"Menikahlah denganku," Dina nyaris menyemburkan jus yang baru saja ia minum demi mendengar kata-kata Damian.
Ardina Maharani, seorang waitress club malam, karena desakan ekonomi terpaksa menyetujui perjanjian pernikahan dengan Damian Adinata, seorang CEO muda yang membutuhkan keturunan. Sesuatu yang tak bisa istri pertama pria itu berikan.
Mampukah Dina bertahan untuk selalu menjadi yang kedua? Atau justru ia akan menggeser posisi istri pertama dan menjadi satu-satunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayu_SA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab [30]
Malam itu setelah hari yang cukup melelahkan, Damian memutuskan untuk mengajak Dina makan malam ke sebuah restoran mewah di pusat kota.
Tempatnya cukup privat, hanya beberapa meja yang diterangi cahaya lilin lembut. Lantunan musik piano mengalun pelan, menciptakan suasana yang romantis dan menenangkan.
Dina mengenakan gaun hitam sederhana yang memeluk tubuhnya dengan anggun. Rambutnya yang dibiarkan tergerai menambah pesonanya malam itu.
Sementara Damian, dengan jas hitam yang selalu membuatnya tampak berwibawa, terlihat tak bisa melepaskan pandangan dari istrinya.
Saat pelayan selesai menyajikan hidangan utama, Damian menyesap anggurnya perlahan sebelum memulai pembicaraan.
“Aku tahu kamu merasa sedikit tertekan tadi di kantor,” katanya, memecah keheningan.
Dina tersenyum tipis, menatap Damian. “Sedikit. Tapi aku rasa itu wajar. Mereka belum benar-benar mengenalku. Aku tiba-tiba saja muncul di kantor mereka dengan status istri baru bosnya. Tentu saja akan ada pandangan negatif dari mereka.”
Damian mengangguk pelan. “Mereka akan mengenalmu, Dina. Dan ketika sudah mengenalmu, mereka juga akan menyukaimu. Sama seperti apa yang aku rasakan dulu. Hanya butuh waktu.”
Dina mengerutkan alisnya, sedikit penasaran. “Dan bagaimana kamu mengenalku dulu, Damian?”
Damian tersenyum kecil, seolah mengingat kenangan yang sangat ia sukai. “Dulu aku hanya seorang pelanggan tetap di klub tempat kamu bekerja. Aku sering datang, bukan karena aku menikmati suasana klubnya, tapi karena aku menikmati melihat kamu.”
Dina tertawa kecil. “Serius? Aku bahkan tidak pernah menyadari keberadaanmu saat itu.”
“Memang. Kamu terlalu sibuk. Selalu melayani pelanggan dengan senyum, bahkan ketika aku tahu kamu lelah,” jawab Damian. “Aku masih ingat malam itu, malam ketika aku benar-benar jatuh cinta padamu.”
Dina memiringkan kepalanya, penasaran. “Malam apa?”
“Malam ketika kamu menangis di parkiran klub,” ujar Damian dengan lembut. “Aku sedang duduk di mobilku bersiap untuk pulang, lalu tanpa sengaja aku mendengar suaramu di luar. Kamu sepertinya sedang menerima panggilan telepon dari adikmu, yang mengabarkan jika ibumu sedang sakit.”
Dina terdiam, menatap Damian dengan mata melebar. “Kamu melihat aku waktu itu?”
Damian mengangguk. “Aku melihat semuanya. Aku mendengar kamu bicara dengan Adrian, mendengar bagaimana suaramu gemetar saat dia bilang ibumu sakit. Setelah telepon itu, kamu duduk di trotoar parkiran. Kamu menangis, Dina. Aku ingat betapa rapuhnya kamu terlihat saat itu, dan aku hanya ingin mendekat, ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.”
Dina menundukkan kepala, kenangan itu membanjiri pikirannya. Ia ingat malam itu dengan jelas. Malam ketika ia merasa dunia hampir runtuh di pundaknya.
“Aku tidak tahu kamu ada di sana,” bisiknya.
“Aku tidak mendekat,” kata Damian. “Aku tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman. Tapi malam itu, aku sadar bahwa kamu adalah seseorang yang memiliki begitu banyak kekuatan di balik kelembutanmu. Aku tahu aku ingin berada di sisimu, melindungi kamu.”
Dina mendongak, matanya mulai berkaca-kaca. “Kenapa kamu tidak pernah bilang tentang ini sebelumnya?”
