NovelToon NovelToon
Cahaya Terakhir Senja

Cahaya Terakhir Senja

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Playboy / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Allamanda Cathartica

Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.

Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.

#A Series

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 6: Kerinduan yang Membelenggu

Sinar matahari menyelinap perlahan membelah celah kecil diantara tirai yang melambai terkena angin. Alfariel yang masih sibuk menjelajah alam mimpi mulai menunjukkan kehadirannya di alam nyata. Kelopak mata sembap Alfariel mengerjap berulang kali. Dia berusaha menyesuaikan pencahayaan yang sedikit terang. Kakinya yang terbalut perban melangkah menuju tempat perenungan semalam. Alfariel menyingkap tirai yang menghalangi udara pagi masuk ke dalam kamar. Dia membiarkan udara pengap yang menghuni kamarnya keluar. Alfariel merasa takut, pikirannya melayang kembali mengingat kejadian semalam.

"Ma, Rendra rindu Mama. Kapan Mama pulang?" ucap Alfariel dengan suara parau akibat menahan tangisnya yang akan pecah.

Angin pagi menyibakkan rambut hitam kecokelatannya, sementara matanya yang abu-abu terpejam rapat. Alfariel berdiri diam, sebulir air mata mengalir pelan di pipinya, seolah membawa beban yang tak terucapkan. Rindu yang begitu mendalam tergambar jelas di wajahnya. Rindu kepada seseorang yang tidak bisa dia lihat sosoknya lagi.

Kesedihan itu begitu nyata, mengikat hatinya dengan rasa kehilangan yang tak berujung. Rasa sakit yang selama ini dia pendam kini terpancar dari sorot matanya yang kosong. Bagi Alfariel, setiap pagi menjadi pengingat akan ketiadaan, sebuah kekosongan yang tidak pernah benar-benar bisa dia isi. Namun, di tengah perih itu, dia berdiri tegar, mencoba menata kembali dirinya, meskipun tahu luka itu masih terlalu dalam untuk sembuh sepenuhnya.

***

Keadaan di SMA Global terlihat ramai. Kebanyakan siswi membuka matanya lebar-lebar, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Tatapan memuja mereka tujukan ke arah pintu gerbang sekolah yang menampakkan seorang cassanova tampan. Laki-laki yang sudah lama menjadi idola di SMA Global.

Alfariel tidak mempedulikan mereka yang sedang memuji dirinya. Penampilan Alfariel tidak ada yang berubah, tetap melanggar tata tertib. Baju seragamnya dia biarkan keluar, tidak ada sabuk yang melingkar di pinggang Alfariel, dasi Alfariel entah hilang kemana, dan rambutnya selalu berantakan. Apa coba bagusnya?

‘Gila,’ pikirnya. Alfariel menganggap perempuan yang sedang menatapnya kagum itu adalah orang yang tidak waras. Alfariel terus berjalan mengabaikan puluhan lontaran kata-kata manis dari setiap siswi yang dia lalui. Menjijikkan. Alfariel tidak suka dipuji, tetapi bagaimanapun juga karena alasan inilah Alfariel menjadi siswa yang terkenal di sekolahnya.

“Woi, Alfariel,” panggil Fariz dari kejauhan. Fariz berlari kecil mendekat ke Alfariel.

Alfariel enggan menoleh apalagi menjawab panggilan itu.

"Woi, diem aja dari tadi. Sakit gigi?" tanya Fariz sambil berusaha menyamakan langkah Alfariel yang terburu-buru.

“Ngarang lo,” jawab Alfariel pendek dengan tetap melangkah dengan tempo yang sama.

Fariz yang tidak mau menyerah segera menarik lengan Alfariel. “Tunggu-tunggu!” Fariz mengelap dahinya yang berkeringat. Dia juga menstabilkan napasnya yang memburu akibat kegiatan jalan cepatnya tadi.

“Kenapa lo masih aja praktek jalan cepat? Olahraganya udah kelar dari kemarin,” ucap Fariz dengan napas yang mulai stabil. Dia melepas pegangan di lengan Alfariel lalu mereka berjalan dengan kecepatan yang lebih santai.

Alfariel terkikik geli. "Memang salah?"

Alfariel selalu menghemat suara jika dia berbicara dengan orang lain yang sok ingin berbasa-basi dengannya, kecuali teman satu gengnya. Alasannya simpel, Alfariel tidak suka banyak bicara. Dari luar Alfariel memang terlihat sangat kaku. Alfariel juga tampak tidak acuh dengan keadaannya, tetapi sebenarnya hati Alfariel terasa perih tergores luka yang belum juga kering. Alfariel tidak tahu sampai kapan luka itu akan menghuni hatinya. Bagaimana bisa kering jika Alfariel saja belum bisa melupakan luka itu? Akibatnya sangatlah merugikan bagi Alfariel, menimbulkan sakit hati yang dapat membuat Alfariel frustasi.

Fariz menggeleng. “Nggak ada. Hanya saja, kaki lo nggak pegal apa? Kaki gue aja pegal, sampai semalam gue begadang gara-gara mijitin kaki.” Fariz membuntuti Alfariel yang duluan masuk ke kelas.

