Jatuh cinta pada pria yang tak dikenal, itulah yang dirasakan Khanza.
Hanya dengan melihatnya dari kejauhan.
Setelah lima tahun tak pernah melihat sosok Cinta pertamanya, mereka kembali di pertemukan.
Khanza tak menyangka jika mereka akan dipertemukan kembali sebagai atasannya.
"Maukah kau menikah denganku," kalimat yang keluar dari mulut pria yang menjadi cinta pertamanya itu seolah membuat Khanza melayang.
Apakah mereka akan bahagia bahagia? Tentu saja, apalagi mengetahui ada janin yang sedang berkembang di rahimnya, bulan kedua pernikahannya.
Bermaksud ingin memberi kejutan, justru dialah yang mendapat kejutan dari suaminya.
"Kau boleh meminta apa saja, tapi jangan memintaku meninggalkannya. Aku mencintai dirimu dan dirinya."
'HANCUR' saat suaminya mengatakan jika ia telah menikah sebelum menikahinya.
Istri Keduanya, itulah kedudukannya.
Mampukah Khanza berbagi cinta dengan wanita lain ...?
Akankah ia menerima atau justru harus pergi dari cinta pertamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon m anha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kampung halamanku.
Sebelum pergi, Abizar terlebih dahulu berpamitan kepada Farah.
Di dalam kamar.
"Apa kamu yakin tak mau ikut dengan kami," ajak Abizar untuk yang kesekian kalinya.
"Nggak usah, Mas. Anggap saja ini adalah bulan madu untuk kalian berdua, jagalah Khanza disana, buatlah dia bahagia tak usah memikirkan ku disini, aku baik-baik saja, Mas."
"Aku masih berharap jika kau mau ikut bersama kami," ucap Abizar, ia merasa tak enak meninggalkan Farah.
"Nggak, Mas. Anggap saja kalian pergi liburan, nikmati perjalanan kalian, aku benar-benar tak masalah dengan itu," ucap Farah meyakinkan Abizar jika ia baik-baik saja..
" Terima kasih ya, sudah mengerti, Khanza."
"Mas, apa Mas pernah berpikir jika Khanza ingin kembali ke kampung bukan karena merindukan kakek dan neneknya, melainkan ingin pergi dari rumah ini," ucap Farah.
"Apa maksudmu?"
"Entahlah, Mas. Aku merasa Khanza menjadikan itu semua sebagai alasan untuk pergi dari kita," kata Farah.
"Itu tidak mungkin, Khanza tidak mungkin ingin pergi dari kita, aku akan pastikan dia baik-baik saja dan kami akan segera kembali."
"Ingat ya, Mas. Apapun yang terjadi disana, cobalah untuk mengendalikan emosi. Jangan sampai emosi mas itu kembali membuat situasi menjadi semakin kacau."
"Tentu saja, aku takkan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Aku tak bisa membayangkan jika waktu itu Khanza mengalami keguguran, mungkin aku takkan memaafkan diriku seumur hidup," ucap Abizar kembali melihat tangannya yang pernah dipakai untuk menampar Khanza. Sampai sekarang saat ia mengingat tamparan itu, yang hatinya kembali Sakit, ia benar-benar menyesal telah melakukan itu pada istri keduanya.
***
"Kami berangkat dulu ya," pamit Khanza kepada Warda, Ibu mertuanya.
"Jaga kesehatan kamu disana, ya. Jangan terlalu kecapean, ingat ada bayi kamu di dalam sini," ucap Warda mengusap lembut perut Khanza.
"Ia, Mah. Aku mengerti, aku akan selalu menjaga bayi ini," ucap Khanza kembali memeluk Ibu mertuanya itu.
Selama mengandung, Khansa benar-benar merasakan kasih sayang seorang ibu dari mertuanya, Warda benar-benar memanjakan Khanza layaknya anak sendiri. Apapun yang dia inginkan pasti diturutinya, dan yang paling membuat saya bahagia yaitu bentuk perhatian dari Warda dalam hal-hal kecil, yang mungkin dianggap sepele.
Menanyakan apa ia sudah makan atau belum, mengingatkan untuk meminum obat nya, membuat kan Susu dan masih banyak lagi. Hal yang selama ini dirindukan Khanza saat masih memiliki seorang ibu.
"Semoga ia akan terus menyayangi ku walau bayi ini lahir kelak," batin Khanza menatap ibu mertua nya.
Mereka pun berangkat, meninggalkan gerbang dan semakin menjauh.
Disaat yang lainnya merasa sedih lihat Khanza pergi meninggalkan rumah, berbeda dengan Santi yang tersenyum sinis penuh kemenangan, "Pergilah dan jangan kembali lagi," batin Santi.
Khanza terus tersenyum sepanjang perjalanan sambil mengelus perutnya. Ia merasa lega keluar dari rumah itu, rumah yang begitu megah. Namun, entah mengapa ia merasa begitu terkucilkan di sana. Bagaikan terkurung dan tak bisa berbuat apa-apa.
Abizar menggenggam tangan Khanza, mengecup punggung tangannya, "Apa kau senang?" tanyanya.
"Iya, Kak. Aku sangat senang," kata Khanza dengan senyum yang sudah lama tak dilihat oleh Abizar.
"Apa sesenang itu kamu keluar dari rumahku, benarkah apa yang dikatakan Farah, jika kau merasa tersiksa dengan pernikahan ini," batin Abizar.
