Masih berstatus perawan di usia yang tak lagi muda ternyata tidak mudah bagi seorang gadis bernama Inayah. Dia lahir di sebuah kota kecil yang memiliki julukan Kota Intan, namun kini lebih dikenal dengan Kota Dodol, Garut.
Tidak semanis dodol, kehidupan yang dijalani Inayah justru kebalikannya. Gadis yang lahir tiga puluh tahun yang lalu itu terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga bahkan keluarga yang mencap dirinya sebagai perawan tua. Dua adiknya yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan bahkan sudah memiliki kekasih padahal mereka masih kuliah dan bersekolah, berbeda jauh dengan Inayah yang sampai di usia kepala tiga belum pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan dicintai, jangankan untuk menikah, kekasih pun tiada pasca peristiwa pahit yang dialaminya.
Bagaimana perjuangan Inayah di tempat baru? Akankah dia menemukan kedamaian? Dan akankah jodohnya segera datang?
Luangkan waktu untuk membaca kisah Inayah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada Yang Salah?
"Oya, siapa Bu? Barangkali saya tahu atau bahkan mungkin anak ibu adalah guru saya."
"Namanya Inayah, tapi sekarang dia sudah tidak mengajar lagi."
Deg ...dada Rayyan terasa sesak mendengar nada sendu saat Bu Ani mengatakan kalimat terakhirnya. Di pikirannya tergambar raut wajah sedih Bu Ani karena harus melihat putrinya yang berhenti menjadi seorang guru.
"Kenapa Bu Inayah mengundurkan diri?" tanya Rayyan kembali bisa menguasai hati dan pikirannya, untunglah posisinya membelakangi Bu Ani, jadi wajahnya memerah karena menahan sesak di dada tidak terlihat oleh ibu paruh baya itu.
"Katanya ingin pengalaman baru." jawab Bu Ani, berbicara dengan intonasi kembali normal.
"Sekarang Bu Inayahnya dimana Bu?" Tanya Rayyan cepat pada sasaran utamanya.
"Bu Inayah bekerja di Jakarta, Alhamdulillah katanya dia betah di sana." ada nada kelegaan yang terdengar Rayyan dari nada bicara Bu Ani. Rayyan pun bernafas lega setelah mengetahui keberadaan Inayah.
"Kalau boleh tahu Jakartanya dimana ya Bu? Bu Inayah bekerja di perusahaan apa?"
"Kalau itu ibu kurang tahu, hanya katanya sekarang dia bekerja jadi tenaga administrasi." jelas Bu Ani tanpa rasa curiga, dia juga lupa tidak menanyakan apakah anak laki-laki itu benar-benar mengenali putrinya atau tidak.
Bu Ani langsung meminta Rayyan berhenti karena mereka sudah sampai di pasar yang dituju.
"Terima kasih ya Nak Rayyan, semoga buku yang dibutuhkannya ada." Bu Ani tidak lupa dengan tujuan Rayyan yang akan membeli buku, membuat Rayyan merasa diingatkan jika tadi dia sempat berbohong karena ingin mengantar Bu Ani.
"Jakarta ..." gumam Rayyan sebelum kembali melajukan motornya. Bu Ani sudah tidak tampak lagi, tapi dia masih setia berada di tempat itu.
"Bunda, Papa, Rayna, Kakak kangen." bayangan orang-orang terkasihnya tergambar di pelupuk mata. Sejak pindah sekolah ke Garut, dia memang belum pernah pulang. Hanya dua kali Papa dan Bundanya yang datang berkunjung. Memastikan putra tersayang mereka baik-baik saja pasca keputusannya pindah sekolah, padahal tinggal satu tahun lagi tamat SMA.
Sedih tentu saja dirasakan oleh keluarga Rayyan di Jakarta, keputusan pindah sekolah adalah sepenuhnya keinginan Rayyan, bahkan saat ditanya alasannya apa, Rayyan hanya menggelengkan kepala. Dan masih menjadi misteri sampai saat ini, hanya Tuhan dan Rayyan yang tahu.
Hari-hari yang berlalu terasa hampa, kepergian Bu Inayah sungguh meninggalkan luka di hati Rayyan. Guru kesayangannya itu bahkan pergi tanpa pamit. Dia sudah bertanya kepada semua orang yang diketahuinya dekat dengan Inayah tapi informasi mengenai alamat Inayah saat ini tak kunjung didapatkannya. Pihak yayasan bahkan secara langsung dia temui namun nihil Inayah tidak meninggalkan jejak.
