Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29 - Upaya Pengejaran
Semakin beranjak malam, seruan dari perayaan yang bisa dikatakan semacam kenduri tampak mengisi langit-langit hutan. Sorak-sorai dari para penghuni hutan terdengar riuh, suaranya meningkahi keheningan malam.
Sementara itu, Naina yang baru saja bangun dari tidurnya langsung dijemput oleh kuda bersayap putih. Naina diminta duduk, biar kuda itu yang terbang dan membawanya pada acara perayaan.
Sambil mengusap-usap matanya agar pandangan nampak lebih jelas, Naina bicara, “Apa semuanya sudah berkumpul?”
Kuda bersayap tersebut mengangguk. “Ya, mereka sudah menunggumu. Kita akan berpesta sampai pagi, kau akan menjadi bintang utama malam ini.”
Setelah duduk menyamping di atas punuk, kuda tersebut melebarkan sayap. Melesat di antara ranting pepohonan, mengudara rendah dan menukik secara perlahan sesampainya di acara perayaan.
Menapaki kakinya pada permukaan tanah, Naina disambut hangat oleh mereka. Ada yang merangkul, bergelayutan di tangan, bertengger di bahu dan kepala, dan ikut duduk mengayun pada kaki.
Para binatang itu tampak antusias sekali. Mereka memperlakukan Naina dengan baik, menunjukkan bahwa kehadiran gadis itu amat berarti di sini.
“Nikmatilah acara ini.” Rusa raksasa yang berada di tengah-tengah acara berbicara, “Kau bebas melakukan apapun, ada banyak makanan yang bisa kau jamu. Hutan ini adalah rumahmu, jadi kau tak perlu sungkan.”
Kepala Naina mengangguk laun. Tersenyum lebar hingga membuat mata minimalisnya nyaris hilang. Rasa haru membuatnya ingin menangis, apa yang dirasakannya saat ini sudah lebih dari cukup dari apa yang selama ini dirinya inginkan.
Meski pada awalnya Naina sempat ragu dan merasa ada yang tertahan dalam hati, sebisa mungkin dirinya menyingkirkan perasaan tersebut. Mencoba percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Selepas peninggalan rusa raksasa yang menepi dari acara perayaan, keadaan kembali riuh kembali. Mereka bersorak, bernyanyi dan membuat irama dari beberapa barang yang menimbulkan lantunan nada yang indah.
“Kenapa Tetua tidak ikut menikmati acara ini?” tanya Naina cukup penasaran, sesaat matanya kembali tertuju pada ujung hutan yang masih menampilkan sosok rusa itu sebelum hilang ditelan gelapnya malam.
Burung kakak tua yang hinggap di bahunya, langsung menyahut, “Dia perlu istirahat yang cukup. Dia sudah menjaga hutan ini selama ribuan tahun lamanya, tentu seiring bertambahnya umur, dia tak se-energik pada saat dulu. Sudah ada di tengah-tengah kita saja, sepatutnya kita bersyukur.”
Naina mengangguk paham. “Baiklah. Aku harap dia bisa sehat selalu agar bisa menemani kita di sini.”
“Sebetulnya, Tetua sudah mendapat keajaiban,” celetuk kura-kura yang menempel pada kaki Naina di bawah sana.
Otomatis semuanya langsung tertuju ke sumber suara, kura-kura itu berhasil menyedot perhatian mereka semua.
“Hei, apa hal itu perlu diceritakan juga?” tegur kelinci yang berdiri di samping Naina.
“Kenapa? Bukankah itu tidak akan menjadi masalah? Toh, Naina sudah resmi jadi penghuni hutan di sini. Jadi dia pantas tahu,” timpal kura-kura yang merasa teguran itu terdengar berlebihan.
Di tengah mereka yang sibuk berdebat, Naina jadi penasaran akan keajaiban yang dimaksud.
“Memangnya apa yang terjadi pada Tetua?” Pertanyaan itu lolos dari mulut Naina, mengalihkan atensi beberapa dari mereka.
“Beberapa ratus tahun yang lalu, kami melihat Tetua tak lagi bernyawa. Atas kejadian di masa lalu, nyawa Tetua tak tertolong. Tapi beberapa puluh tahun setelahnya, kami melihat dia hidup kembali. Rasanya seperti tak nyata bisa melihatnya ada di tengah-tengah kami, tapi—”
Penjelasan dari kura-kura harus terhenti sebab sesuatu jatuh menimpa kepalanya, sebuah batu kerikil yang dibawa burung putih berekor panjang. Hal itu sontak membuat kura-kura tersebut mengerutkan kening dan siap mengomel.
