Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Habibah terus cekikikan sedari tadi melihat Halim yang tingkahnya sudah mirip kayak bocah.
Bahkan yang menyiapkan semua keperluan Halim adalah Mamanya.
Sekarang Mamanya sedang sibuk memakaikan dasi, jas dan yang lainnya. Hingga jam tangan juga Aisyah yang pakaikan.
Disela-sela Mamanya sibuk, Halim malah bersungut-sungut terus tidak ingin menikah. Sampai-sampai dia berpikiran untuk pura-pura pingsan saja sekarang.
“Mar, mana kalung melatinya?”
Marlina-Asisten Aisyah dengan sigap mengambil untaian kalung melati di atas sofa kamar Halim.
“Ini, Nya.”
Aisyah segera memakaikan kalung itu ke leher Halim. Terakhir, kopiah hitam Aisyah pakaikan ke kepala Halim.
Halim mengernyit melihat kalung bunga melati bertengger di lehernya.
‘Apa-apaan aku pakai beginian? Apa disuruh maen jaran kepang? Uuuhh! Kalau nikahnya sama Medina, pakai kalung begini sampai 10 biji juga aku jabanin! Huuuft!’
Halim tampak gagah hari ini. Aisyah mengusap-usap bahunya dengan sayang. Matanya menatap sendu putra sulungnya itu.
Ada rasa haru, bahagia dan sedih. Haru dan bahagia karena Halim akan menikah. Dan sedihnya, karena Papanya Halim tidak hadir di saat momen bahagia putra mereka.
Dalam hati, Aisyah berdoa semoga Halim dan Papanya cepat berdamai.
“Anak Mama udah dewasa. Udah mau nikah,” ucap Aisyah dengan mata berkaca-kaca.
Halim mendengus. Mamanya begitu terharu melihat dirinya hari ini. Padahal Halim sudah ingin memberontak sekarang.
“Halim belum dewasa, Ma! Halim masih anak-anak pecahan botol! Yang gak pantas menikah di bawah umur kayak gini!”
Aisyah yang kaget dengan ucapan Halim, langsung sibuk berkikik-kikik ria.
“Ya Allah, Haliiim!” Mamanya keasyikan tertawa hingga sakit perut.
“Bang Halim jangan coba kabur, ya?” celetuk Habibah-berjalan mendekati Halim dan Aisyah.
“Ck! Rencananya ‘sih gitu!”
Aisyah melotot pada Halim yang cemberut. “Haliiim! Ngomong apa kamu barusan, hah? Jangan macam-macam kamu, ya? Kamu bakalan langsung sumringah pas tahu calon pengantin kamu nanti.”
Halim menghela nafas dan memalingkan wajahnya.
Aisyah meraih tangan Halim dan menggenggamnya erat. “Mama selalu dukung kamu kan, Nak? Mama ada selalu buat Halim. Walau Papa menolak semua keinginanmu, Mama tetap ada untuk Halim. Kali ini, Mama juga mau kasih yang terbaik untuk Bang Halim. Terima pernikahan ini ya, Nak? Demi Mama.”
Mendengar ucapan Mamanya yang seperti itu. Perlahan hati Halim mencair. Dia kemudian menghela nafas dan menoleh untuk menatap wajah Mamanya.
“Haaaah, kenapa Mama ngomong gitu? Halim jadi berubah pikiran ini!”
Suasana yang tadinya terasa syahdu mendadak jadi lucu lagi. Aisyah bahkan menoyor pelan kening Halim.
“Uuuuhhh, Bang Halim!” Habibah hilang feeling. Yang tadinya dia juga ikutan terharu, malah jadi buyar karena ucapan Halim.
“Semua udah siap ‘kan?” tanya Aisyah pada Habibah.
Habibah mengangguk. “Udah, Ma. Bang Reno sama Bang Bagas juga udah datang.”
“Ayo kita berangkat! Gandeng Abang kamu, Bah! Jangan sampai dia kabur!”
Habibah mendekat dan merangkul lengan Halim. “Siap, Ma!”
