Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31 : perburuan mike sang pemimpin jaringan narkotika internasional
Malam itu, di keheningan dan dinginnya angin malam, Tama, Pak Arif, dan yang lainnya tertidur pulas. Seluruh tubuh mereka telah didera lelah, setelah menjalani misi dan perjalanan panjang. Pak Riko memandang mereka dari sudut ruangan dengan sorot penuh kebimbangan. Ia tahu betul Tama dan rekan-rekannya memiliki tekad besar, namun kali ini, misi yang akan ia jalani terlalu berisiko. Keputusan yang berat, tapi ia tahu ia harus melindungi mereka.
Dengan langkah perlahan, Pak Riko mendekati Tama yang terlelap. Ia meletakkan tangannya di bahu Tama, berbisik, “Maafkan aku, Tam. Untuk kali ini, kalian harus tinggal. Keamanan kalian jauh lebih penting.”
Pak Riko menarik nafas panjang dan berjalan keluar, bergabung dengan lima orang yang sudah ia siapkan untuk misi ini. Di antara mereka, terdapat Salma, Ramon, dan Ilham—ketiganya dikenal sebagai penembak jitu terbaik dalam tim, bersama Bayu dan Bagus yang ahli bela diri jarak dekat. Mereka semua berdiri tegak menunggu aba-aba dari Pak Riko, wajah mereka dipenuhi determinasi.
Sambil melangkah ke arah perahu buatan, Pak Riko berpesan dengan nada rendah, “Kalian semua harus istirahat. Maafkan aku karena kalian tidak bisa ikut dalam misi ini. Kali ini… biarlah kami yang menyelesaikannya.” Tanpa menunggu jawaban, Pak Riko bersama lima anggota tim mulai menaiki perahu dengan langkah ringan, mencoba agar tidak membangunkan tim Tama yang masih beristirahat.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. “Pak Riko! Tunggu!” Selly muncul dari balik semak, nafasnya terengah-engah, namun sorot matanya penuh tekad.
Pak Riko menatapnya, agak terkejut. “Selly, kau seharusnya tinggal di sini. Ini misi yang berbahaya.” Suaranya tegas, namun ada nada kekhawatiran yang jelas terasa.
Selly menggigit bibir, menahan ketegangan di dadanya. “Izinkan aku ikut. Saya bisa membantu, Pak.”
Pak Riko mendesah. “Selly, kamu lebih baik pergi ke Jakarta. Bukankah temanmu di sana menunggumu?”
Selly menatap tajam, sedikit merengut. “Pak Arif bisa urus itu. masih ada Mayang, Mita, dan Bunga yang juga membantu pak arif . Izinkan saya ikut, Pak. Hendra… saya tidak bisa diam saja setelah apa yang terjadi pada Hendra.”
Pak Riko memperhatikan Selly sejenak, dan akhirnya menyerah pada keinginan keras wanita muda itu. “Baiklah, cepat naik. Kita tidak punya banyak waktu.”
Selly segera menaiki perahu, bergabung dengan Pak Riko, Ilham, dan Ramon di satu kapal, sementara Salma, Bayu, dan Bagus berada di perahu lain. Mereka mendayung melewati gelapnya malam menuju pulau kecil yang menjadi titik pertemuan. Tak lama, mereka tiba di sebuah pulau terpencil yang hanya ditumbuhi semak-semak dan ilalang tinggi. Di sana, di tengah lapangan terbuka yang tampak seperti landasan pendaratan, tiga helikopter dan satu pesawat berkapasitas 16 penumpang menunggu dalam keheningan.
Pak Riko memandangi timnya sejenak, memastikan mereka siap dengan semua kemungkinan. “Kita akan naik helikopter. Ingat, kita hanya punya waktu 72 jam untuk menyelesaikan misi ini. Fokus pada target utama: Pak Mike dan jaringan utamanya. Setelah kita turun, kalian harus berpencar. Kita akan bertemu di timur laut. Di sana, akan ada perahu yang menunggu untuk membawa kita kembali.”
Mereka semua mengangguk. Bayu bertanya dengan sedikit cemas, “Pak, bagaimana jika… ada yang tidak bisa kembali tepat waktu?”
