Gisel mendapatkan ide gila dari keluarganya, yaitu untuk memb*nuh Evan—suaminya. Karena dengan begitu, dia akan terbebas dari ikatan pernikahannya.
Mereka bahkan bersedia untuk ikut serta membantu Gisel, dengan berbagai cara.
Apakah Gisel mampu menjalankan rencana tersebut? Yuk, ikuti kisahnya sekarang juga!
Jangan lupa follow Author di NT dan di Instaagram @rossy_dildara, ya! Biar nggak ketinggalan info terbaru. Sarangheo ❣️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rossy Dildara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 25
"Kamu."
"Aku?!" Gisel langsung menunjuk wajahnya sendiri dengan raut terkejut, tapi senang bukan kepalang. Dia merasa benar-benar bahagia karena telah terpilih untuk diselamatkan. Dan memang sudah sangat berharap sejak tadi. "Serius, Bang? Iihh Abaaang ... kelihatan banget Abang ini takut kehilanganku, ya? Aku juga sama kok ... takut kehilangan Abaaangg." Gisel mengusap lembut pipi kanan Evan dengan penuh kasih sayang, lalu menciumnya. Membuat wajah sang suami seketika memerah.
"Iya, karena memang kalau pun Pak Yahya nggak aku selamatkan ... dia akan baik-baik saja," sahut Evan.
"Kenapa begitu?" Gisel mengerutkan keningnya menatap wajah sang suami.
"Karena Pak Yahya kebal sama api. Dia juga tahan panas orangnya."
"Jadi alasan Abang lebih menyelamatkanku, karena Pak Yahya kebal sama api?"
Evan mengangguk ragu-ragu. "Bisa jadi seperti itu."
"Ya Allah Abang teganya dirimu!" Gisel langsung menarik diri dari tubuh Evan, dadanya terasa sakit saat mendengarnya. Padahal sebelumnya Gisel sudah sempat dibawa terbang karena sangking senangnya, tapi sekarang justru dijatuhkan secara paksa. "Jadi kalau Pak Yahya nggak kebal sama api dan nggak tahan panas ... Abang lebih menyelamatkannya, begitu? Ish, tega banget! Di sini tuh sebenarnya siapa sih yang menjadi istri Abang? Aku atau Pak Yahya?!" tambah Gisel meraung kesal.
Evan menggeleng cepat. Sepertinya dia salah bicara sehingga membuat emosi Gisel meledak. "Enggak gitu, jangan salah paham dulu."
"Kalau nggak gitu terus apa? Udah jelas kok. Ah aku kecewa sih sama Abang!" seru Gisel dengan raut sedih dan penuh kekecewaan. Dia bersedekap, lalu membuang muka ke arah jendela mobil. "Kalau tau Abang lebih memilih Pak Yahya daripada aku, kenapa nggak Abang nikahin aja Pak Yahya? Jangan aku!"
"Kamu ini nggak usah gila deh, berhenti juga untuk mengatakan hal yang tidak-tidak tentangku dan Pak Yahya!" tegas Evan memberitahu. Suaranya terdengar sedikit keras dan dingin, tampaknya dia terpancing emosi karena Gisel sejak tadi terus menyudutkannya memiliki hubungan dengan sang Bos. "Ingat satu hal, alasanku menikahimu karena memang itu pilihanmu sendiri, bukan aku!"
Gisel terkejut mendengar penuturan Evan, tapi dia tidak bisa menyangkal karena memang itu benar adanya. "Abang kok ngomongnya gitu sih sekarang?" Dia lalu menoleh, menatap Evan dengan sendu dan memasang wajah imut. "Secara nggak langsung Abang ini seperti terpaksa menikah denganku."
"Kamu ini ...." Evan menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosinya yang tiba-tiba naik. Lalu perlahan-lahan dia buang dengan berat. "Konyol banget pikiran kamu ini, ya? Aneh juga! Padahal sudah jelas kamu yang terpaksa mau menikah denganku, tapi sekarang kenapa harus aku yang seolah-olah jadi yang terpaksa?!" tambahnya dengan sorot tajam, Evan juga langsung mengerem mobilnya secara mendadak.
