Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
"Kenapa gak langsung jadikan istri saja sih, pak. Gas pol gitu lah, iya gak teman teman?" Seru Ari yang langsung mendapat dukungan teman temannya.
"Hahahaha, kalian ini. Kalau bapak itu ya iya iya saja, tinggal nunggu Bu Laras nya yang kayaknya belum suka sama bapak." Sambung Wardana yang tertawa namun matanya tertuju ke arah Laras yang betah menunduk. Suara anak anak semakin ramai dengan cuitan cuitan meledek.
"Gimana Laras, apa kamu bersedia menjadi istriku?" Bagai kepiting rebus muka Laras saat pertanyaan tak terduga terlontar dari bibir Wardana padanya.
"Mas, apa kamu bercanda?" Sahut Laras dengan nada lirih, menunduk menyembunyikan wajah yang sudah merona. Sedangkan Luna justru senyum senyum melihat ibunya di lamar. Bagi Luna, sudah bukan rahasia lagi. Karena setiap kali Wardana berkunjung, Wardana selalu menyempatkan waktu untuk mengobrol dan mendapatkan simpati dari Luna. Saat sudah mengantongi ijin dari Luna, Wardana memberanikan diri untuk mengatakan niatnya.
"Aku serius, Laras. Aku sengaja menyatakan niat baik ku di hadapan Luna dan anak anak kos, agar mereka menjadi saksi bahwa aku benar benar serius dengan apa yang aku ucapkan barusan. Menikahlah denganku, insyaallah aku akan menjadikan kamu ratu di hatiku." Sambung Wardana yang langsung mendapatkan sorakan dari anak anak. Berbagai celetukan mulai saling bersahutan mendukung niat baik pemilik kos. Dan dukungan kepada Laras untuk menerima lamaran dari Wardana.
"Kamu beneran serius, mas?" Laras kembali bertanya dengan dahi mengerut, masih belum bisa percaya kalau akan di lamar oleh laki laki mapan dan tampan yang diam diam dia kagumi.
"Aku serius, serius banget. Kalau kamu menerimaku, aku akan kembali lagi bersama kedua orang tuaku untuk melamar kamu pada keluargamu. Bagaimana, apa kamu mau menjadi pendamping hidupku, menemaniku hingga nanti kita tua?" Lanjut Wardana dengan senyuman manis yang begitu menawan.
"Terima atuh Bu Laras, kapan lagi di lamar sama orang ganteng." Celetuk Febri sambil nyengir kuda.
"Iya, terima saja. Pak Wardana tampan, Bu Laras nya cantik, pasangan serasi." Sahut Rahma.
"Terima Bu Laras, terima. Kesempatan tidak akan datang kedua kali. Entar nyesel loh kalau jadi milik orang." Kekeh Yuni dengan wajah lugunya. Dan masih banyak lagi kalimat kalimat dukungan agar Laras menerima lamaran Wardana.
Laras menatap Luna yang terlihat ceria, putri satu satunya itu terlihat begitu bahagia dan bahkan paling tidak sabar menunggu jawaban ibunya.
"Aku terima, mas. Tapi aku juga harus menanyakan ini pada Luna." Sahut Laras dengan hati berdebar, matanya beralih menatap Luna untuk meminta pendapat.
"Luna setuju kok, bu. Luna percaya kalau om Dana pasti akan buat ibu bahagia." Ucapan Luna membuat Laras berkaca kaca, sedangkan Wardana menghembuskan nafasnya lega.
"Alhamdulillah, terimakasih Luna sayang, dan terimakasih, Ras. Aku janji, akan membuat kalian nyaman dan bahagia hidup bersamaku." Sambung Wardana dengan senyuman lebar, matanya terus fokus menatap motif karpet yang dia duduki.
"Sebaiknya kita bicarakan ini di ruang tamu saja, dan biarkan anak anak menghabiskan makanan di sini." Lanjut Wardana yang langsung di iyakan oleh Laras dan merekapun berjalan beriringan menuju sofa yang ada di ruang tamu.
"Mas, apa kamu yakin dengan apa yang kamu putuskan ini, menjadikan aku pendamping mu?" Lirih Laras membuka obrolan.
"Sangat yakin, perlu kamu tau, Ras. Sebenarnya aku sudah sejak lama menyukaimu. Tapi perasaan itu hanya bisa ku pendam saja. Apalagi saat kamu menikah, aku seperti kehilangan segalanya darimu. Dan kini akhirnya Tuhan masih memberikan kesempatan untukku bisa menikahi mu. Tiga hari lagi insyaallah aku akan kesini beserta orang tuaku." Sambung Wardana yang tersenyum hangat.
