Unwanted Bride (Pengantin yang tak diinginkan)
Nazila Faradisa adalah seorang gadis dari keluarga broken home. Karena itulah ia menutup hatinya rapat dan bertekad takkan pernah membuka hatinya untuk siapapun apalagi menjalani biduk pernikahan. Hingga suatu hari, ia terlibat one night stand dengan atasannya yang seminggu lagi akan menyelenggarakan pesta pernikahannya. Atas desakan orang tua, Noran Malik Ashauqi pun terpaksa menikahi Nazila sebagai bentuk pertanggungjawaban. Pesta pernikahan yang seharusnya dilangsungkannya dengan sang kekasih justru kini harus berganti pengantin dengan Nazila sebagai pengantinnya.
Bagaimanakah kehidupan Nazila sang pengantin yang tidak diinginkan selanjutnya?
Akankah Noran benar-benar menerima Nazila sebagai seorang istri dan melepaskan kekasihnya ataukah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch.18
Langit sudah cukup gelap, jarum jam pun telah menunjukkan hampir pukul 9. Dengan langkah gontai, Nazila berjalan menyusuri koridor apartemen dan membuka pintunya. Gelap, itu yang pertama kali Nazila lihat saat pintu terbuka. Ia pun gegas menutup kembali pintu dan menyusuri tembok untuk mencari sakelar. Tapi belum sampai tangannya menjangkau sakelar, lampu telah lebih dahulu menyapa dan suara bariton seseorang membuatnya tersentak hingga mundur beberapa langkah dengan jantung berdegup kencang.
"Dari mana saja kamu?" sebuah kalimat pertanyaan terlontar dari pemilik suara bariton itu. Suara itu begitu tegas, seolah menuntut jawaban segera.
Nazila mengusap dadanya yang terlampau terkejut lalu balas menatap Noran dengan datar.
"Dari liat keadaan ibu." sahut Nazila datar. Namun gurat kelelahan terlihat jelas di mata Nazila.
"Ibu? Kau ... masih memiliki ibu? Mengapa kau tak pernah mengatakannya?" tanya Noran heran. Ya, selama ini ia tidak tau apa-apa tentang Nazila. Bahkan menikah pun, ia tidak melibatkan keluarga Nazila sama sekali. Nazila hanya mengatakan ayahnya tak ada lagi karena itu ia langsung meminta wali hakim untuk menikahkan mereka. Saat hari pernikahan pun, yang datang dari pihak Nazila hanya paman dan bibinya, lalu dimana ibunya? Mengapa saat itu tidak datang? Apa ia marah karena merasa tidak dianggap?
"Anda tidak pernah bertanya, tuan." balas Nazila dingin.
"Nazila, bisakah kau bicara dengan sopan kepada ku? Ingat, aku suamimu. Sudah seharusnya aku mengetahui segala hal tentang keluargamu."
"Aku akan sopan bila Anda sopan tuan. Dan apa kata Anda tadi, suami? Suami di atas kertas maksud Anda? Anda juga ingin mengetahui segala hal tentang keluarga saya? Lebih baik tidak usah tuan. Keluarga saya tidaklah penting. Lagipula pernikahan kita hanya sementara. Jadi untuk apa mengetahui tentang keluarga saya? Bukankah lebih baik tidak tau, jadi saat kita berpisah, tidak akan menimbulkan masalah. Cukup hubungan kita saja yang berakhir." ucap Nazila datar dan dingin membuat Noran menjadi geram sendiri atas sikap dingin dan keras Nazila.
"Dengarkan aku, biarpun pernikahan kita hanya di atas kertas, tapi kita sah sebagai suami istri. Sudah sewajarnya aku mengetahui tentang ibumu. Aku tidak ingin ia menilaiku laki-laki baji-ngan yang tak peduli pada keluarganya." balas Noran tak kalah dingin.
Nazila menghela nafas panjang. Sebenarnya ia enggan menceritakan tentang ibunya pada orang lain. Bukan malu, tapi lebih ke menjaga. Selama ini setiap orang yang tau keadaan ibunya, pasti mengatakan ibunya gila. Padahal itu sangat jauh berbeda. Ibunya hanya gangguan mental. Akibat terlalu tertekan dan depresi karena kecewa dengan sikap sang suami, membuatnya jadi sering murung dan seolah terjebak di alam bawah sadarnya. Ia terlalu terluka sampai mengunci rapat mulut dan hatinya. Trauma dengan keadaan, depresi, hingga membuat tubuhnya mati rasa dan berakhir stroke. Ya, 3 tahun yang lalu, ibunya sempat terkena stroke. Ia bahkan hampir gagal jantung sehingga harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit dengan biaya yang cukup tinggi. Nazila saat itu hampir putus asa. Beruntung saat itu ia mendapatkan jalan keluarnya. Meskipun harus ada harga yang ia bayarkan. Meskipun harus ada sesuatu yang ia korbankan, ia rela. Sangat rela, semua demi sang ibu. Demi ibunya. Demi wanita yang mengandungnya selama 9 bulan 10 hari itu, ia rela melakukan apa saja.