“Iihh, Halim ini bukan tahanan, Ma! Awas, Bah! Lepasin tangan Abang!” Halim sibuk hendak melepaskan rangkulan Habibah di lengannya.
“Ssssstt. Diam, Bang!”
.....**.....
Sebelum berangkat, mereka berkumpul dulu untuk berdoa. Agar akad nikah hari ini lancar tanpa ada kendala sedikitpun.
Sementara yang lain berdoa untuk kelancaran pernikahannya, Halim malah sibuk berdoa sendiri. Apalagi yang dimintanya kecuali hujan badai, petir dan calon pengantinnya pingsan. Hiii, durjana sekale doanya. Tapi Halim sudah bertekad, dia memang tidak akan pernah mau menikah.
Selesai berdoa, mereka yang sebagian keluarga Mama dan Papa Halim serta para Pelayan pada memasuki beberapa mobil, yang sudah disediakan oleh Aisyah.
Sedang Halim sendiri berada di mobil yang sama dengan Aisyah, Habibah, Reno dan Bagas.
Reno dan Bagas duduk di pinggir, sedang Halim di tengah. Habibah dan Aisyah duduk di depan. Kali ini Habibah yang menyetir, karena Reno dan Bagas sudah punya tugas mengawal Halim agar tidak kabur.
“Kalian apa-apaan ‘sih? Gue sempit!”
Bagas mengusap-usap dada Halim. “Sabar, Babang Halim. Dah gak sabar untuk nemuin calon Istri, ya?”
Halim mendelik karena perlakuan Bagas yang mengusap-usap dadanya. “Apa-apaan lu, Gas! Lepasin tangan elu! Hiii.”
Bagas bukannya berhenti, malah semakin menjadi.
“Ya Allah, Halim. Akhirnya elu mau nikah juga! Terharu gue!" celetuk Reno tiba-tiba. "semoga habis ini, gue sama Bagas nyusul. Amiin ya Allah. Gas, bantu aminin doa gue!”
Reno dan Bagas kompak menengadah tangan, lalu mengusapkan tangan itu ke wajah mereka sambil bilang amin.
Halim mendesah sebal. Kondisi hatinya sudah rusak parah, ditambah lagi kedua sahabatnya membuat dia mendekati gila.
Halim mencoba melihat langit dengan susah payah, karena Reno dan Bagas langsung sibuk memegangi dia.
Ck! Sialan! Langit begitu cerah. Awan saja tidak mau nemplok di sana. Huuuftt. Jangankan badai, bahkan hujan saja tidak mau menampakkan wujudnya.
Halim memejamkan mata. ‘Ya Allah, apa sebenarnya yang Engkau rencanakan untuk hamba? Apakah hamba memang harus menerima pernikahan ini?’
Ingin rasanya Halim menangis. Apakah Allah sudah memberikan dia hal yang terbaik dalam hidupnya hari ini?
Bisa jadi kamu begitu membenci suatu hal, tapi malah hal itu yang terbaik untuk kamu.
Mata Halim terasa panas. Entah kenapa dia malah menyalahkan jalan takdir hidupnya dari Allah. Padahal sudah jelas, Allah itu akan memilihkan yang terbaik untuknya.
Tiba-tiba mobil berhenti. Eh! Halim membuka matanya.
‘Kok cepat kali sampainya?’
Halim celingak-celinguk menatap sekitar. Habibah dan Mamanya sudah turun duluan, menemui anggota keluarga yang satu persatu sudah berbaris. Huh! Memang mau pawai apa!
Reno menepuk lengan Halim. “Ayo turun calon pengantin!”
“Gue gak mau turun!” Halim melipat tangan di atas dada. Menyandarkan tubuhnya ke jok.
“Gas! Gas! Tolongin gue!” Reno berteriak pada Bagas yang sudah turun duluan.
Mata bawah Halim berkedut-kedut. Rasanya dia baru saja kena sial.
“Ren! Lu nyakitin gendang telinga gue, tahu!”
Reno hanya cengengesan. “Lim, ya elah! Kalau lu tahu siapa calon Istri elu, beh, beh, langsung jingkrak-jingkrak elu!”
“Haaaaaah.”
