Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Terlarang
...Tama...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Enam tahun yang lalu...
"Gue mau ke tempat Ian malam ini," ijin gue ke Bokap.
Bokap sih enggak peduli karena dia mau pergi sama Tante Ike. Pikirannya cuma Tante Ike, Tante Ike dan Tante Ike.
Segalanya buat dia sekarang itu Tante Ike.
Padahal dulu yang menjadi segalanya buat dia itu gue dan Nyokap gue.
Oke, enggak apa-apa, karena dulu yang menjadi segalanya buat gue itu dia dan Nyokap. Tapi sekarang, enggak lagi.
Gue chat Yesica. Tanya apa dia bisa ikut sama gue ke suatu tempat. Dia bilang kalau Nyokapnya baru saja berangkat ke rumah gue. Dia bilang gue bisa mampir ke rumahnya dan jemput dia.
Pas gue sampai, gue enggak tahu harus keluar mobil atau enggak. Gue enggak tahu dia mau gue keluar atau enggak. Tapi akhirnya gue keluar.
Gue jalan ke pintu rumahnya dan gue ketuk. Gue enggak yakin harus ngomong apa setelah dia buka pintu. Sebagian dari diri gue ingin minta maaf, bilang kalau gue enggak seharusnya cium dia waktu itu. Sebagian lagi dari diri gue ingin tanya sejuta pertanyaan sampai gue mengerti.
Segalanya tentang dia.
Tapi sebagian besar dari diri gue ingin cium dia lagi, terutama sekarang, saat pintunya sudah terbuka dan dia berdiri tepat di depan gue.
"Mau masuk?" tanya dia. "Mama enggak bakal balik, yah setidaknya untuk beberapa jam ke depan,"
Gue mengangguk.
Gue penasaran, apa dia suka sama anggukan kepala gue, sama seperti gue yang suka kalau dia mengangguk-angguk.
Dia tutup pintu di belakang gue, dan gue lihat-lihat sekitar. Rumah mereka kecil. Gue enggak pernah tinggal di tempat sekecil ini. Gue suka sama kesederhanaan ini. Semakin kecil rumah, semakin keluarga dipaksa buat saling sayang dan perhatian. Enggak ada ruang lagi buat arena debat atau tinju, apalagi debat sambil tinju.
Ini bikin gue berharap gue dan Bokap pindah ke tempat yang lebih kecil. Tempat di mana kita dipaksa buat lebih sering bareng. Tempat di mana kita enggak perlu pura-pura lagi kalau Nyokap enggak meninggalkan terlalu banyak kenangan di ruang-ruang kosong di rumah kita setelah dia meninggal.
Yesica jalan ke dapur. Dia tanya gue mau minum apa. Gue ikuti dia dan bertanya dia punya apa. Dia bilang dia punya hampir segalanya kecuali susu, teh, soda, kopi, jus, dan alkohol. "Semoga lo suka air putih," katanya. Dia ketawa sama dirinya sendiri.
Gue ikutan ketawa. "Air putih, sempurna...." Dia mengambilkan kita masing-masing segelas air. Kita bersandar di meja dapur yang berseberangan. Kita saling tatap. Gue enggak seharusnya cium dia tadi malam.
"Gue enggak seharusnya cium lo, Yesica."
"Iya, gua juga enggak seharusnya ngebiarin lo," sahutnya judes.
Kita saling tatap lagi.
Gue bertanya-tanya, apa dia bakal membiarkan gue cium dia lagi?
Gue pikir sekali lagi, apa gue harus pergi.
"Gampang, kok, buat mereka berhenti," kata gue bohong.
"Enggak, enggak gampang," balasnya. Dia jujur.
"Lo pikir mereka bakal nikah?"
Dia mengangguk.
Entah kenapa, gue enggak suka anggukan ini. Gue enggak suka pertanyaan gue yang lagi dia jawab ini.
"Tama?" Dia lihat ke bawah, ke arah kakinya. Dia sebut nama gue seakan-akan itu senjata, dan dia lagi meluncurkan tembakan peringatan, yang artinya gue harus kabur.
Gue langsung lari. "Apa?" jawab gue.
"Kita cuma sewa rumah ini buat sebulan. Gue enggak sengaja dengar Mama teleponan sama Bokap lo kemarin." Dia angkat kepalanya lagi, lihat ke arah gue. "Gue sama nyokap bakal pindah ke rumah lo dua minggu lagi."
Gue tersandung.
Dia bakal pindah ke rumah gue.
Dia bakal tinggal di rumah gue.
Nyokapnya bakal mengisi semua ruang kosong yang ditinggalkan Nyokap gue.
Gue tutup mata.
Gue masih bisa lihat Yesica.
Gue buka mata.
Gue tatap Yesica.
Gue berbalik dan pegangan ke meja dapur. Biarkan kepala gue jatuh di antara bahu gue. Gue enggak tahu harus bagaimana. Gue enggak mau suka sama dia.
