Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?
Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.
vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Kamar
Balqis terdiam. Penglihatannya juga lurus ke depan menatap hamparan sawah. Entah kenapa suara Balqis yang tadinya ingin bercerita terasa tercekat seakan dia tidak boleh berbicara tentang kehidupannya dengan orang asing.
Akan tetapi tanpa Balqis sadari, pandangan dia yang sayu menatap hamparan sawah itu malah membuat perhatian santri lain dan Maryam menatap Balqis yang sedang melamun. Mungkin dia terbawa suasana karena angin yang menerpa menyejukkan.
"Kamu rindu keluarga kamu?" tanya Widi.
"Hm... Of course." jawab Balqis. "Hah... Udahlah nggak usah dibahas lagi. Karena sekarang duit gue banyak. Gue bisa beli apa pun yang gue pengenin tanpa takut kekurangan. Hahaha..." kelakar Balqis sambil tertawa mengalihkan pembicaraan yang sensitif menurutnya.
Widi pun mengangguk. Dia pun beralih melihat yang lain. Padahal mereka penasaran dengan kehidupan Balqis, namun ujung-ujungnya mereka kesal karena Balqis menyombongkan diri sendiri lagi.
Setelah mengaji selesai. Balqis seperti biasanya yang melengos lebih dulu. Dia berlari ke tengah-tengah lingkungan pesantren sambil menatap mesjid tempat Melodi mengaji.
Helaan nafas terdengar. Dia kesal karena Melodi belum keluar seperti dirinya dan masih memerlukan beberapa waktu untuk bubar.
"Ciee, yang sendirian!" Mata elang Balqis melirik. Dia memicing menatap Indah dengan tiga temannya. Tanpa memberikan perkataan pedas yang selalu dia utarakan dia hanya memperhatikan Indah yang berlalu ke warung. Perasaannya masih kesal karena harus sendirian.
Detik kemudian, kesalnya hilang tergantikan dengan mata berbinar. Dia sangat senang saat melihat Alditra dengan kursi rodanya melaju dengan tenang.
"Om Gus!" teriaknya dengan kencang.
Bagaikan anak kecil, Balqis berlari menghampirinya sambil cengengesan.
"Ck... Ya ampun, dia lagi." Padahal Alditra tidak ingin diganggu, tapi Balqis selalu datang menghampiri.
"Hi Om, selamat sore!"
Alditra hanya mengangguk membalas ucapan Balqis masih. Dia juga tidak meliriknya sama sekali.
"Om gue punya permen loh. Om mau?" Balqis mengeluarkan permennya. Kemudian memberikannya pada Alditra tiga biji. "Ini, manis banget!"
Mau tidak mau, Alditra mengambil permen itu untuk mempersingkat waktu bertemu dengan Balqis.
"Cepet... Cobain permennya?"
Mata Alditra memutar malas. Bukannya dia bisa cepat-cepat pergi, Balqis malah menyuruhnya memakan permen itu. Dia yang tidak ingin Balqis menyuruhnya dua kali langsung memakannya.
"Enakkan?"
Alditra tidak menjawab. Dia malah memutar roda kursinya menghindarinya.
"Ets, tunggu iihh!" ucap Balqis sambil manghentikan kursi roda Alditra. Kursi roda Alditra pun berhenti seperti biasa yang dilakukan Balqis. Dia mendengus kesal karena merasa terganggu.
"Om Gus, tunggu di sini bentar ya. Gue nggak ada temen,"
Ingin sekali Alditra membalas perkataannya karena tidak ada urusan dengannya. Namun tenggorokannya seakan-akan tercekik tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali.
"Eh... Ada Balqis,"
Balqis dan Alditra menoleh. Mereka melihat Gus Zaigham yang baru pulang dari rumah sakit karena dilihat dari pakainya.
"Balqis, apa kamu menyukai kue?" tanya Zaigham. Balqis pun langsung mengangguk dengan semangat kearahnya sambil menampilkan gigi putihnya.
"Banget!,"
Gus Zaigham pun hanya tersenyum melihat tingkah Balqis lalu menyodorkan plastik berwarna putih, terlihat dari isinya kotak berwarna kuning. " Untuk kamu. Beri juga Melodi,"
Balqis mengangguk sambil mengambil. "Ok! Aku bakalan bagi sama Melodi."
Setelah memberikan kue, Gus Zaigham masuk ke dalam rumah. Dia terlihat kelelahan karena seharian harus bekerja.
"Look at that, Gus Zaigham emang yang terbaik. udah ganteng, sholeh, murah senyum... Diihh kriteria suami idaman banget deh.... Udah punya pacar blum sih Gus Zaigham? Boleh deh gue daftar jadi calon bininya! Eh.. Nggak jadi deng tar bisa-bisa ditampol Melodi, ngerebut incerannya dia!"
Alditra hanya memijit keningnya. Perkataan Balqis terdengar menggelikan di telinganya. Bahkan membuat perutnya terasa diobrak-abrik.
