Jingga Swastamita

"Jangan lupa di minum ya, Je. Biar tambah semangat."

Jam istirahat sudah berjalan sedari tadi, tetapi Jean masih fokus dengan laptopnya. Laki-laki itu menoleh ke arah samping kanannya ketika mendengar ada yang berbicara padanya.

Dia langsung melihat teman satu divisinya yang tersenyum manis kepadanya sembari meletakkan sekotak susu. "Bawa lagi, aku gak suka susu," balasnya dengan acuh. Ia kembali menghadap ke arah laptopnya.

Teman Jean yang berjenis kelamin wanita itu mengerutkan alisnya, "Tapi aku selalu lihat kamu beli susu strawberry tiap balik kantor."

Jemari Jean yang menari di atas keyboard berhenti, tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Matanya menatap lurus rentetan kalimat yang ada di layar laptop, tetapi pikirannya berkelana jauh.

Susu strawberry, ya? pikirnya.

Tidak ada yang salah dengan hal itu. Hanya saja, setelah kepergian Jingga hari itu, setiap hari Jean akan membeli satu kotak susu berperisa strawberry, dan menaruhnya di dalam kamar gadis itu.

Selama 5 tahun dia tidak pernah lupa untuk melakukannya, setiap hari ia akan mengganti susu yang ia beli kemarin dengan susu baru.

Anggap saja dia kehilangan akal sehatnya, itu adalah keinginan pertama yang Jingga minta padanya. Meskipun dia berakhir di tinggalkan setelah membelinya. Tak apa.

"Je!"

Mendengar seseorang memanggilnya, Jean tersadar dari lamunannya. Dia kembali menoleh ke arah temannya. "Bawa lagi. Gak akan aku minum," tolaknya sembari menyerahkan kotak susu yang di letakkan di atas mejanya.

Teman Jean yang bernama Siska itu melengkungkan bibirnya ke bawah. Tetapi satu detik kemudian ia kembali menampilkan senyumnya. "Kalau gitu ayo makan siang bareng," ajaknya.

Risih, itu yang di rasakan Jean saat ini. Bukan hanya sekali 2 kali wanita itu secara terang-terangan mendekatinya. Dia sungguh tidak peduli!

"Aku bawa bekal," jawabnya datar.

"Aku temani kamu di sini ya? Aku beli makan siang dulu," balas Siska masih tidak mau berhenti.

Jean yang sedang dalam suasana hati yang buruk tanpa sadar memukul mejanya. Hal itu mampu membuat Siska terkejut dan mengatupkan bibirnya.

"Aku gak suka di ganggu," ucap Jean dan langsung berdiri dari duduknya, ia melangkah menuju toilet.

Siska yang ditinggalkan begitu saja menghentakkan kakinya dan mencebikkan bibirnya. Selama satu tahun ia mencoba mendekati Jean. Tetapi sama sekali tidak di lirik oleh laki-laki itu.

Tidak berbeda jauh dengan Jean yang selalu teringat dengan Jingga, Jio yang menempuh pendidikan di China juga merasakan hal yang sama.

Jika Jean menghabiskan hari-harinya dengan menjadi buda korporat, maka Jio menghabiskan hari-harinya dengan kegiatan kampus.

"Liburan semester nanti kamu gak balik Jakarta, Ji?" tanya teman Jio.

Pemuda itu menghentikan aktivitasnya yang sedang mengerjakan jurnal. "Gak tau," balasnya dengan acuh.

"Kamu masih gak bisa lupain Kakak tiri kamu itu?" tanya teman Jio yang juga berasal dari Indonesia.

Pertanyaan yang membuat Jio kembali teringat perlakuannya kepada Kakak tirinya. Bagaimana dia bisa melupakannya begitu saja?

Celia--teman Jio menghela napasnya pelan, sejujurnya ia manaruh hati kepada laki-laki yang ada di depannya itu. "Gimana kalau Kakak tiri kamu itu gak balik lagi ke Jakarta? Kamu bakal menetap di sini selamanya?" tanyanya.