Namun, belum sempat ia bicara, burung itu lebih dulu menyerobot, “Bicaralah pada tempatnya. Kau tidak ingat apa yang dikatakan Tetua? Malam ini hanya untuk perayaan. Maka jangan isi dengan cerita-ceritamu itu!”
Naina berjongkok, mengelus kepala kura-kura itu, sementara burung tadi lantas terbang menjauh. “Sudahlah, tak apa. Mari kita nikmati malam ini. Aku sudah punya sedikit gambaran tentang keajaiban yang dimaksud. Itu benar-benar luar biasa!”
Kura-kura itu mengerucutkan mulut, terlihat menahan kesal. “Hufft! Burung itu terlalu dimanja oleh Tetua, padahal dia penghuni baru di sini. Tapi dia yang selalu menjadi kaki tangan Tetua,” dumelnya mengabaikan perkataan Naina sebelumnya.
***
Sesuai kesepakatan, Tuan Minos menunggu diujung hutan. Tak lama Tora datang untuk menemuinya, langsung melaporkan mengenai informasi yang baru saja didapatkannya.
Tuan Minos mengulurkan tangan ke depan, membuka telapak tangannya, membiarkan gagak tersebut hinggap di sana.
“Begini, Tuan.” Tora yang sudah bertengger lantas mengeluarkan sinar dari matanya, cahaya yang mirip hologram itu menampilkan beberapa rekaman yang sudah dirinya dapatkan.
Melalui cerita mulut ke mulut yang Tora dengar dari para warga, rupanya Ysandre berulang kali pindah tempat tinggal. Bahkan katanya, dia telah menikah dan memiliki seorang putri.
“Tidak tahu siapa wanita yang telah dia nikahi, Tuan. Putri dari hasil perkawinan mereka pun tidak terdeteksi jejaknya. Hanya informasi itu yang bisa aku dapatkan, Tuan. Identitasnya sebagai penyihir terkenal masih melekat dalam ingatan orang-orang,” beber Tora yang membuat Tuannya membeku beberapa saat.
Berusaha mencerna informasi yang diterima, perlahan dendam dan amarah yang bergumul dalam dada membuat detak jantungnya bertalu-talu lebih kuat. Tubuhnya yang banjir akan nanah yang menyala-nyala sekejap terang—sekejap redup itu kian memanas, membuat kepulan asap muncul dari permukaan kulitnya yang gosong.
“Setelah membuatku berada dalam penderitaan ini, bisa-bisanya dia melanjutkan kehidupannya tanpa ada beban. Dasar keparat!” Dadanya mulai naik tak beraturan.
Tora melihat kilatan cahaya itu dari kedua mata Tuan Minos, tergambar jelas akan emosi yang sudah merundung diri Tuannya tersebut.
Mengayunkan tangan kanannya ke udara, Tuan Minos yang masih mengetatkan rahangnya langsung merapalkan mantra untuk membuka gerbang portal menuju tempat penyihir itu. Perasaan campur aduk semakin berkecamuk dalam diri.
Satu mantra yang diberi sejak pertama kali mendapat kutukan, benar-benar tertanam dalam ingatan. Mantra itu Tuan Minos dapatkan sebagai jaminan tentang kutukan yang didapatkannya, seharusnya ia tak pakai mantra itu saat ini, tapi dirinya tak lagi mau menunggu.
Ketika mulut itu komat-kamit, perlahan di hadapannya muncul cahaya putih benderang. Berputar hingga menampilkan portal yang akan membawanya pada dunia lain.
“Malam ini aku akan benar-benar mengirimmu ke neraka!” geram Tuan Minos sebelum kakinya mengayun masuk ke dalam portal tersebut.
Seiring dengan tubuhnya yang bergerak masuk, hatinya berulang kali menyebut nama Naina. Firasatnya semakin memburuk, tangannya terasa gatal sekali ingin buru-buru menarik gadis itu untuk kembali ke sisinya.
“Bersabarlah, sebentar lagi aku akan menjemputmu.”
***