Melihat Evan sudah naik pitam, segera Gisel memeluk tubuhnya. Dia merasakan takut yang mendalam, dia paling tidak bisa membiarkan Evan marah.
"Maafin aku, Bang," bisiknya dengan bibir gemetar. Namun dalam hati Gisel, dia merasakan sesuatu yang mengganjal. Rasa tidak ikhlas dengan apa yang terjadi. 'Tapi harusnya 'kan Abang yang minta maaf di sini kepadaku, karena udah memilih untuk menyelamatkan Pak Yahya dibandingkan aku. Tapi kenapa justru aku yang minta maaf? Abang ini kalau nggak ngeselin ya nggak bisa, ya!'
"Udahlah ...." Evan menyugar rambutnya ke belakang, merasa jengah untuk berdebat dan akan lebih baik diakhiri saja. Karena itu juga akan merusak moodnya, apalagi dalam keadaan lapar seperti ini. "Kataku juga apa tadi, berhenti membahas Pak Yahya. Karena akan jadinya seperti ini. Aku juga paling nggak suka, membanding-bandingkan orang. Apalagi orang itu adalah orang yang sama-sama berarti, sama-sama aku sayangi."
Mendengar itu, Gisel langsung menitihkan air mata. Bukan karena terharu, dianggap berarti atau disayanginya, tetapi justru merasakan sedih yang mendalam akan nasibnya, karena memiliki suami yang tertarik pada sesama jenis.
'Ya Allah... kenapa nasib buruk lagi-lagi menimpaku? Tolong bukakanlah pintu hati suamiku yang belok tapi nggak ngaku ini, berikan dia jalan yang lurus dan rubahkanlah sikapnya untuk tidak lagi menduakan istrinya. Aku sungguh nggak ikhlas rasanya ya, Allah, jika suamiku mendua ... apalagi dengan aki-aki macam Pak Dukun!' batin Gisel penuh harap dalam do'anya.
*
*
Sampainya di restoran ikan bakar, Evan dengan cermat memilih tempat untuk mereka berdua. Mereka duduk lesehan, melepaskan alas kaki mereka sebelum masuk.
Suasana restoran yang didesain seperti rumah kayu terlihat sangat ramai, mungkin karena jam makan siang.
"Bang ... sepatuku hilang nggak, ya, diluar? Aku takut kayaknya. Itu sepatu harganya mahal soalnya," bisik Gisel, cemas tentang sepatunya yang ditinggalkan di luar. Restoran ini memang memiliki tempat khusus untuk sepatu para pengunjung.
"Jangan khawatir, Insya Allah aman," jawab Evan sambil mengangguk penuh keyakinan.
"Selamat siang ... apa ada yang bisa saya bantu?" Seorang pelayan wanita datang dan dengan ramah menyodorkan menu kepada mereka.
"Siang juga, Mbak," jawab Evan, segera dia memesan paket dua porsi yang berisi nasi liwet, ikan bakar, sayur kangkung, dan es teh manis.
"Terima kasih, Pak, Nona. Mohon ditunggu sebentar untuk pesanannya, ya?" ucap pelayan tersebut dengan sopan, kemudian pergi setelah mencatat pesanan mereka.
"Iya, Mbak." Evan mengangguk.
"Oh ya, apa Abang sudah pernah ke sini sebelumnya? Atau ini pertama kalinya dengan aku?" tanya Gisel dengan suara lembut, sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Evan.
"Ini yang kedua kalinya," jawab Evan.
"Yang pertama dengan siapa?"
"Pak Yahya."
'Diiihhh ... udah Pak Yahya lagi aja, katanya udah nggak mau bahas!' batin Gisel sambil mencebik bibir. Lalu dia memiringkan kepalanya menatap Evan. "Terus ... habis dari sini, kita ke mana kira-kira, Bang?"
"Kita pulang saja," jawab Evan.
