Sequel Belenggu Cinta Pria Bayaran.
Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Simulasi (Moto-GP)
Cahaya matahari menelisik jendela kamar Zia, wanita itu mengerjap pelan sembari berusaha terbangun dari tidurnya. Belum terlalu siang, masih menunjukkan pukul 07 pagi, artinya dia tidak terlalu telat hari ini.
Seperti biasa, Mikhail tak lagi berada di sampingnya. Sejak lama dia ingin sekali bangun lebih dulu dari Mikhail, nyatanya pria itu memang selalu bangun lebih awal meski tidurnya hanya beberapa jam saja.
Valenzia menurunkan kakinya pelan-pelan, nyawanya belum terkumpul sempurna akan tetapi dia harus mandi lebih cepat. Merasa dia memang sendirian, Zia menyingkirkan selimut yang membalut tubuhnya.
Hingga dia baru sadar kala seorang pria muncul dengan handuk melilit di pinggulnya dari arah kamar mandi. Sontak Zia menarik kembali selimut itu, munculnya Mikhail membuat batin Zia terguncang seketika.
"Aaaaaaaa!!! Kenapa masih di sini?!!"
"Kamu kenapa?"
Dia bertanya dengan wajah tanpa rasa bersalah, mengeringkan rambut dengan handuk kecil dan meraih paper bag di atas meja belajar Zia. Pria itu meminta bantuan Bryan membawakan pakaiannya lantaran malas pulang.
"Bapak nggak pulang?" tanya Zia berusaha mengatur napasnya, meski Mikhail sudah melihat semuanya tetap saja dia merasa malu luar biasa.
"Hm, sengaja ... tidak masalah kan?"
Pria itu menoleh sekilas, mungkin Zia terkejut pagi ini. Akan tetapi memang dia memilih untuk pergi dari tempat tinggal Zia sebelum ke kantornya hari ini.
"Enggak sih," jawabnya singkat.
Dari jarak beberapa meter, tatapan Zia tertuju pada tubuh Mikhail. Bekas cakaran di pundak dan lengan sampingnya terlihat begitu nyata, itu ulahnya dan demi apapun dia malu sendiri saat ini.
"Besok aku tidur sama kamu lagi boleh?"
Pertanyaan macam apa itu, andai saja Kanaya mengetahui ulah putranya ini jelas saja yang dia terima bukan tamparan, melainkan coret dari kartu keluarga sekalian.
"Bercanda, Zia."
Dia memang bercanda, tapi wajah Zia tiba-tiba berubah. Hal itulah yang membuatnya gemas, padahal Zia selalu menerima apa yang dia lakukan, akan tetapi jika di saat begini Zia terlihat galak sekali.
"Mandi sana, Aku tunggu."
"Tolong ambilin handuknya," pinta Zia kemudian, dia benar-benar asal bicara dan tidak sadar jika handuk yang dia maksud sedang melilit di pinggung Mikhail.
"Sebentar aku pakai celana dulu, Zia."
"Nggak-nggak!! Aku pakek yang lain saja, nggak mau."
Baru saja hendak dia lepaskan setelah selesai mengenakan celana pendeknya, Mikhail menatap bingung pada Zia yang kini justru menolak mentah-mentah.
"Kenapa? Kamu nggak mau satu handuk denganku?" Dia mudah sekali ambil hati, hanya dengan ucapan Zia yang begitu, Mikhail berpikir jika wanita itu tidak menyukainya.
"Bukannya gitu, tapi ...." Sebenarnya memang sedikit geli, meski sebenarnya mereka sudah lebih dari itu. Akan tetapi, tetap saja Zia belum bisa.
"Tapi apa? Kamu pikir aku kudisan, Zia."
"Yang bilang Bapak kudisan siapa?"
Dengan berbalut selimut tebal dia berlalu ke kamar mandi, meninggalkan Mikhail yang menatapnya seraya menghela napas kasar.
"Dasar bocah, kenapa dia berbeda di siang hari?"
-
.
.
.
"Kamu sudah siap kan?"
"Iya udah," jawabnya mengelap sudut bibir dengan selembar tisu pelan-pelan.
"Kita pergi sama-sama ya? Kalau takut ketahuan teman-temanmu turun di Xaverius saja."
Mikhail paham apa yang Zia takutkan jika pergi bersamanya, dan memang tempat dia biasa menjemput Zia ialah di salah satu sekolah swasta di pusat kota.
"Iya ... eh nggak bisa!!"
"Hah? Kenapa?" tanya Mikhail megerutkan dahi, dia paling tidak menyukai ketika dia menginginkan sesuatu dan berakhir tidak jadi seperti ini.