"Iya mas, aku sungguh masih tak percaya. Terimakasih banyak, semoga niat baik ini di mudahkan, Aamiin." Sahut Laras dengan mata berkaca-kaca.
"Aamiin, ini adalah hari paling bahagia untukku, terimakasih ya, kamu sudah mau menerima lamaranku." Sambung Wardana dengan senyuman yang sumringah.
"Mas, apa keluarga mas Wardana tau bagaimana kondisiku? Maksudnya status ku dan keadaanku yang tidak punya apa apa dan siapa siapa ini. Aku tidak mau kalau nantinya ada masalah dengan keadaanku ini, aku harap mas Wardana mengerti kegelisahan ku ini." Laras mengucapkan kegelisahannya, nasibnya yang sebatang kara membuat Laras tidak percaya diri.
"Tau, orang tua juga semua keluarga tau. Sebelum aku mengatakan niatku ini, aku sudah bercerita sama mereka. Alhamdulillah keluargaku bukan orang yang memandang status dan juga materi. Kamu tenang saja Laras, aku yakin saat kamu bertemu dengan ibuku, pasti kamu menyukai beliau." Balas Wardana yang mengerti akan kegelisahan kekasih hatinya. Laras tersenyum tipis dan merasa lega mendengar jawaban Wardana. Mereka pun mulai membahas rencana masa depan dengan suasana yang hangat, sesekali terdengar tawa dari pasangan yang terlihat serasi itu.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Sedangkan di lain tempat, sakit ibunya Bimo semakin parah. Kaki dan tangannya masih belum bisa di gerakkan. Iis yang sudah pulang kampung menjadi serba salah dan gundah. Lantaran harus meninggalkan kedua anaknya di kota tanpa pengawasan. Di kampung Iis juga hanya mengandalkan uang pemberian dari Bimo yang tak seberapa.
"Saroh kapan pulang, nduk?" Tanya bu Atik sambil menatap layar televisi yang ada di hadapannya.
"Belum tau, Mak. Kemarin pas di telpon juga katanya masih sibuk bantu ibunya. Aku juga gak bisa lama lama di sini, kasihan Dewi di sana sendirian." Sahut Iis yang nampak gusar dan lelah.
"Kalau kamu balik ke kota, siapa yang merawat emak, nduk. Emak juga belum bisa gerak begini. Istrinya Bimo juga katanya gak mau pulang kesini, padahal disana juga dia nganggur." Bu Atik mendesah panjang, matanya susah berkaca-kaca, meratapi nasibnya yang kurang beruntung. Memiliki dua menantu perempuan yang sama sama tak perduli dengan kondisinya.
"Kalau ada Laras tidak begini keadaannya, dia pasti mau merawat emak tanpa banyak alasan ini itu. Tapi sayangnya dia memilih meninggalkan Bimo, pasti sekarang hidupnya Luntang Lantung, dasar egois dan cuma mikirin dirinya sendiri, gak mikir gimana anaknya." Cerocos Bu Atik tanpa merasa bersalah dan seolah tidak ada beban berdosa sedikitpun. Padahal nyata nyata anak lelakinya berselingkuh dan tidak bertanggung jawab kepada Laras dan Luna, tapi Bu Atik selalu menutup matanya.
"Sudahlah Mak, gak usah bawa bawa Laras. Aku jadi kesel kalau ingat sama tuh perempuan, sombong dan sok baik. Lihat saja, hidupnya pasti susah saat ini. Bimo juga sudah tidak pernah kasih uang lagi." Sahut Iis dengan wajah bersungut-sungut.
"Uang yang Bimo kasih tinggal seratus ribu, besok waktunya emak kontrol ke rumah sakit. Emak ada simpanan uang gak, aku gak punya uang sama sekali ini." Sambung Iis mengalihkan obrolan.
"Sama, emak juga gak punya uang sama sekali. Coba kamu telpon Bimo sama Miran minta kiriman uang pada kedua adikmu itu." Bu Atik menanggapi santai keluhan anak perempuannya. Padahal hidup kedua anak lelakinya juga sedang tidak baik baik saja ekonominya. Tapi Bu Atik selalu tak perduli, baginya yang penting uang ada dan dia gak perlu harus pusing mencarinya. Tinggal minta pads kedua anak laki-lakinya, terutama pada Bimo yang selalu di tuntut untuk bisa memenuhi semua kebutuhan untuk keluarganya.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..