Pesawat mereka mendarat, kakek dan Paman Khanza sudah menunggu mereka.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Abizar mengkhawatirkan Khanza, pertanyaan itu terus terucap dari mulutnya sekitar 10-15 menit sekali.
"Iya, Kak. Aku baik-baik saja, bayi kita juga baik-baik saja," jawab Khanza penuh penekanan. Ia senang saat Abizar memperhatikannya, tapi jika seperti ini ia juga merasa kesal dibuatnya.
Mereka turun dari pesawat dengan Abizar terus menjaga agar semua baik-baik saja.
"Ya ampun Kakak, Aku serasa sudah lama banget ninggalin kampung ini," kata Khanza menatap kampungnya sejauh mata memandang sambil terus berjalan, kehangatan dan kebahagiaan terus terpancar di wajahnya.
"Sepertinya itu kakek," tunjuk Abizar pada mereka yang sudah melambaikan tangan kepadanya.
"Iya, itu kakek dan pamanku," jawab Khanza balas melambaikan tangannya.
Sesampainya di rumah, Khanza langsung disambut oleh nenek dan beberapa warga yang tahu jika mereka akan datang. Semua sudah berkumpul di rumah kakek dan nenek Khanza. Bahkan paman dan bibi Khanza yang dari kota juga berdatangan.
Saat menikah mereka semua tak datang, hanya kakek dan neneknya yang datang. Selain tempatnya cukup jauh, saat itu bertepatan dengan kematian salah satu keluarga dekat mereka.
Rumah yang sangat sederhana, sangat jauh dari kata mewah itu sudah dipenuhi orang-orang yang penasaran seperti apa suami dari Khanza. Selama ini mereka hanya melihat ketampanan Abizar melalui foto yang dibawa kakek dan neneknya. Juga saat Khanza memposting foto kebersamaannya dengan Abizar di 2 bulan awal pernikahan mereka.
Begitu mereka sampai dan Abizar turun dari mobil, semua sangat kagum melihatnya. Tubuh tinggi tegap, kulit bersih dan wajah yang sangat tampan milik suami dari Khanza, berhasil memukau mereka semua, khususnya para gadis dari keluarga maupun para tetangga.
Abizar yang sudah terbiasa mendapat tatapan seperti itu hanya tersenyum kepada mereka semua.
Abizar sedikit ragu saat melangkah masuk.
Rumah semi permanen yang hanya berdinding papan dan berlantai semen kasar, tak ada keramik atau semacamnya.
Saat masuk ke dalam, Abizar membuka sepatu.
Sebelum masuk ia melihat mereka semua membuka alas kaki di depan pintu masuk, membuat ia juga melakukan hal yang sama.
Abizar merasa tak nyaman saat menginjakkan kakinya di lantai kasar rumah kakek, Abizar yang sudah terbiasa memakai alas kaki bahkan saat di dalam rumah nya merasa sedikit tidak nyaman. Namun, tetap ditahannya.
Nenek mengerti apa yang dirasakan oleh cucu menantunya itu, saat melihat caranya berjalan masuk, ia pun memberikan sandal jepit kepada Abizar agar di pakainya di dalam rumah.
"Maaf ya, Nak. Rumah nenek seperti ini, sangat sederhana," ucap nenek yang melihat Abizar memperhatikan sekeliling nya.
"Nggak apa-apa, Nak. Ini sudah lebih dari cukup. Apa neneknya tinggal berdua dengan kakek di sini?" tanya Abizar memastikan.
Rumah ini sangat kecil jika ada lagi yang tinggal selain kakek dan nenek Khanza, ditambah mereka.
"Hanya kami berdua," jawab nenek.
Abizar, kakek dan yang lainnya berbincang di ruang tamu, walau sederhana ruang tamu nenek cukup nyaman untuk mereka semua.
Mungkin itu sangat sederhana untuk seorang Abizar, tapi rumah nenek terhitung layak dari pada beberapa rumah lainnya yang ada di daerah itu.
Saat Abizar sedang berbincang-bincang dengan yang lainnya di ruang tamu, Khanza sudah ada di kamarnya yang dulu. menyusun semua koper yang dibawanya dibantu oleh beberapa tante dan kakak sepupu Khanza.
Mereka semua heboh mengagumi ketampanan dari suaminya dan iri padanya. Mendapatkan suami tampan, kaya, dan mencintainya. Itu sebuah anugerah menurut mereka.
"Kak Abi menang sangat tampan dan mencintaiku, andai kalian tau statusku sebagai istri kedua akankah kalian masih iri padaku, apabila kalian tau apa yang telah dilakukannya padaku akankah kalian masih mengaguminya," batin Khanza tersenyum menutupi masalahnya.
Khanza membongkar 1 koper yang berisi oleh-oleh untuk mereka semua, ia sendiri tak tau apa isinya. Semua itu disiapkan oleh Farah.
Khanza tercengang melihat apa isi koper tersebut, ia tidak menyangka jika Farah mengisinya dengan itu semua.
💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖
Terima kasih sudah membaca 🙏
Mohon dukungannya ya, dengan memberi like, vote, dan komennya 🙏.
Salam dariku Author m anha ❤️
Love you all 💕💕💕
💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖
agak gemesh sma visual karakternya. realitanya gk ada yg 100 mw d madu wlau mlut brkata iya n brkata akn adil