"Zidan mau jemput hari ini, maaf ya, Pak."
Mikhail berdecak kesal, dia menatap datar Zia yang kini menampilkan gigi-gigi rapihnya pada Mikhail. Terlihat sangat tidak berdosa dan baik-baik saja, padahal suasana hati Mikhail hari ini mau meledak rasanya.
"Tidak bisa batal saja? Nanti kamu lama nunggu, telat di kantor nanti aku pecat, Zia." Dia mengancam, cerita dari mana anak magang dipecat, pikir Zia.
Baru saja hendak menjawab, suara motor Zidan sudah terdengar. Zia hanya menampilkan senyum manisnya pada Mikhail kali ini, tidak bisa dirayu lagi. Karena memang secara terang-terangan Mikhail tak berhak atas diri Zia sama sekali.
"Dah ... kunci pintu jangan lupa, kalau Bapak nggak mau repot buat kasih kuncinya sama saya, taro aja di sepatu pink ya."
Zia buru-buru pergi, meninggalkan Mikhail yang kini tampak kecewa lantaran wanitanya memilih pergi dengan pria lain.
"Zia, kamu tega?"
"Tega apanya, Pak? Lagian Bapak juga mau pergi, biasa kan pergi sendiri."
Baiklah, kali ini Zidan yang menang. Pria itu mengintip dari balik jendela dan mengeraskan rahang melihat senyum Zidan kala Zia menghampirinya.
"Ck, Zidan kau ... jangan pernah sentuh pipinya!!" Mikhail geram luar biasa kala Zidan tampak menyingkirkan sesuatu di pipi Zia.
Hal-hal kecil yang Zidan lakukan memang terlihat amat manis. Memasangkan helm untuk wanitanya dan melaju pelan kala Zia sudah mengangguk pasti. Ya, jika dilihat keduanya memang sangat cocok sebagai pasangan muda.
"Jangan peluk, Zia," tuturnya mengikuti kemana arah motor Zidan melaju, baru kali ini dia merasa amat kecil dan tak berarti sama sekali.
Setelah Zidan tak lagi terlihat, barulah dia keluar dan mengeluarkan jurusnya yang mampu bergerak cepat dan sigap dalam segala hal. Mikhail tidak menuruti kata Zia, dia memasukkan kunci itu ke saku celananya.
Dengan langkah panjang dia menghampiri mobilnya, pria itu mulai melaju dengan kecepatan tinggi karena ingin membuntuti Zia dan Zidan dari dekat. Seharusnya mereka belum terlalu jauh, dan tidak mungkin Mikhail kehilangan jejak, pikirnya.
Tak butuh waktu lama bagi Mikhail untuk bisa mengejar Zidan. Selain karena Zidan memang pelan, jelas saja pengaruhnya karena Mikhail memang melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi.
"Andai kau tidak bersamanya, sudah aku tabrak sekarang kau, Zidan"
Pikiran jahat mulai menguasainya, apalagi saat dia menyadari jika mereka sengaja pelan karena ingin berbincang. Mikhail tidak bodoh dan hal-hal demikian bisa dia simpulkan setelah pengamatan.
Sementara di sisi lain, Zidan mulai merasa ada yang aneh sejak mobil itu berada di belakangnya.
"By pegangan, cepet!" titah Zidan berusaha meraih jemari Zia, firasatnya sangat tak nyaman padahal ini masih pagi.
"Kenapa?" tanya Zia kemudian akan tetapi dia mengikuti perintah Zidan, suara Zidan yang berubah membuatnya panik.
"Mobil di belakang ngikutin, perasaanku nggak enak."
Zia menoleh dan matanya membulat sempurna kala sadar sedekat apa jarak mereka. Terlalu fokus mendengarkan cerita Zidan sampai dia tidak sadar Mikhail mengikutinya.
"Gas, By!! Udah lama nggak kebut-kebutan!!"
Pagi-pagi, harusnya mereka menikmati perjalanan dengan santai nyatanya kini justru balap dadakan. Semakin cepat Zidan, semakin cepat juga mobil di belakangnya.
"Sialaan!! Mau apa dia?!!" umpat Zidan menatap spion dan mobil itu masih mengejarnya.
"By hati-hati, aku takut kalau secepat ini!" teriak Zia merasa Zidan mulai menggila, tubuhnya yang kurus mungkin melayang jika Zidan tak mengurangi kecepatannya.
"Pegangan!"
"Baiklah, kau belum tau siapa aku rupanya?" Zidan mengeraskan rahang dan kembali menambah kecepatannya, pelukan Zia kian erat dan dia tak peduli tatapan orang sekelilingnya.
Tbc