Sebuah perjodohan membuat Infiera Falguni harus terjebak bersama dengan dosennya sendiri, Abimanyu. Dia menerima perjodohan itu hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sikap Abimanyu yang acuh tak acuh membuat Infiera bertekad untuk tidak jatuh cinta pada dosennya yang galak itu. Namun, kehadiran masa lalu Abimanyu membuat Infiera kembali memikirkan hubungannya dengan pria itu.
Haruskah Infiera melepaskan Abimanyu untuk kembali pada masa lalunya atau mempertahankan hubungan yang sudah terikat dengan benang suci yang disebut pernikahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Abimanyu Sakit
Tiga jam sebelum Abimanyu kembali ke rumahnya, dia terlebih dahulu datang ke perusahaannya karena Joko menghubunginya, kalau penulis Pena Rindu menarik naskahnya, dan menolak untuk revisi, seperti keinginannya.
Abimanyu mengerti kalau beberapa dari timnya merasa kecewa, tapi bagaimana lagi. Dirinya tidak suka dengan naskah yang seperti itu.
“Ya sudah, tidak apa-apa jika memang naskahnya ditarik kembali. Kita coba saring lagi saja naskah yang masuk.”
Joko yang memperhatikan Abimanyu yang sedang berbicara dia berkata, “Apa bapak sakit?” Wajah Abimanyu terlihat pucat. Keningnya juga basah dengan keringat.
“Ya, saya sedikit tidak enak badan.”
“Mau saya belikan makanan dan obat, Pak? Sebelum pulang?”
Abimanyu menggeleng. “Tidak perlu. Saya akan pulang saja!”
Abimanyu bangkit dari duduknya, tapi baru saja dirinya berdiri kepalanya terasa berdenyut, matanya sedikit berkunang-kunang.
“Apa bapak baik-baik saja? Lebih baik beristirahat saja dulu. Saya akan mengambilkan minum untuk Anda.”
“Tidak. Tapi, bisakah kau memesankan taksi untukku? Aku ingin beristirahat di rumah saja.”
“Baik, Pak.”
Begitulah Abimanyu kembali ke rumahnya. Dia meninggalkan mobilnya di kantor, membuat Fiera menganggap kalau sang suami belum pulang.
Namun, saat sampai di rumah, bukannya bisa beristirahat, Abimanyu malah mendapat telepon dari rektor, yang memberi tahu kalau dua bulan lagi akan ada diklat di luar kota. Beberapa dosen akan terlibat di dalamnya, dan itu termasuk Abimanyu.
Abimanyu terlebih dahulu melangkah menuju ke ruang kerjanya untuk memeriksa beberapa hal, tapi ternyata kepalanya semakin terasa pusing. Pagi-pagi dia tidak sempat sarapan, siang dia hanya menikmati sepotong kue yang dibagikan oleh salah satu dosen yang berulang tahun.
Akhirnya, saat Abimanyu hendak kembali ke kamarnya dia tumbang di ruang kerja, tidak sadarkan diri.
***
“Mas!”
Fiera berlari menghampiri Abimanyu yang tergeletak di lantai ruang kerjanya, kepalanya bersandar pada sofa yang biasa Fiera gunakan untuk mengerjakan tugasnya. Pria itu setengah sadar, tapi masih belum bisa bangun.
“Apa yang terjadi?” tanyanya sedikit khawatir. Wajah Abimanyu basah dengan keringat dan terlihat pucat.
Abimanyu menggeleng, dia tidak memiliki tenaga hanya untuk sekedar menjawab pertanyaan istrinya.
“Ayo, bangun dulu. Kenapa malah tidur di lantai?”
Abimanyu terlihat membuka mulutnya untuk menjawab, tapi tidak ada suara yang keluar.
Fiera susah payah mengangkat tubuh Abimanyu untuk berdiri, tapi tenaganya tidak cukup kuat. Akhirnya, dia mendudukkan Abimanyu di atas sofa. “Berat banget. Mas duduk saja dulu di sini. Aku ambilkan air hangat dulu.”
Abimanyu mengangguk, dia memejamkan matanya karena merasakan di dalam kepalanya seperti ada baling-baling yang berputar.
Tidak lama, Fiera kembali dengan membawa satu gelas air mineral hangat dan memberikannya pada Abimanyu. “Minumlah dulu.” Fiera memberikan gelas itu ke tangan Abimanyu, tapi sang suami sudah terlalu lemas untuk memegang gelasnya.
“Ba-bantu... .”
