Pandangan pertama seorang Aditya Pratama dengan model cantik bernama Kimberly Edelina Agatha membawa Aditya ke dalam perasaan yang tak dapat dijelaskan. Ketertarikan, obsesi ingin memiliki, atau mungkin jatuh cinta yang sesungguhnya. Pesona Kimberly membuat Aditya tak mampu melepaskan pandangan darinya. Hingga akhirnya, Kimberly luluh oleh karisma, segala perhatian, dan sikap manis Aditya padanya.
Kimberly harus menerima kenyataan getir setelah hatinya telanjur terpaut. Mengetahui Aditya ternyata pria beristri dan beranak satu, Kimberly mulai dilema.
Akankah Kimberly memilih bertahan dengan statusnya sebagai selingkuhan alias orang ketiga? Siapa yang jadi prioritas Aditya dalam hidupnya? Bisakah Aditya menolak pesona sang selingkuhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon viaviana97, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian dari Suami Orang
Aditya membopong Kimy keluar. Ia terburu membawa Kimy ke rumah sakit dengan mobilnya. Ice menyusul mobil Aditya di belakangnya.
Sesampainya di rumah sakit, Aditya langsung meminta dokter menangani Kimy. Sembari menunggu hasil tindakan dari dokter, Aditya mondar-mandir di depan ruang periksa tempat Kimy ditangani sambil berharap Kimy baik-baik saja.
“Kim, kamu harus baik-baik aja, Sayang. Mas gak bisa lihat kamu kenapa-napa. Demam kamu tinggi banget tadi,” gumam Aditya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, dokter keluar dari ruangan. Dokter tersebut mengatakan tak ada yang perlu terlalu dicemaskan. Obat penurun panas telah disuntikkan pada Kimy. Saat ini, tinggal menunggu Kimy siuman. Aditya diizinkan menemani Kimy di dalam.
Di dalam ruangan, pria itu mendekati Kimy. Sembari mengusap lembut puncak kepala Kimy, Aditya berbisik di dekat wajah sang gadis.
“Bangunlah, Sayang. Mas cemas. Jangan terus buat mas khawatir. Mas takut kamu kenapa-napa. Mas cinta kamu, Kimy.” Aditya mengecup kening Kimy cukup lama.
Aditya bertekad menunggui Kimy sampai Kimy siuman. Sang CEO ingin memastikan keadaan gadisnya benar-benar baik-baik saja. Pria itu duduk di samping ranjang Kimy, terus menggenggam tangan gadis yang masih terbaring tak sadarkan diri.
Satu jam berlalu. Kimy mulai menunjukkan tanda-tanda akan siuman. Begitu ia membuka mata dan menoleh ke sampingnya, tampak sosok Aditya tengah berdiri di sudut ruangan sambil menelepon. Sepertinya sang CEO tengah berbicara dengan orang di kantornya terkait pekerjaan. Mengetahui Aditya ada di sana, menemaninya di kala ia sakit, sebuah tetes bening kembali mengalir dari pelupuk mata Kimy. Mengapa pria itu terus menunjukkan perhatian seperti ini? Kimy tak mau makin susah lepas dari bayang-bayang pria suami orang itu. Kimy masih harus menerima kenyataan bahwa sosok pria di hadapannya memang bukan miliknya, bukan untuknya.
Ketika Aditya berbalik badan, ia melihat Kimy yang sudah membuka mata. Ia langsung menghentikan aktivitas berteleponnya, lantas mendekat ke arah Kimy.
“Kimy, kamu udah bangun, Sayang.” Aditya kembali menempelkan telapak tangannya pada dahi Kimy. “Syukurlah, demam kamu udah mulai turun. Mas panggilin dokter dulu, ya.”
Setelah dokter memeriksa kondisi Kimy, beliau bicara pada Aditya. Dokter itu mengatakan, semuanya makin membaik. Kimy hanya butuh lebih banyak istirahat dan meminum obatnya dengan teratur. Gadis itu tak boleh terlalu lelah dengan aktivitas bekerjanya. Dokter menyarankan agar Kimy tetap berada di sana dua sampai tiga jam ke depan supaya dokter bisa melakukan pemeriksaan dan pemantauan lanjutan. Bila sampai nanti keadaan Kimy makin membaik, sore nanti juga Kimy dapat dipastikan bisa pulang. Aditya memilih menuruti kata dokter, selama itu dinilai yang terbaik bagi Kimy. Selama dua jam ke depan, Aditya akan menemani Kimy di sana.
