Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 25
Aku tak mengerti apa yang terjadi padaku, melihat sosok itu membuat tubuhku membeku. Mataku enggan beranjak, berkedip saja tak mau. Dia berbeda, sungguh cantik. Makhluk tercantik yang pernah aku jumpa di muka bumi ini.
Hijab merah muda dengan hiasan bunga-bunga kecil mengeliling, menambah kesan manis pada parasnya yang sudah cantik paripurna. Jantungku ... astaga! Kenapa berdetak tidak seperti biasanya. Rasanya seperti akan bertemu dengan sang pujaan hati.
Ingin kurengkuh tubuh itu ke dalam dekap hangat, menghidu aroma yang sempat membuatku mabuk kepayang. Kenapa? Kenapa tiba-tiba rindu menyeruak, rindu kebersamaan dengannya. Aku ingat, dia pun bisa bersikap manja saat kami berada di peraduan.
Tidak! Raka, dia adalah perempuan yang tidak pernah menghargai kamu sebagai suami. Ingat, kamu selalu diinjak-injak olehnya. Jangan terlena hanya karena penampilannya yang berubah.
"Ka, apa itu istri kamu?" Samar kudengar suara Mamah berbisik, tapi enggan menanggapi.
"Raka!" Sebuah tepukan di bahu, menyentak kebekuan tubuhku. Aku berpaling dari sosok bidadari yang tengah berjalan mendekat itu, menoleh kepada Mamah yang juga terpana olehnya.
"Kenapa, Mah?" Aku tetap bertanya meski tahu Mamah sedang mengagumi sosok tersebut.
"Beneran itu Shanum, Ka? Mamah, kok, pangling. Cantik banget menantu Mamah," ucap Mamah memuji.
Aku menghela napas, Mamah masih saja menganggap Shanum sebagai menantu. Padahal, kami akan menghadapi sidang perceraian hari ini. Aku berharap, Shanum berubah pikiran. Bisakah aku menolak perceraian ini dan memilih bertahan dengannya?
Astaga! Gila! Kenapa aku bisa kepikiran kayak gitu? Tiba-tiba tak rela berpisah dengannya. Tak ingin kehilangan sumber uang tepatnya, tapi sebelah hatiku tak memungkiri ingin terus bersama. Ada rindu yang membelenggu, terhalang oleh gengsi sebagai laki-laki yang seharusnya dihormati.
"Shanum! Maa syaa Allah, menantu Mamah cantik banget!" pekik Mamah seraya berjalan mendekat pada sosok Shanum sembari membentang tangannya.
Tanpa penolakan Shanum membiarkan Mamah memeluknya. Namun, tak ada senyum di wajah wanita cantik itu. Betapa dia angkuh sekali! Ini yang aku tidak suka, belum bercerai saja dia sudah melepaskan keramahtamahan pada Mamahku yang notabene masihlah mertuanya.
"Udah peluknya, jangan lama-lama! Nanti berat lepasinnya," ketus Mamah mertua, mamahnya Shanum.
Wanita kolot itu juga sama angkuhnya, kenapa aku baru menyadari bahwa mereka hanyalah orang-orang sombong yang bersembunyi dibalik kebaikan. Rasanya aku tidak perlu menyesal berpisah dengan perempuan itu.
Mamah melepas pelukan, tubuhnya terlihat kaku. mungkin tidak menyangka sahabat sekaligus besannya akan berbicara ketus seperti itu. Kutatap mereka, tapi tak satupun dari mereka yang balik menatapku. Terutama Shanum yang terlihat dingin dan kaku.
"Kenapa kamu bilang begitu? Shanum itu menantu aku, berarti anak aku juga. Seharusnya kita nggak usah kayak gini, 'kan, bisa diomongin baik-baik." Mamah berbicara dengan nada sedih, tidak dibuat-buat.
Namun, mamahnya Shanum mendengus, meliau ke segala arah. Seolah-olah merasa jijik melihat Mamah. Kasihan sekali Mamahku.
"Udah nggak ada yang perlu diomongin lagi. Anak kamu aja nggak bisa diajak ngomong baik-baik. Kalian yang pilih jalan ini, Shanum cuma mutusin aja," sengit Mamah mertua yang melempar kesalahan kepada kami.
Sungguh aku tidak menyangka, wanita yang selama ini aku kenal baik dan selalu lemah lembut, ternyata hanyalah sesosok makhluk sombong yang tak memiliki hati. Jelas-jelas anaknya yang menggugat cerai, tapi masih saja menyalahkan aku.