Gue enggak mau jatuh cinta sama lo, Yesica.
Gue enggak bodoh. Gue tahu bagaimana cara kerja obsesi. Obsesi selalu mau yang enggak bisa kita miliki. Obsesi ingin gue punya Yesica. Tapi logika gue, ingin Yesica pergi.
Gue dukung Logika, dan gue berbalik lagi ke Yesica. "Ini enggak akan terjadi, yang ada di antara kita. Kalau diterusin enggak bakal berakhir baik."
"Gue tahu," bisiknya.
"Gimana caranya menghentikan mereka?" tanya gue. Dia lihat ke arah gue, berharap gue yang jawab pertanyaan gue sendiri.
Gue enggak bisa.
Hening.
Gue ingin tutup telinga pakai tangan.
Gue ingin tutup hati pakai piring.
Gue bahkan enggak kenal lo, Yesica.
"Harusnya gue pergi," kata gue.
Dia bilang oke.
"Gue enggak bisa," bisik gue lagi.
Dia bilang oke.
Kita saling tatap.
Mungkin kalau gue tatap dia dengan lama, gue bakal bosan sama dia. Tapi yang ada justru gue ingin merasakan bibirnya lagi.
Atau mungkin kalau gue cium dia sesering mungkin, gue bakal bosan cium dia. Tapi dia enggak menunggu gue buat jalan dekati dia. Dia yang menghampiri gue.
Gue pegang wajahnya, dia pegang lengan gue, dan rasa bersalah kita bertabrakan saat bibir kita bertemu. Kita bohongi diri kita sendiri. Kita bilang ke diri sendiri kalau kita bisa atasi ini, padahal kita enggak bisa sama sekali.
Kulit gue terasa lebih baik saat dia sentuh. Rambut gue terasa lebih baik saat tangannya masuk ke dalamnya. Mulut gue terasa lebih manis dengan lidahnya di dalamnya.
Gue berharap kita bisa bernapas kayak begini terus. Hidup seperti ini. Hidup pasti akan terasa lebih baik dengan dia seperti ini.
Sekarang punggungnya menempel di kulkas. Tangan gue ada di samping kepalanya. Gue mundur dan menatap dia.
"Gue mau tanya sejuta pertanyaan," kata gue.
Dia senyum.
"Ya udah, mending lo mulai sekarang."
"Lo mau kuliah di mana?"
"Jogja," katanya. "Lo sendiri?"
"Gue tetap di sini buat ambil sarjana, terus gue dan sahabat gue, Ian, bakal masuk sekolah penerbangan. Gue ingin jadi pilot. Lo ingin jadi apa?"
"Bahagia," katanya sambil senyum.
Itu jawaban yang sempurna menurut gue.
"Kapan ulang tahun lo?" tanya gue.
"Tujuh Januari," katanya. "Gue genap delapan belas tahun. Lo kapan?"
"Besok," jawab gue. "Gue juga bakal delapan belas.
Dia enggak percaya kalau ulang tahun gue besok. Gue tunjukan KTP gue. Dia ucapkan selamat ulang tahun. Terus dia cium gue lagi.
"Apa yang terjadi kalau mereka nikah?" tanya gue.
"Mereka enggak akan pernah setuju kita pacaran, bahkan kalau mereka enggak nikah sekalipun."
Dia benar.
Pasti akan susah menjelaskan hubungan kita ke teman-teman mereka. Susah juga menjelaskan ke keluarga yang lain.
“Terus buat apa kita lanjutin ini kalau kita tahu endingnya bakal enggak baik?” tanya gue.
“Karena kita enggak tahu cara buat berhenti, Tama”
Lagi-lagi dia benar.
“Lo bakal ke Jogja enam bulan lagi, dan gue bakal tetap di Jakarta. Mungkin itu jawabannya.”
Dia mengangguk. “Enam bulan?”
Gue sentuh bibirnya pakai jari gue, karena bibir dia itu tipe bibir yang perlu dihargai, bahkan saat enggak lagi dicium.
“Kita jalani seperti ini selama enam bulan. Kita enggak boleh kasih tahu siapa pun. Terus...”
Gue berhenti ngomong, karena gue enggak tahu bagaimana harus mengatakannya, "Kita Selesai."
“Kita berhenti?” bisiknya.
“Iya, kita berhenti,” gue setuju.
Dia mengangguk, dan gue bisa benar-benar merasakan dunia ini seperti stopwatch yang berhitung mundur. Gue cium dia, dan rasanya makin enak sekarang karena kita sudah punya rencana.
“Kita bisa lakuin ini, Yesica.”
Dia senyum setuju. “Iya.”
Gue kasih bibirnya hadiah yang memang pantas dia dapatkan.
Gue bakal cinta sama lo selama enam bulan ke depan, Yesica.