tiba-tiba Nisa berubah pikiran, boleh kan kalau Abi langsung bawa dia menemui penghulu?" Abiyyu sempat melirik Nisa lalu melanjutkan, "Kalau nggak gitu, takutnya Nisa berubah pikiran lagi dan Abi gagal nikah!"
Kali ini, Hanum tidak hanya mengangguk. Tapi tertawa dan menangis bersamaan. "Boleh," jawabnya.
.
.
.
"Jadi, kapan kamu akan bicara?" Pria itu mengirup nafas panjang, lalu membuangnya ke udara. "Sudah hampir setengah jam kita duduk di mobil, Nis?"
Nisa menoleh, melihat Abiyyu dengan tatapan serius. "Lain kali, tolong jangan bicara seperti itu sama mama kamu!"
Bukannya menjawab pertanyaan Nisa, Abiyyu justru memberondong Nisa dengan berbagai pertanyaan.
"Kenapa?" Abiyyu menjawab pertanyaan itu dengan memasang wajah serius. "Kamu yakin nggak akan nikah lagi?"
Pria itu menundukkan kepalanya. Lalu tersenyum dan menoleh. "Sama seperti kamu, aku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Jadi, kenapa kita tidak menikah saja dan memberikan keluarga yang lengkap untuk anak itu?"
Abiyyu menunjuk Raya yang saat itu masih bermain-main dengan Annisa di teras rumah. Seorang anak yatim piatu yang secara tidak langsung mendapatkan kasih sayang orangtua dari Abiyyu dan Nisa.
Senyum tipis tersungging di sudut bibir Nisa. Jauh di dalam hatinya, dia pun menginginkan sebuah keluarga yang utuh. Tapi Nisa tidak yakin bisa mewujudkan impian yang dia pikir sangat mustahil.
Masih tergambar jelas bagaimana Arman memakinya malam itu dan Nisa tidak ingin merasakan rasa sakit yang sama oleh sebab yang sama pula. "Aku mau, tapi aku nggak bisa!"
"Alasannya?" tanya Abiyyu.
Nisa menunduk dalam-dalam. Ragu, antara berani dan tidak. "Haruskah aku menceritakannya sekarang?"
Abiyyu mengangguk. "Tentu saja. Aku menunggu selama ini hanya untuk mendengar ceritamu, kan?"
"Sebenarnya aku tidak ingin menceritakannya sekarang." Nisa tampak menjeda ucapannya. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Aku takut kamu tiba-tiba menghilang dan itu akan membuat Raya sedih."
Dari pembukaan itu, Abiyyu tahu kemana arah pembicaraan Nisa. Dia pun tersenyum sembari memegang jari-jemari Nisa. "Kalau begitu, tolong ceritakan sekarang. Mari kita lihat apakah aku akan menghilang atau tidak?"
"Sebenarnya, ibuku adalah seorang wanita malam," kata Nisa.
"Lalu?" tanya Abiyyu.
Pria itu menyangga dagunya, melihat Nisa dari jarak dekat. Respon yang seperti itu, tentu saja membuat Nisa terkejut.
"Kenapa kamu masih di sini?" Nisa mendorong Abiyyu agar mundur sedikit. "Bukankah seharusnya kamu kaget, lalu segera mengajak Annisa pergi?"
"Kenapa aku harus melakukan itu?" Dahi Abiyyu mengkerut. Kelihatannya sedang memikirkan sesuatu, padahal tidak. Memangnya apa yang harus dia pikirkan? Dia kan sudah tahu soal itu.
"Jadi?" Abiyyu tersenyum tipis, lalu mendekatkan wajahnya lebih dekat dengan Nisa. "Mungkinkah kamu menolakku karena hal itu?"
"I-itu?" Nisa tidak tahu apa yang terjadi. Tapi dia merasa gugup sekarang.
"Kalau begitu, haruskah kita menikah sekarang?" Pria itu tersenyum sumringah. "Aku tidak mempermasalahkan hal itu!"
Entahlah, Nisa tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Membutuhkan banyak keberanian untuk memberitahu Abiyyu. Nisa bahkan sudah menyiapkan mental jika pria itu membencinya.
Tapi, apa-apaan reaksinya barusan? Kenapa reaksinya sangat berbeda dengan apa yang dia pikirkan?
"K-kamu?" Sekali lagi Nisa mendorong Abiyyu. "Kamu sangat menyebalkan. Aku tidak akan bicara denganmu lagi!"
Nisa pun turun dari mobil. Mengajak Raya dan Annisa masuk ke rumah dan mengunci pintu. Sementara itu, Abiyyu masih duduk di mobilnya. Sedang memikirkan apa kesalahannya sampai Nisa marah-marah.
"Ada apa dengannya?" Abiyyu memeluk kemudi. "Aku salah apa?"
***