"Kau tak perlu khawatir, ia takkan mungkin bisa menilaimu seperti itu sebab mentalnya sedikit terganggu." cicit Nazila. "Tapi dia bukan gila." tegasnya sebelum Noran berpikir macam-macam. "Ibu hanya ... tertekan dan depresi. Jadi kau tak perlu khawatir dia akan menganggapmu laki-laki bajing-an seperti yang kau katakan tadi." imbuhnya lagi pelan. Suaranya terdengar sangat lirih hingga membuat Noran yang awalnya kesal jadi terpengkur di tempatnya. Ditatapnya Nazila yang tampak menunduk sambil meremas tali tas yang melintasi pundaknya.
Tanpa kata, Nazila pun segera berlalu dari hadapan Noran dan masuk ke kamarnya. Saat pintu kamar tertutup, Nazila merosot ke lantai. Ia terisak lirih sambil menutup mulutnya. Tak ingin suara tangisannya sampai terdengar Noran. Tapi Noran yang kini telah berdiri tepat di depan pintu kamar Nazila ternyata masih bisa mendengar isakan lirih itu. Apakah selama ini ia telah terlalu kejam pada Nazila? Bagaimana kehidupan Nazila yang sebenarnya? Ia tak pernah tau. Tidak sama sekali.
Nazila memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Nafasnya sampai tercekat. Ia berusaha menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, tapi sesak itu masih saja menghujam dadanya. kepalanya menengadah, menatap langit-langit kamarnya yang masih gelap karena lampu yang belum ia nyalakan.
Sebenarnya ia sudah hendak pulang sejak sore tadi, tapi tiba-tiba saja ibunya mengalami kejang-kejang. Nazila panik apalagi saat itu bi Arum dan mang Giman sedang pergi mengunjungi keluarga mang Giman yang baru saja mengalami musibah jadi ia hanya berdua saja dengan sang ibu. Beruntung tak jauh dari sana ada praktek dokter. Saat diperiksa, ternyata itu efek ibunya yang tiba-tiba saja mengalami demam. Beruntung setelah mendapatkan suntikan dan infus, ibunya jadi lebih baik. Karena bi Arum pulang agak larut, jadi ia pun baru bisa pulang saat hari sudah cukup malam.
Tok tok tok ...
Suara ketukan di pintu mengejutkan Nazila. Nazila yang tanpa sadar tertidur seraya terduduk di depan pintu kamar pun sontak berdiri. Ia bergegas membuka pintu membuat Noran yang telah berdiri di depannya terkejut bukan main. Sudah hampir satu jam berlalu, tapi Nazila masih mengenakan pakaian yang dikenakannya tadi. Matanya terlihat begitu sebab, bengkak, dan merah. Bahkan sisa-sisa air mata yang mengering di pipi Nazila terlihat jelas. Hati Noran pilu saat melihatnya. Apakah gadis itu begitu menderita hidup dengannya? Itulah pertanyaan yang ada di benaknya.
"Kau pasti belum makan malam kan? Aku sudah memesankan makanan. Lekaslah membersihkan diri dan berganti pakaian. Ku tunggu di ruang makan." titah Noran membuat Nazila mengerjapkan matanya. Kemudian ia mengangguk lalu menutup pintu dan melakukan perintah Noran.
Tak sampai 20 menit, Nazila telah keluar dari dalam kamar dengan mengenakan baju tidur lengan pendek dan celana pendek berwarna hijau daun. Wajah Nazila terlihat lebih segar walaupun masih terlihat sembab. Ia juga terlihat seksi. Noran sampai memalingkan wajahnya, khawatir dengan otaknya yang tiba-tiba saja bertraveling ria ke negeri antah berantah.
Setibanya di meja makan, Nazila cukup terkejut, ternyata baik makanan maupun nasi telah terhidang dengan rapi di atas meja. Nazila pun segera duduk berseberangan dengan Noran yang tampak fokus dengan nasi dan lauk-pauk di atas piringnya. Nazila pun segera mengambil nasi dan lauk-pauk lalu makan seperti Noran. Mereka makan dalam diam. Tak ada kata. Tak ada cerita. Tidak seperti pasangan pengantin lainnya. Mereka bagaikan orang asing yang dipaksa duduk bersama di satu meja.
Nazila sadar, ini terjadi karena ia bukanlah pengantin yang diinginkan. Seharusnya Sarah lah yang berada di sini, bukan dia. Tapi mau bagaimana lagi, takdir lah yang membuatnya kini duduk di sini. Menyalahkan takdir? Tidak mungkin. Walaupun ia bukanlah wanita sholehah, tapi ia tau, menyalahkan takdir itu dosa besar. Ia hanya bisa menerima dengan ikhlas. Kemana hubungan ini akan berlabuh, Nazila tak pernah tahu. Ia hanya menjalani. Semampu ia bertahan, maka ia akan bertahan. Tapi bila suatu hari ia harus melepaskan, maka apalah daya, berarti itulah akhirnya. Bukankah rejeki, maut, dan, jodoh sudah ada yang mengatur. Manusia hanya bisa berusaha dan Allah lah yang menentukan akhirnya.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
g menye-menyeee
⬜🟥⬜⬜⬜🟥⬜
🟥🟥🟥⬜🟥🟥🟥
🟥🟥🟥🟥🟥🟥🟥
⬜🟥🟥🟥🟥🟥⬜
⬜⬜🟥🟥🟥⬜⬜
⬜⬜⬜🟥⬜⬜⬜