Alasan utama Jio memilih tinggal jauh dari keluarganya adalah untuk menghindar dari bayang-bayang Jingga. Rumah mewah Januarta adalah saksi bagaimana perlakuannya dulu kepada Kakak tirinya. Jika dia masih tinggal di sana, rasa bersalahnya akan semakin menguat.

"Sejujurnya aku pengen balik, tapi rasa bersalahku lebih kuat," balasnya pelan. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, dia akan kembali ke tanah air jika Kakak Jingganya juga kembali.

Celia menatap Jio dengan sendu, dia tau kisah tantang Kakak Jingga karena Jio yang menceritakannya sendiri. Tentu saja atas desakannya.

Satu tahun lebih mengenal Jio, sudah mampu memahami isi hati laki-laki itu. Tak heran jika dia dengan cepat menaruh hatinya.

Jio hanyalah anak bungsu yang manja, dia masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Pada awalnya ia tidak ingin kembali berbagi kasih sayang dengan kedatangan saudara tirinya, sudah cukup ia berbagi dengan kedua kakaknya.

Tetapi saat melihat respon Ibunya saat kedatangan Jingga, ia merasa bersyukur. Ibunya tidak menyukai kehadiran gadis itu, yang artinya dia akan tetap menjadi bungsu yang di manja. Kedua kakaknya juga tidak menyukainya, jadi dia ikut saja.

Puncaknya hingga kematian Tania karena kecelakaan setelah berdebat dengan ayahnya kala membahas saudara tirinya. Mulai hari itu rasa bencinya mulai tumbuh, tidak akan ada lagi seseorang yang menyanyanginya seperti sang Ibu.

Saat Jingga merawatnya setelah jatuh dari motor, pandangannya mulai berubah, apalagi Jingga terlihat bersabar memenuhi permintaannya yang terkadang tak masuk akal.

Dari itu ia mulai sadar, Jingga orang yang baik. Ibunya meninggal karena takdir yang sudah di tetapkan oleh Tuhan.

Di Negara yang sama yang hanya berbeda kota dengan Jean, Jason sedang menantikan kelahiran anak pertamanya. Buah cintanya bersama sang istri yang merupakan adik tingkatnya sendiri.

Pria itu juga merasakan penyesalan di hatinya, tetapi dia mencoba terlihat baik-baik saja di depan keluarga kecilnya.

"Kamu gak pengen ngunjungin Ayah, Kak?" tanya Hana--istri Jason.

Jason menghentikan elusan di perut besar istrinya, "Rencananya nunggu Jean libur. Biar bareng-bareng ke sana," balasnya.

"Dia masih gila kerja ya?" tanya Hana.

Jason tertawa pelan, "Dia kan emang udah gila dari dulu."

Hana terkekeh pelan, dia juga sudah tau masalah keluarga suaminya. Awalnya dia tidak menyangka, Jingga yang pernah di permalukan Jean di kantin ternyata cinta pertama pria itu.

Sama halnya dengan ketiga putranya, Jerry yang memutuskan pindah ke sebuah desa kecil di pesisir pantai, juga menghabiskan hari-harinya dengan melakukan hobby barunya. Memancing.

Dia terkadang juga teringat dengan Jingga, tapi dia yakin Yuda pasti mampu untuk menyembuhkan luka di hati anak itu.

Penyesalan terbesarnya tetaplah kepada sang istri tercinta. Sekarang ia hanya bisa berandai-andai jika saja ia mau jujur sejak awal. Nyatanya semuanya sudah terjadi.

Jerry dan ketiga anaknya yang hidup di bawah bayang-bayang rasa bersalah, kehidupan Jingga saat ini justru berubah 180 derajat. Setelah terlepas dari sangkar traumanya, kebahagian berbondong-bondong menghampirinya.

Semoga kebahagiaannya bertahan lama.

Bersambung