Dokter pun meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan.
“Kamu udah denger kata dokter tadi, kan? Mas akan temenin kamu di sini.”
“Saya gak butuh Anda ada di sini.”
“Kali ini aja. Kamu masih sakit. Kita lupain sebentar masalah kita. Mas cuma mau jagain kamu.”
Ketika makanan dari rumah sakit datang, Aditya dengan cekatan ingin menyuapi Kimy.
“Kamu tadi belum sempet makan siang, kan. Sekarang makan dulu, ya. Biar cepet sembuh. Sini, biar mas suapin kamu.”
Tak kunjung menerima suapan Aditya, Kimy yang sudah duduk bersandar masih saja menutup mulutnya.
“Ayo, Sayang. Makan dulu, ya. Kamu harus makan.” Aditya masih berusaha.
Kimy justru meraih sendok di tangan Aditya, merebutnya paksa.
“Saya bisa makan sendiri.”
“Gapapa, Kim. Biar mas aja yang suapin.”
“Saya udah bilang saya bisa sendiri. Anda gak tuli, kan?”
“Oke, baiklah. Terserah kamu. Yang penting kamu makan.”
Ketegangan yang tak kunjung sirna. Kimy perlahan mulai memakan makanannya. Sementara Aditya masih setia memandangnya. Beberapa lama kemudian, Kimy berhenti. Ia tak bisa menghabiskan makanannya. Ia merasa sudah cukup.
“Udah? Gak mau dihabisin?”
Kimy menggeleng.
“Ya udah, gapapa. Sekarang kamu istirahat aja, ya.”
Aditya membantu Kimy kembali berbaring di ranjang.
“Anda bisa pergi sekarang,” ucap Kimy kemudian.
“Mas udah bilang, mas gak akan pergi. Mas mau jagain kamu di sini.”
“Tapi saya gak mau Anda ada di sini.”
“Kimy... tolong kali ini aja.”
“Pergilah! Tinggalin saya sendiri.”
“Gak, Kim. Mas gak mau.”
“Keluarlah, saya gak mau lihat Anda di sini!” Nada suara Kimy meninggi.
“Baiklah. Mas akan tunggu di luar. Kamu istirahat, ya.”
Aditya hanya bisa pasrah diusir keluar. Seperti janjinya, ia takkan pergi. Pria itu masih setia menunggu Kimy di luar ruangannya.
Ice pun tiba-tiba datang. Ia berpapasan dengan Aditya.
“Om, Kim barusan telepon aku, minta aku temenin dia di dalem. Kalo Om mau pergi, silakan,” ujar Ice.
“Masuklah. Saya akan tetep di sini.”
Ice menemani Kimy di dalam ruangan.
“Kim, beneran udah gapapa?”
“Aku baik-baik aja, Ce. O ya, pemotretan aku tadi belum selesai, kan?”
“Gak masalah, kok. Kim gak perlu pikirin itu dulu. Yang penting Kim sehat dulu. Tenang, Ice udah urus semuanya, kok. Masih bisa di-cancel.”
“Makasih, ya, Ice. Maaf, aku bikin kamu repot terus.”
“Santai, Kim. Em, Kim, Om Aditya masih di depan.”
“Biarin aja, terserah dia mau ngapain. Aku udah minta dia pergi, kok.”
“Tadi, waktu Kim pingsan, dia panik banget, loh. Padahal Ice udah bilang kalo Kim gak mau ketemu dan bicara sama dia, tapi dia tetep maksa ada di sana. Kim masih marah sama Omnya, ya?”
“Terlepas aku marah atau gak, aku memang harus jauhin dia, kan, Ce? Dia suami orang.”