Mamah terlihat kikuk, berbalik menatapku yang hanya diam menahan kekesalan. Tak ingin menimpali ucapan wanita itu, apalagi berdebat dengannya.
"Udahlah, Mah. Nggak usah debat di sini, nggak enak dilihatin orang banyak. Di sini, kami berdua yang salah. Sama-sama nggak mampu bersabar menyelesaikan masalah," ujar suara lembut milik wanita berhijab merah muda itu.
Jantungku kembali bertalu, tanpa sadar hati ikut mengagumi sosoknya yang kurasa bertambah bijak dalam menyikapi masalah. Rasa sesal kembali datang tanpa diundang, tapi segera kutepis dengan cepat. Aku yakin itu hanya akting untuk membuatku merasa menyesal.
Aku tersentak, kembali tubuhku membeku kala melihatnya melempar senyum manis nan ramah. Apa itu? Apakah dia mencoba merayuku? Tidak! Jantungku tak bisa diajak berkompromi, Kenapa malah semakin menggebu-gebu. Sesak, kurasa napasku tercekat. Sejenak aku lena oleh kecantikan makhluk di depan mataku.
Cepat kupalingkan wajah, membuang napas menyangkal apa yang sedang aku rasakan.
"Gimana kabar kamu, Ka? Semuanya baik-baik aja, 'kan?"
Entah sejak kapan dia sudah berdiri di hadapanku. Aroma ini yang aku rindukan, aroma tubuh Shanum yang selalu membuat malamku enggan berakhir. Rindu kembali menyeruak, gatal rasanya ingin mendekap, tapi kutahan demi yang namanya harga diri.
"Baik, alhamdulilah semuanya baik-baik aja. Kamu nggak usah khawatir, kamu sendiri gimana?" Aku menekan rasa yang berkecamuk dalam dada, tak menentu berhadapan dengannya. Salah tingkah hatiku dibuatnya.
Ia kembali tersenyum, senyum yang sama seperti senyum Shanum yang dulu. Senyum yang selalu membuat hanyut lawannya.
"Syukurlah kalo semua baik-baik aja. Aku harap setelah cerai nanti, hubungan kita baik-baik juga. Anak ini nggak bersalah, dia berhak kenal ayahnya. Apa kamu nggak keberatan?" ujarnya.
Napas hangat dari bibirnya yang menampar kulit pipiku, tercium menyegarkan. Dulu, aku begitu candu dengan rasa manis yang dihadirkan benda kenyal tersebut. Masih sama merahnya, manis dengan garis lengkung yang sempurna. Oh, aku ingin menikmatinya sekali lagi.
"Ya, itu terserah kamu. Aku nggak masalah sama sekali," jawabku menekan rasa gugup yang diciptakan Shanum di hatiku.
Kenapa dia semakin terlihat bijaksana, apa karena sudah berhijab? Sehingga pemikirannya menjadi dewasa. Kemarin dia bersikeras menganggapku tak pernah peduli pada kandungannya, tapi sekarang dia memintaku untuk mengenalkan diri sebagai ayah anaknya.
"Aku duluan." Kutarik tangan Mamah memasuki gedung, tak ingin lebih lama berhadapan dengan Shanum yang hanya membuat jantungku bekerja dengan ekstra.
Duduk tak tenang menunggu giliran, Shanum belum terlihat di pintu masuk. Kenapa dia belum masuk juga? Apa yang sedang mereka lakukan di luar?
"Ka, apa kamu nggak nyesel mau pisah sama Shanum? Kamu lihat, 'kan, dia semakin dewasa dan cantik. Mamah nggak mau kehilangan dia rasanya," ucap Mamah sembari menatap pintu masuk berharap Shanum akan muncul beberapa saat lagi.
Aku menghela napas, kenapa harus ditanyakan? Pertanyaan Mamah nanya membuatku semakin serba salah saja.
"Udahlah, Mah. Mamah nggak lihat tadi, mamah Shanum ketus banget sama Mamah. Aku nggak tega Mamah direndahin kayak gitu. Nggak usah mikir yang macem-macem," ingatku pada Mamah.
Bukannya menimpali, Mamah justru mendengus dan memalingkan wajah. Beberapa saat menunduk, reflek wajahku terangkat ketika derit pintu terdengar telinga.
Shanum melangkah masuk dengan didampingi seorang laki-laki berpenampilan rapi. Siapa laki-laki itu? Apakah dia seorang pengacara?