“Mendesahnya nanti aja pas malam pertama! Udah ayo turun! Gas! Gas!” Reno menarik-narik tangan Halim sambil memanggil Bagas yang entah lagi apa.
‘Subhanallah! Ya Allah, tolong hamba.’ Halim bermonolog frustasi di dalam hati.
.....**.....
Aisyah kembali merapikan penampilan Halim, sebelum menuju rumah Medina.
Mereka saat ini sedang berada di lapangan bola dekat dengan rumah Medina. Sekalian mereka parkir mobil di sana.
Habibah berdecak kecil melihat Halim yang sudah seperti tidak semangat bernafas.
“Bang! Senyum, Bang! Kalau Abang gak ngerti senyum, smile! Smile, Bang!”
Halim memutar bola mata. Dia enggan menanggapi celoteh Habibah.
“Ayo kita menuju rumah calon Istri Halim,” perintah Aisyah.
Aisyah dan Habibah menggamit erat lengan Halim. Sedangkan yang lainnya pada sibuk membawa barang-barang hantaran, yang sudah disusun indah dalam sebuah kotak mewah.
Aisyah memang tidak tanggung-tanggung menikahkan Halim dan Medina. Semuanya serba mahal dan mewah.
Awalnya Halim hanya menatap lurus ke bawah. Tapi dia langsung mendongak, ketika sambutan dari suara yang dia kenal mengalun ke telinganya.
Halim membelalak. ‘Bukannya ini rumah Medina?’
Widya menyambut hangat keluarga calon besannya. Dia menyuruh semuanya masuk dan duduk di tempat yang sudah disediakan.
Jantung Halim sudah seperti hendak keluar dari tempatnya. Kenapa dia tidak ‘ngeh kalau dari tadi mereka ada di dekat rumah Medina?
Dan sekarang, halaman rumah Medina sudah berdiri tenda-tenda. Saat masuk ke dalam rumah, dekor sudah terpasang dengan cantiknya. Ada tulisan Medina dan Halim lagi.
‘Ya Allah apa semua ini? Apa iya aku akan menikah dengan Medina? Apa iya?’
“Cieee Bang Halim! Udah sadar, Bang?”
Dada Halim naik turun karena perasaan bahagia yang membuncah. Dia menoleh pada Mamanya yang sudah terkekeh.
“Ma, kenapa bisa? Padahal Medina—“
“Memang dasarnya kalian itu berjodoh. Kamu tahu, Medina itu anaknya sahabat Mama.”
Halim mengerjapkan matanya. Raut wajahnya antara senang, bingung dan yang lainnya menjadi satu saat ini.
“Dan untuk alasan Medina memutuskan kamu, nanti kamu tanya sendiri, ya?”
Senyum Halim merekah dengan sempurna. Hal itu membuat dia jadi bahan ejekan Reno, Bagas dan Habibah.
‘Ya Allah. Terima kasih telah memberikan suatu kejutan yang tak terduga seperti ini.’
Acara akad nikah hendak dimulai. Halim jadi penasaran kenapa Medina tidak keluar dan duduk di sampingnya.
“Nanti Medina akan keluar setelah ijab kabulnya selesai.” Aisyah memberikan fine gold seberat 20 gram yang sudah dibingkai cantik pada Halim. “ini untuk mas kawinnya, Lim.”
Halim mengerutkan alis. “Ma, cincin nikahnya ‘kan gak ada?”
Aisyah mengibaskan tangannya. “Kamu tenang aja. Semua udah Mama atur.”
Halim tersenyum sendu. Dia menggenggam tangan Mamanya. “Makasih banyak, Ma. Mama yang terbaik.”
......***......
Assalamu'alaikum Pembaca aku 🤗.
Di undang kepada seluruh pembaca, untuk menghadiri acara akad nikah Halim & Medina. Wkwkwk 🤣🤣🤣
Jangan lupa kasih kadonya, yaw? 🤣
Selamat membaca Pembaca akoh yang manis2 🥰
NOTE : HABIS BACA, LANGSUNG LIKE!! BIAR HATI AKOH YANG MIRIP BIDADARI INI SENANG! WKWK