"Kenapa melamun? Stress ya mau lomba tingkat nasional." Hendra, satu-satunya murid yang cukup dekat dengan Rayyan datang menghampirinya. Seperti biasa dia tengah duduk di bangku taman belakang ruang BK.
Tempatnya dulu menyendiri, menikmati makan siang seorang diri saat awal-awal datang ke sekolah ini dan seiring waktu tempat ini berubah semakin membuatnya nyaman kala menghabiskan waktu istirahat atau belajar di luar jam sekolah bersama Bu Inayah. Namun kini, taman ini kembali sepi, bahkan saat seseorang hadir menyapanya pun Rayyan tetap merasakan kesepiannya.
"Tidak." jawab Rayyan singkat.
"Aku yakin kamu juara." lanjut Hendra, duduk tepat di bangku yang biasa diduduki saat menemani Rayyan belajar atau sekedar makan siang.
"Kamu jangan duduk di situ." titah Rayyan membuat Hendra terperanjat dan buru-buru berdiri dari tempat duduknya.
"Kenapa? Ada ulat ya?" Hendra yang memang takut ulat mengedarkan pandangannya mencari sesuatu yang membuat Rayyan melarangnya duduk di bangku itu.
"Itu tempat duduk Bu Inayah." ucapnya membuat Hendra mengerutkan kening.
"Bu Inayahnya juga kan gak ada." protes Hendra tak terima dirinya sampai terkejut gara-gara hal sepele, lagian juga Bu Inayah gak ada.
"Minggir!" seru Rayyan lagi menghalangi Hendra yang ingin duduk kembali di sana.
"Rayy, jangan bilang kalau dari kemarin kamu melamun karena memikirkan Bu Inayah?"
"Iya, aku memikirkannya." Jawab Rayyan tenang.
"Kenapa harus dipikirin sih, kan Bu Inayah juha cuman cuti, paling sebulan juga balik lagi. Lagian kalau kangen kamu tinggal main aja ke rumahnya. Aku tahu rumahnya." cerocos Hendra yang bawaannya memang suka banyak bicara.
Tidak heran dari sekian banyak murid di sekolah itu hanya dia yang bisa menjadi teman dekat Rayyan, pasalnya hampir setiap hari Hendra mengajak bicara Rayyan, walaupun tak jarang Rayyan mengabaikannya. Tapi Hendra tidak menyerah untuk terus mendekati Rayyan hingga perjuangannya membuahkan hasil, saat ini Hendra dan Rayyan sudah cukup akrab
"Bu Inayah pergi, dia resign dan gak bakalan ngajar disini lagi."
"Apa? Tapi kata Bu Habibah waktu masuk ke kelas kita katanya Bu Inayah istirahat dari kegiatan sekolah untuk sementara." Rayyan hanya bisa menggelangkan kepala.
Keduanya kembali diam larut dalam pemikiran masing-masing tentang Bu Inayah.
"Hen" setelah beberapa saat keheningan tercipta, Rayyan memanggil nama temannya itu.
"Iya, ada apa?" Hendra tampak antusias mendengar Rayyan memanggil namanya,
"Salah gak kalau aku menyukai Bu Inayah?" tanya Rayyan tanpa mengalihkan pandangannya dari kursi kosong yang biasa diduduki Inayah.
"Enggak, dimana bagian yang salahnya? Setiap murid memang sudah seharusnya menyukai gurunya agar pembelajaran yang tercipta semakin menyenangkan dan terasa mudah."
Hendra si ketua rohis itu menjawab dengan logis menurut pemikirannya.
"Tapi ..."
"Tapi apa?" susul Hendra tak sabar mendengar jawaban Rayyan.
"Tapi aku mencintainya."
Deg ...Hendra membulatkan matanya seketika.
"Serius?"
"Iya."
"Beneran?"
"Iya."
Rayyan masih terus meladeni pertanyaan yang dilontarkan oleh Hendra. Hingga akhirnya Hendra pun hanya mampu geleng-geleng kepalanya.
"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Rayyan memicingkan matanya.
"Hah ?!" Hendra semakin speeclesh.
padahal aku pengen pas baca Inayah ketemu sama siapa ya thor...🤔🤔🤔🤔🤔 aku kok lupa🤦🏻♀️