"Lho, kenapa pulang?"
"Memangnya kamu mau kita ke mana?" tanya Evan membalikkan pertanyaan, lalu dengan lembut mengelus puncak rambut istrinya.
"Ya ke mana kek, jalan-jalan gitu, Bang. Kan Abang sendiri yang bilang mau menghabiskan waktu libur bersamaku."
"Tapi kamu pasti capek, kan? Baru saja pulang setelah mengajar, dan kita juga bisa menghabiskan waktu di rumah, Sayang."
Gisel menggelengkan cepat. "Aku sama sekali nggak capek kok, karena kalau sama Abang bawaannya semangat terus. Tapi kalau cuma di rumah aja aku nggak mau ah, Bang ... boring." Lalu dia memanyunkan bibirnya.
"Ya udah, maunya ke mana? Apa kita pergi nonton?"
"Baru kemarin aku nonton film, Bang." Gisel menggeleng tak setuju. "Enggak ah."
"Bagaimana kalau kita ke mall aja? Nanti kamu aku antar belanja celana dalaam, ya?" saran Evan.
Gisel terlihat terkejut, tapi dia kembali menggelengkan kepalanya. "Dih enggak! Ngapain juga aku beli celana dalaam, Bang?"
"Kok ngapain? Ya buat dipakai lah, memangnya kamu betah, ya ... selama ini pakai celana dalaam yang udah bolong-bolong? Mana karetnya udah pada kendor. Apa nggak masuk angin itu, anumu, Yang?" Wajah Evan tampak khawatir, dan memprihatinkan Gisel.
"Iihhh Abaaaangggg!!" Gisel secara refleks menyentuh inti tubuhnya. Wajahnya langsung memerah, merasa malu mendengar Evan berbicara seperti itu. Aneh juga rasanya, tahu dari mana dia, kalau celana dalam yang Gisel pakai selama ini sudah banyak yang bolong? Itulah yang terlintas dalam benak Gisel sekarang.
"Kata siapa celana dalaamku bolong-bolong, Bang? Orang enggak," elaknya.
"Nggak usah bohong kenapa, sih? Orang aku tau sendiri kok. Kan kita suami istri. Lagian kenapa juga sih, Yang, kamu nggak mau beli yang baru? Apa selama ini uang nafkah dariku kurang, ya? Celana dalaam paling berapa sih ... nggak sampai jual ginjal juga." Evan mengoceh, mengungkapkan kekhawatirannya tentang apa yang Gisel miliki.
Evan sangat ingin memastikan bahwa Gisel tidak kekurangan apa pun, baik nafkah secara materi maupun bathin. Baginya, kebahagiaan Gisel adalah prioritas utama.
Tentu saja, semua orang mendambakan pernikahan yang penuh dengan kebahagiaan, dan Evan tidak terkecuali.
"Bukan karena aku nggak mau beli yang baru, Bang." Gisel ingin menjelaskan, tapi merasa malu.
"Lalu kenapa?" tanya Evan dengan rasa ingin tahu.
"Itu ... Eemmm ...." Gisel menggaruk rambutnya. Bukan karena gatal, tapi karena tiba-tiba merasa cemas. 'Aduuuhh ... kalau aku jawab jujur, nanti Bang Evan ilfil lagi sama aku,' batinnya yang tampak resah.
...Lha... ngapain harus mikirin tentang ilfil sih, Sel 🤣 kamu diem aja Bang Evan udah ilfil kok😆...
jadikan ini sebuah pelajaran berharga didalam kehidupan bang evan, ternyata berumah tangga itu butuh ketulusan hati, cinta dan kepercayaan, jika didasari dengan kebohongan apalagi sampai ingin melenyapkan itu sudah keterlaluan
buat kak Rossy semangat 💪, jujur aku suka ceritanya kak, seru buatku, malah selalu nunggu up tiap hari
alurnya itu unik dan bikin penasaran cuman pas up pendek banget thor🥲
sabar bang Evan masih ada Risma yang setia menunggu
jangan cepat ditamatin 😭