Pak Riko menatap mereka satu per satu. “Jika dalam waktu 72 jam salah satu di antara kita tidak kembali, kalian harus segera meninggalkan pulau. Kalian mengerti?”
“Siap, Pak. Mengerti!” jawab mereka serentak dengan tekad bulat.
Pak Riko memerintahkan mereka untuk mencocokkan jam masing-masing, memastikan waktu yang presisi. Setelah semua peralatan diperiksa, dan mereka telah memastikan semuanya aman, mereka menaiki helikopter, terbang dalam keheningan malam.
Beberapa jam kemudian, suara angin helikopter menderu kencang ketika mereka mendekati area target. Pak Riko memberi isyarat kepada yang lain untuk bersiap. “Ingat, tetap tenang. Kita mulai perburuan ini sekarang. Fokus dan jangan sampai lengah.”
Dengan aba-aba cepat, satu per satu mereka melompat dari helikopter, menginjakkan kaki di pulau target. Mereka segera berpencar sesuai dengan instruksi, menyiapkan senjata, dan menyatu dengan bayangan pohon yang menaungi mereka di tengah gelap malam. Hanya dalam hitungan detik, mereka hilang dari pandangan, menyatu dengan hutan, dan mulailah perburuan mereka pada jaringan Pak Mike, perjalanan yang tak hanya membutuhkan keberanian tetapi juga menguji batas ketangguhan hati mereka.
Pak Riko dan timnya memulai pergerakan dengan hati-hati. Mereka tahu, setiap langkah bisa berarti hidup atau mati. Meski telah berpengalaman, ada sesuatu tentang misi kali ini yang membuat suasana terasa tegang dan sunyi. Dalam gelap malam, Pak Riko membagi tugas dengan cermat: mereka berpencar, bergerak seperti bayangan yang menyelinap dalam kesunyian hutan.
Pak Riko mengaktifkan radio HT-nya, memastikan setiap anggota berada di posisi yang tepat. Suaranya pelan namun tegas terdengar di telinga masing-masing anggota, memberi arahan.
“Salma, bagaimana situasi di sekitar sungai?” tanya Pak Riko sambil menunggu dengan penuh perhatian.
“Area aman, Pak. Saya sedang menyusuri tepi sungai. Aliran cukup deras, bisa jadi jalur masuk tanpa terlalu banyak jejak. Siap lanjut ke posisi,” jawab Salma, suaranya tenang dan penuh keyakinan.
Sementara itu, Ramon sudah berada di atas pohon besar, berkamuflase di antara dedaunan. Dari titik pandangnya yang tinggi, ia mampu memantau seluruh area markas dari kejauhan.
“Pak Riko, saya di posisi atas. Dari pandangan saya, sepertinya Selly dan Ilham terlalu dekat dengan markas. Mereka harus segera berlindung,” lapor Ramon sambil mengamati area sekitar dengan saksama.
“Ilham, Selly, segera berlindung. Kalian terlalu dekat dengan markas mereka. Dengarkan instruksi saya baik-baik,” kata Ramon dengan nada mendesak.
Ilham dan Selly yang berada di tengah hutan segera mencari tempat aman. Mereka merapat ke semak-semak, menjaga gerakan tetap sunyi. Ilham melihat sekilas pada Selly, yang tampak tenang namun tegas, tatapannya terfokus pada instruksi yang diberikan Ramon.
“Ramon, bagaimana situasi di dalam?” tanya Ilham, memegang erat senjata di tangan kanannya.
“Ini rumit,” kata Ramon sambil terus mengamati. “Menuju target utama, ada tiga lapisan penjagaan. Ring pertama memiliki 50 orang yang tersebar di empat penjuru, kemudian ring kedua bisa berisi antara 50 hingga 100 orang. Untuk masuk ring kedua, hanya ada satu jalur yang aman—menyusuri sungai. Salma, kau akan ambil posisi di sana.”
Salma menjawab, “Siap, Ramon. Saya akan mengamankan jalur sungai ke ring dua.”
“Dan untuk ring terakhir,” lanjut Ramon, “hanya ada delapan orang penjaga, termasuk Pak Mike sendiri. Mencapai dia tidak akan mudah. Butuh strategi khusus, atau kita hanya akan menarik perhatian.”