Pelajaran pun dimulai dengan serius. Pak Dastan sedang sibuk menulis rumus fisika di papan berwarna putih. Pandangan murid kelas XII MIPA B tertuju ke depan. Rumus fisika tampak memenuhi setiap sisi dari papan tulis yang tergantung di depan kelas. Apa yang dilakukan Alfariel sungguh berbeda dengan teman-temannya, sedari tadi kerjaannya hanya melamun, melamun, dan melamun. Tatapan matanya kosong, pikiran Alfariel ikut kacau, dan sekarang Alfariel terlihat seperti mayat hidup. Sungguh miris.

“Alfariel,” panggil pak Dastan.

Siswa lain yang sibuk dengan acara tulis menulis kini mengalihkan perhatian ke arah penghuni bangku pojok paling belakang. Fariz menggeleng pasrah. Sudah sejak tadi pagi sahabatnya itu terlihat murung. Tidak seperti biasanya Alfariel terlihat sedih. Dia masih bisa tersenyum meskipun sifat juteknya masih melekat pada diri Alfariel.

Pak Dastan berjalan menghampiri Alfariel. “Alfariel,” panggilnya lagi, kali ini lebih tegas.

Alfariel tidak merespons.

BRAK!

Pak Dastan menggebrak meja yang ada di depan Alfariel. Seketika lamunan Alfariel menjadi buyar. Alfariel menatap linglung ke seluruh teman-temannya yang memperhatikan Alfariel tanpa berkedip. Dalam benaknya, ia mencoba mengingat. Bukankah tadi seseorang memanggil namanya?

“Apa-apaan kamu Alfariel? Apa yang sedang kamu lamunkan sampai tidak mendengar saat Bapak panggil?” suara Pak Dastan memecah kebisuan.

Alfariel menunduk, suaranya hampir tidak terdengar. “Maaf, Pak. Saya salah,” ucapnya lirih sambil membuka buku tulisnya yang kosong, lembar demi lembar masih bersih tanpa coretan apa pun. Di balik permintaan maafnya, pikiran Alfariel kembali berputar pada luka di hatinya.

Pak Dastan menarik buku itu dari meja Alfariel secara cepat.

"Bahkan kamu belum mencatat sedikit pun?" tunjuk Pak Dastan pada lembar putih milik Alfariel. Hanya terdapat garis panjang akibat tercoret saat Pak Dastan menarik buku Alfariel.

Alfariel hanya mengangguk pelan, tanpa berusaha memberikan penjelasan.

Pak Dastan menghela napas panjang. Wajahnya mencerminkan kelelahan bercampur kekecewaan. “Keluar dari kelas! Bapak tidak mau salah satu dari siswa kelas ini yang tidak fokus ke pelajaran,” perintah pak Dastan sambil menunjuk ke arah pintu.

Tanpa protes atau keberatan, Alfariel membereskan buku-bukunya dengan tenang dan bangkit dari kursinya. Tanpa menatap siapa pun, dia melangkah keluar dari kelas.

Meski suasana itu terlihat seperti hukuman, di dalam hatinya Alfariel justru merasa lega. Setidaknya, satu beban terlepas darinya. Bagi Alfariel, terjebak dalam kerumitan rumus fisika yang berbelit adalah salah satu hal paling menyiksa. Di luar kelas, dia merasa lebih bebas meskipun bayang-bayang lukanya tetap setia menghantui setiap langkahnya.

Setelah keluar dari kelas, Alfariel menarik napas panjang. Udara di luar kelas terasa lebih segar, seolah menghapus sebagian kecil tekanan yang menghimpit dadanya. Tanpa berpikir panjang, dia memutuskan untuk menuju kantin sekolah. Tempat itu biasanya sepi pada jam pelajaran seperti sekarang. Langkahnya terasa ringan meski pikirannya tetap dipenuhi kekacauan. Setibanya di kantin, Alfariel memilih duduk di sudut paling belakang, jauh dari pandangan siapa pun.

***

Bersambung …..

1
Oryza
/Speechless/
Hindia
nah kan bener ada backingannya
Hindia
pantes aja ya ternyata dia punya backingan
Hindia
sok sok an banget
Hindia
parah banget mita
Hindia
sumpah bu tya ini sangat mencurigakan
Hindia
lah berarti selama ini alfariel ngode gak sihh kalau emang ekskul tari itu ada sesuatu
Hindia
Alurnya ringan, sejauh ini bagusss
Hindia
Walahhh alfariel mah denial mulu kerjaannya
Hindia
Gass terus abyan
Hindia
Tumben banget nih si Fariz agak bener otaknya
Gisala Rina
🤣🤣
Gisala Rina
udah lupa ajah nih anak 🤣🤣
Gisala Rina
mungkin ada alasan yang bikin papa lu ga bicara jujur.
Gisala Rina
jangan gitu. begitu juga itu papa lu alfariel 🤬
Gisala Rina
mang eak mang eak mang eak sipaling manusia tampan 1 sekolah 😭
Gisala Rina
cowok bisa ngambek juga yaa ternyata hahaha
Gisala Rina
Kwkwkwkwk kalian kok lucu
Gea nila
mending kamu fokus ajah alfariel. emang sih bakal susah. tapi ya gimana lagi 😭
Gea nila
wkkwkwk sabar ya nasib jadi tampan ya gitu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!