“Tapi, Kim, kalo kamu bisa kasih kesempatan buat dia, mungkin semuanya bisa—
“Kenapa kamu jadi kayak belain dia sekarang, Ce? Bukannya waktu itu kamu juga kesel begitu tau Mas Ditya ternyata bohongin aku?”
“Iya. Kalo soal kebohongan itu, Ice akuin Ice juga kesel. Omnya udah buat Kim kecewa. Tapi, Kim, Ice bisa lihat kesungguhannya. Menurut Ice, dia gak main-main, Kim. Dia beneran sayang sama Kim.”
“Terus, maksud kamu, aku mesti lupain semuanya dan kembali lagi sama dia gitu? Ice, kamu gimana, sih? Kamu dukung aku buat jadi pelakor?”
“Ya mungkin aja Om Aditya mau ninggalin istrinya buat Kim.”
“Dia gak bisa lakuin itu. Dia bilang gak bisa. Karena dia juga sayang sama putrinya.”
Sore harinya, Kimy sudah diperbolehkan pulang. Begitu Ice menemani Kimy berjalan keluar ruangan untuk bersiap pulang, mereka kembali bertemu Aditya.
“Kim, kamu udah mau pulang? Ayo, mas anter aja, ya,” tawar Aditya.
Kimy enggan memandang Aditya walau pria itu tengah bicara padanya.
“Gapapa, Om. Biar Kim pulang sama aku aja. Aku akan anter dia. Udah pesen taksi di luar, kok.” Ice yang harus merespons tanya Aditya.
Mau bagaimana lagi? Aditya sedang tak punya daya untuk memaksa.
“Ya udah, gapapa. Kalian hati-hati. Kim, istirahatlah. Jangan lupa obatnya diminum rutin. Kalo butuh sesuatu, kamu bisa kabarin mas kapan aja. Mas pasti dateng buat kamu. Mas sayang kamu,” ucap Aditya dengan tatapan berkaca-kaca sebelum Kimy dan Ice berlalu pergi meninggalkannya.
Aditya kembali ke kantor. Sementara Ice menemani Kimy di apartemennya sampai malam hari. Setidaknya, Kimy masih punya teman mengobrol.
Begitu jam makan malam hampir tiba, seseorang datang mengantarkan pesanan ke apartemen Kimy. Ice yang mengambil pesanan itu langsung membawanya pada Kimy.
“Siapa yang dateng, Ce?”
“Ini tadi ada kurir nganter pesenan makanan buat Kim. Kim yang pesen, kan?”
Kimy memeriksa pesanan itu. Di dalamnya ada menu kesukaan Kimy dan terselip sebuah kartu ucapan.
| Dimakan, ya, Sayang. Get well soon. |
- With Love, Aditya Pratama
“Bukan aku yang pesen. Nih, buat Ice aja.”
Kimy bahkan sama sekali tak mau menerima pemberian dari Aditya, meski itu makanan favoritnya sekalipun.
“Buat Ice? Tapi, ini kesukaan Kim, kan? O pasti Om Aditya yang kasih buat Kim, ya? Tuh, bahkan dia masih perhatiin Kim walau Kim selalu bersikap dingin ke dia.”
“Aku gak pernah minta dia terus perhatian sama aku, Ce. Harusnya dia paham, dia ngerti, dia harus jauhin aku. Dia punya keluarga kecil. Dia gak perlu urusin hidup aku lagi, kan.”
“Ya namanya juga udah telanjur cinta, Kim. Mau gimana lagi? Kim bener gak mau makan ini?”
“Ice aja yang makan. Kalo Ice gak mau, buang aja atau kasih ke orang.”
“Ih, sayang tau, Kim. Ya udah buat Ice aja. Terus, Kim pengin makan malem apa? Em, Ice bikinin makanan di dapur dulu, deh, ya. Tapi, mohon maaf, sebisa Ice aja, nih. Ice gak sejago Kimy kalo soal masak.”
“Iya gapapa, Ce.”
Ice pergi ke dapur apartemen Kimy dan mulai memasak untuk bestie-nya.
biarkan si kimy jalan itu yg nda Ray diri emang enak mampus lo
dosa bgtu di anggurin 🥺