Fiera menghela napas berat. Dia duduk di samping Abimanyu, lalu mengangkat kepalanya. “Ayo, minum dulu.” Abimanyu menurut, dia menyeruput air hangat yang langsung membasahi tenggorokannya yang kering. Tadi, dia sempat berpikir, kalau dirinya akan mati di ruangan itu karena Fiera tak kunjung datang, sedangkan kepalanya semakin pusing.
“Apa Mas sudah makan? Biar aku ambilkan obatnya.”
Fiera ingat, saat itu Abimanyu membeli obat-obat.
Abimanyu menggeleng pelan. “A-aku, be-belum makan.”
“Dari pagi?”
Abimanyu mengangguk.
“Astaga! Kenapa mas melakukan itu? Apa sesibuk itu sampai engga keburu buat makan?” Fiera mengomel. “Padahal, biasanya mas selalu makan, makanan sehat. Itu biar apa? Biar sehat, kan? Lantas, kenapa sekarang malah mengabaikan makannya. Apa sengaja?”
Abimanyu ingin sekali berteriak, ini semua karena kau yang terus mendiamkanku, tapi sayangnya dia tidak memiliki tenaga untuk melakukannya.
Fiera menghela napas berat. “Baiklah, sebaiknya mas ke kamar saja dulu. Biar aku buatkan makanan. Tapi, aku engga bisa bikin apa itu... salad?”
“Buat bubur saja, Fier.”
Abimanyu menelan ludahnya berat. Lidahnya mulai terasa pahit.
“Baiklah, ayo, kita ke kamar saja dulu. Di sini engga nyaman kalau buat tidur.”
Mengingat, sofa yang ada di ruangan itu tidak terlalu besar dan tidak akan cukup untuk Abimanyu yang memiliki tubuh yang tinggi.
Fiera meraih tangan Abimanyu dan dia letakkan di bahunya untuk memberi kekuatan padanya. “Ayo.”
Fiera menarik tubuh Abimanyu untuk bangun dan membawanya keluar dari ruangan itu. Dia terlihat kepayahan karena tubuh suaminya yang jauh lebih besar. “Ah, kenapa mas berat banget, sih?” gerutunya, tapi masih melangkah menuju tangga. Dia berhenti saat akan naik.
“Eh, bagaimana kita naik ke atas? Apa mas bisa naik sendiri?”
Abimanyu menggeleng. “Kamu yang benar saja? Buat jalan saja mas butuh bantuan kamu.”
“Ya, siapa suruh mas engga makan seharian?” Fiera manyun, dia terlihat berpikir.
Abimanyu sama sekali tidak tersinggung dengan gerutu istrinya, dia malah menikmati kedekatan mereka. Padahal, selama lebih dari seminggu Abimanyu sudah berusaha sangat keras hanya untuk berbicara dengannya, tapi Fiera selalu saja menghindarinya.
Sekarang, hanya karena dirinya sakit Fiera mau berbicara dengannya dan membantunya.
“Ke kamar kamu saja.”
“Ke kamarku? Lalu aku di mana?”
Abimanyu merasa kepalanya semakin pening. “Ya, kamu juga di kamarmu. Kan, kasurnya besar.”
“Tapi, kan—“
“Kita suami istri, Fiera!” Abimanyu mengingatkan.
Infiera terdiam. Iya, tahu mereka suami-istri, tapi, kan....
“Fier, cepat. Mas engga kuat berdiri terus.”
Ck! “Iya, iya, jangan pingsan dulu. Aku engga bisa gendong mas ke kamar!”
Abimanyu tidak menanggapi. Dia hanya melangkah mengikuti wanita itu yang kembali berjalan menuju kamarnya. Fiera membaringkan Abimanyu di kasurnya perlahan. Dia terengah karena kelelahan. Menggandeng Abimanyu yang memiliki badan lebih besar darinya ternyata sangat melelahkan.
“Mas tunggu dulu, aku buatkan bubur.”
Abimanyu mengangguk, seraya memejamkan matanya. Dia benar-benar merasa pening, tubuhnya juga melai terasa demam. Kurang tidur dan makan tidak teratur, membuatnya langsung drop seperti itu. Andai dalam keadaan sehat, mungkin dia sudah bisa memanfaatkan momen kedekatannya tadi dengan Fiera untuk meminta maaf. Sayangnya, kondisinya sedang tidak memungkinkan.
Lebih dari setengah jam, Fiera kembali masuk dengan membawa semangkuk bubur, telur rebus, dan juga air mineral hangat di atas nampan. Tidak lupa, dia juga sekalian membawa obat yang diambilnya dari kamar Abimanyu.
“Mas,” panggil Fiera karena Abimanyu memejamkan mata. Dia berpikir kalau suaminya sedang tidur.