Pak Riko mendengarkan dengan cermat, lalu memberikan instruksi melalui HT. “Terima kasih, Ramon. Baiklah, kita akan tetap pada tujuan utama. Jangan lengah, dan jangan tergesa-gesa. Kita masih punya waktu. Lakukan serangan perlahan, pastikan tak ada yang mencurigai keberadaan kita. Jika ada yang terlihat mencurigakan, segera tarik diri dari area untuk menghindari risiko.”
“Baik, Pak. Siap terima instruksi berikutnya,” jawab Bayu dan Bagus serentak, terdengar mantap namun tetap waspada.
Pak Riko menekankan, “Gunakan senjata seminimal mungkin. Setiap tembakan bisa menarik perhatian mereka. Kalian semua mengerti?”
“Siap, Pak. Mengerti,” jawab seluruh tim hampir bersamaan.
Komunikasi diputus. Ilham dan Selly merapat lebih dalam ke semak-semak. Dengan cekatan, Ilham mulai menggali lubang sekitar satu meter di tanah, mempersiapkan posisi bersembunyi yang strategis. Di lubang itu, mereka bisa berbaring rata dengan permukaan tanah, menyembunyikan tubuh mereka dari pandangan musuh dan menyediakan posisi tembak yang efektif tanpa mudah diketahui.
Setelah beberapa menit berlalu, mereka akhirnya menyelesaikan lubang dan bersiap beristirahat sejenak sambil menunggu aba-aba dari Ramon. Dalam keheningan malam, hanya terdengar hembusan angin dan desiran daun di sekitar mereka. Ilham mencuri pandang ke arah Selly yang duduk tak jauh darinya. Wajahnya terlihat tenang, namun di balik mata tajamnya, Ilham melihat keteguhan yang luar biasa.
“Kamu nggak takut?” bisik Ilham pelan, sedikit enggan memecah keheningan namun merasa ingin berbicara.
Selly tersenyum tipis, meski tatapannya masih fokus ke area depan. “Takut, Ilham… tapi bukan berarti harus mundur.” Ia menoleh, menatap Ilham dengan lembut. “Lagi pula, di sini ada kamu. Jadi… rasanya tenang.”
Ilham tersenyum kecil, merasa ada perasaan hangat mengalir di dadanya. Mereka melanjutkan percakapan dalam bisikan, sambil tetap menjaga keheningan di sekeliling.
“Berarti kalau nggak ada aku, kamu bakal kabur, ya?” candanya, mencoba mencairkan suasana tegang di sekitar mereka.
Selly tertawa kecil, suaranya nyaris tak terdengar namun cukup bagi Ilham untuk mendengarnya. “Bisa jadi,” jawabnya sambil tersenyum, “tapi kurasa aku akan tetap di sini.”
Sejenak, mereka hanya saling memandang. Dalam waktu singkat ini, di tengah misi berbahaya yang mengancam nyawa, ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka—rasa saling melindungi yang lebih dalam. Ilham menyadari, Selly bukan hanya rekan dalam misi, tapi seseorang yang ia tak ingin biarkan terluka.
Selly akhirnya berkata pelan, “Ilham, janji ya… apapun yang terjadi, kita harus keluar dari sini hidup-hidup.”
Ilham mengangguk pelan. “Aku janji, Selly. Kita berdua akan kembali, sama-sama.”
Saat itu, Ramon kembali muncul dalam komunikasi, menghentikan momen mereka. “Ilham, Selly. Target bergerak. Mereka menuju ke arah timur, dekat dengan aliran sungai. Tetap waspada dan tunggu instruksi selanjutnya. Salma, mulai maju pelan.”
Ilham dan Selly segera memasang kembali fokus mereka. Mereka tahu, momen kehangatan yang mereka rasakan tadi adalah sebuah kemewahan yang tak bisa mereka nikmati terlalu lama. Di depan mereka, ancaman nyata menunggu, dan hanya kerja sama yang akan membawa mereka selamat kembali.
Dengan satu tatapan singkat yang penuh arti, Ilham dan Selly bersiap melanjutkan misi dengan tekad baru, hati yang terikat pada janji yang tak terucap, namun penuh makna: bahwa mereka akan keluar dari sini bersama-sama, apapun yang terjadi.