Dina awalnya berpikir jika Damian mengetahui latar belakangnya melalui penyelidikan. Ternyata pria itu memang sudah memiliki perasaan padanya sebelum pria itu memutuskan untuk memberikannya kontrak pernikahan.
Damian mengangkat bahu sambil tersenyum lembut. “Aku pikir belum waktunya. Aku tidak ingin kamu berpikir bahwa aku hanya merasa kasihan. Karena aku tidak pernah merasa seperti itu, Dina. Yang aku rasakan hanyalah kekaguman.”
Damian menghentikan ucapannya sesaat, ekspresi pria itu berubah muram. "Aku juga bukan pria yang baik, karena aku memanfaatkan saat terpurukmu untuk mengajukan pernikahan kontrak itu. Saat itu aku hanya berpikir, itulah kesempatanku agar bisa memilikimu seutuhnya."
Dina terdiam, mencoba mencerna semua yang baru saja ia dengar. Ia tidak pernah tahu bahwa Damian telah memperhatikannya sejak lama.
“Lalu beberapa kali aku juga melihat pelanggan yang memperlakukanmu dengan buruk. Seperti melihatmu dengan pandangan kurang ajar, atau merayumu dengan cara yang tidak pantas. Aku hampir tak bisa menahan diriku untuk tidak menghajar mereka hingga babak belur.”
Dina tersenyum kecil. “Tapi kamu tidak melakukannya.”
“Tidak. Aku tahu itu bukan tempatku untuk ikutHu campur. Tapi setelah itu, aku memutuskan bahwa aku tidak ingin hanya menjadi penonton dalam hidupmu. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa kamu andalkan.”
Dina menggeleng pelan, setengah tidak percaya. “Kamu benar-benar sudah memperhatikan aku sejauh itu, Damian?”
“Lebih dari yang kamu bayangkan,” jawab Damian dengan tegas. “Dan aku bersyukur, pada akhirnya, aku punya kesempatan untuk mengenalmu lebih dekat.”
Malam terus berlanjut dengan percakapan hangat di antara mereka. Damian menceritakan bagaimana ia diam-diam mencari tahu lebih banyak tentang Dina—tentang keluarganya, tentang mimpinya, bahkan tentang kesedihannya.
Dina mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa seperti melihat sisi lain dari suaminya yang selama ini tidak ia ketahui.
“Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan menikah dengan seseorang seperti kamu,” kata Dina akhirnya. “Seseorang yang begitu… berbeda dari semua yang pernah aku kenal.”
Damian tertawa kecil. “Kamu juga berbeda, Dina. Kamu bukan tipe wanita yang aku bayangkan akan aku nikahi. Tapi mungkin itu sebabnya aku jatuh cinta. Karena kamu membuat aku melihat dunia dengan cara yang baru.”
Dina menatap Damian dengan lembut, merasakan kehangatan merayapi hatinya. “Aku tahu aku bukan pilihan yang sempurna, Damian. Aku punya masa lalu yang mungkin tidak mudah untuk diterima oleh semua orang.”
Damian mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Dina di atas meja. “Tidak ada yang sempurna, Dina. Dan aku tidak peduli dengan masa lalumu. Yang penting adalah kita ada di sini, sekarang. Bersama.”
Dina terdiam, merasakan ketulusan dalam kata-kata suaminya. Malam itu, ia merasa lebih diterima daripada sebelumnya.
Ketika makan malam selesai, Damian mengajak Dina berjalan-jalan di taman yang tidak jauh dari restoran. Udara malam yang sejuk membuat mereka merasa nyaman.
“Aku ingin kamu tahu satu hal,” kata Damian, menghentikan langkah mereka.
Dina menatapnya, menunggu.
“Aku mencintaimu, Dina. Dan aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun atau apa pun mengubah itu.”
Dina menundukkan kepala, merasa kewalahan dengan rasa hangat yang menjalari hatinya. Ia merasa hatinya penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
“Aku juga mencintaimu, Damian,” balasnya pelan.
Damian tersenyum, lalu menarik Dina ke dalam pelukannya. Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, mereka berdua merasa seperti dua jiwa yang akhirnya menemukan tempatnya masing-masing.
Malam itu menjadi awal baru bagi mereka. Sebuah langkah kecil namun berarti dalam perjalanan mereka sebagai pasangan yang mencoba menghadapi dunia bersama.