Abimanyu langsung membuka mata.
“Makan dulu.”
Fiera meletakkan nampan itu di sisi tubuh suaminya, agar dia bisa mudah menggapainya.
“Fier, mas engga kuat buat bangun.”
Lagi-lagi Fiera hanya bisa menghela napas berat. “Baiklah, baiklah. Aku akan menyuapi mas. Tapi bangun dulu.” Fiera membantu Abimanyu untuk bangun dan menatap bantal di belakang tubuhnya.
‘Giliran sakit, tetap saja nyusahin istri!’ gerutu Fiera, meski suaranya sangat pelan, tapi karena dia berbicara begitu dengan Abimanyu, suaminya bisa mendengar dengan baik.
“Mas bisa dengar, Fier.”
“Ya, tentu. Mas, kan, engga budeg!”
Mungkin, jika dalam keadaan normal, Abimanyu akan langsung memasang wajah garangnya, mendengar ucapan Infiera, tapi karena dia sedang sakit dan wanita itu memang sedang marah. Abimanyu hanya bisa bersabar untuk saat ini.
“Aku engga pandai masak. Engga tahu rasanya enak atau engga.” Fiera menyuapkan suap demi suap buburnya. Dia tidak terlalu banyak memasukkan bahan karena pada dia tidak bisa membuat bubur. Yang penting dia memasukkan garam agar tidak hambar.
Sedangkan Abimanyu, dia hanya berpikir karena dirinya sakit, makanya buburnya terasa tidak enak. Dia tidak tahu saja kalau memang buburnya hanya rasa garam. Beruntungnya, ada telur rebus yang menyelamatkan rasanya.
Abimanyu hanya sanggup menghabiskan setengah mangkuk buburnya. Dia segera meminum segera obat yang diberikan oleh Fiera, lalu merebahkan tubuhnya.
Setelah memastikan kalau Abimanyu sudah berbaring, Fiera mengembalikan nampan berisi piring bekas makan suaminya dan mencucinya langsung.
Fiera ingin mengerjakan beberapa tugas kuliahnya dan juga menulis chapter baru untuk novel online-nya, tapi dia kepikiran Abimanyu yang sedang sakit.
Akhirnya, Fiera kembali ke kamar untuk melihat kondisi Abimanyu. Dia menyentuh kening pria itu. “Astaga, kenapa sekarang malah demam tinggi?”
Fiera buru-buru mengambil baskom berisi air hangat dan juga handuk bersih untuk mengompres, berharap dengan cara itu demamnya bisa menurun. Dia ingin membawa Abimanyu ke dokter, tapi bagaimana caranya? Dia saja engga bisa mengendarai mobil. Selain itu, sepertinya Fiera juga tidak melihat mobil Abimanyu di mana. Itu sebabnya tadi dia menganggap kalau pria itu belum pulang.
Cukup lama Fiera mengompres Abimanyu. Sampai akhirnya, dirinya tertidur di lantai, di atas karpet bulu yang ada di samping tempat tidur dalam keadaan duduk, dengan kepala yang menelungkup di atas tempat tidur.
Sekitar pukul tiga pagi, Abimanyu terbangun saat merasakan tubuhnya yang banjir keringat, sakit kepalanya sudah membaik, meski masih sedikit pening. Demamnya juga sudah turun. Abimanyu tidak nyaman dan berniat untuk mengganti pakaiannya. Saat hendak turun, dia baru sadar kalau dirinya tidak tidur di kamarnya melainkan tidur di kamar istrinya.
“Astaga, kenapa dia tidur di lantai?”
Abimanyu buru-buru turun dan menggendong Fiera perlahan—memindahkannya—ke atas tempat tidur. Setelahnya, dia bergegas menuju kamarnya di lantai dua untuk mengganti kaosnya yang basah karena keringat.
Entah apa yang dipikirkan oleh Abimanyu, pria itu kembali turun dan masuk ke dalam kamar istrinya, lalu merebahkan tubuhnya di samping sang istri, dan memeluk tubuhnya.
Abimanyu merasa nyaman. Dia tidak membutuhkan banyak waktu untuk kembali terlelap, sampai tidak memedulikan kalau wanita yang dipeluknya bisa saja berubah jadi singa betina saat terbangun nanti.
...Jangan lupa tap tombol like-nya dan juga vote yang banyak^•^ ...
...tinggalkan kritik yang santun, supaya author bisa memperbaiki segala kesalahan dengan senang hati. Author masih harus banyak belajar. Terima kasih sudah berkenan untuk membaca cerita ini. ...