"Om Gus, tenang aja ya! Om Gus juga baik kok."
Alditra menoleh. Perkataan Balqis barusan membuatnya tertarik melirik wajahnya.
Degh!
"Astaghfirullah!"
Alditra mengusap wajahnya. Senyuman Balqis barusan tidak terlihat manis, melainkan malah menakutkan.
"Om Gus mau nggak? kalo mau Gue bagi deh, sebelum dibagi dua sama Melodi,"
Alis Alditra mengeryit.
"Eh, tunggu! Sejak kapan gue baik sama orang? Biasanya kan gue bakalan makan sendiri tanpa harus berbagi. Diiihh"
Mata Balqis memicing. Dia pun berkacak pinggang. Sifat pelitnya kembali berkoar di dalam dirinya.
"Gue nggak bakalan berbagi. Ini punya gye, harusnya gue makan ini sendirian. kalo Om Gus mau, minta aja sama abangnya."
Tap!
Balqis melengos pergi sambil membawa sekotak kue. Tentunya hal itu membuat Alditra menggelengkan kepalanya.
"Ada apa dengan perempuan itu? Kadang sifatnya baik, kadang jelek. Dia masih perlu banyak waktu untuk belajar."
*****
Suara riuh para santri masih terdengar malam ini. Mereka masih berada di mesjid mengaji bersama Zaigham.
Tinggal beberapa menit lagi mengaji akan berakhir, namun untuk para santriwati mereka rela beberapa jam lagi. Karena bisa melihat Zaigham di depan bukanlah hal yang membosankan.
Tidak membosankan bagaimana, sejak tadi Balqis terus menggoda Melodi yang malu-malu kucing. Bahkan temannya itu setia menunduk, padahal Zaigham lebih fokus melihat santriwan.
"Mel, lihat deh Gus Zaigham bening banget deh malam ini," Balqis cekikikan. Dia belum puas melihat wajah Melodi merah seperti kepiting rebus. "Hahahaha. Mel.. Mel.., lo tuh semakin malu makin lucu! Tau nggak?!"
"Suttt!"
Tawa Balqis yang kebablasan keras seketika terhenti. Wajahnya berubah masam saat semua santriwati menginstruksikannya agar diam.
"Cihh. Emang nggak bisa liat orang seneng deh! Nyebelin banget"
Balqis melipat tangannya di dada. Matanya kembali lurus ke depan memperhatikan Zaigham.
Dia emang ganteng sih, tapi nggak cocok sama gue yang terlalu bar-bar. Emang udah bener cocoknya sama Melodi.
"Qis, bukannya kamu ingin tahu tentang kamar ujung?" bisik Melodi.
"Oia, bener. Tentang kamar itu? Emang ada apa sih di sana?" sahut Balqis.
"Kamar itu memang terlihat nyaman. Tapi ketika malam sangat sunyi dan terkesan horor," balas Melodi. "Beberapa tahun yang lalu, kamar itu seperti kamar yang lainnya dihuni. Tapi setelah salah satu santri meninggal kamar itu ditinggalkan dan berubah menjadi kamar hukuman,"
"Hah? Emang meninggal gara-gara apa?" tanya Balqis.
"Tidak dikatakan meninggal karena apa? Tapi banyak yang bilang mereka sering melihat seorang perempuan berdiri di kaca kamar itu," jawab Melodi.
"An**t! Ga**k!?" pekik Balqis kaget.
"Suttt!"
Balqis memutar matanya malas. Lagi-lagi semua santriwati menginstruksikan agar diam. Padahal dia sedang terkejut mendengar cerita Melodi. "Yang bener lo Mel? Trus trus, gimana Mel?"
"Iya... Jadi kamar itu memang memiliki lampu, tapi katanya ketika jam 12 malam lampu itu akan mati dengan sendirinya," jawab Melodi. " Setelah itu tidak tahu ada apa? Karena setiap orang yang dihukum hanya menceritakannya sampai situ,"
Balqis mendengus kesal. Padahal cerita Melodi terdengar seru, tapi akhirnya menggantung seperti memberikan tanda tanya besar.
"Aku sangat bersyukur kamu tidak dihukum di sana. Bila jadi dihukum aku takut kamu kenapa-kenapa," ujar Melodi.
"Ciihh... Lagian gue bukan orang yang penakut. Gue itu udah bersahabat sama hantu dari dulu" sahut Balqis.
"Benarkah?" tanya Melodi.
"Iya. Tapi dalam mimpi. Hahahah." jawab Balqis.
Melodi terdiam kesal. Dia kira Balqis indigo karena bersahabat dengan hantu, ternyata lagi-lagi hanya dalam mimpi.
Setelah mengaji malam selesai. Balqis dan Melodi kembali ke kobong bersama yang lain. Setiap langkah yang dilakukan terasa berbeda malam ini, angin berhembus menusuk tulang.
"Hoam!"
"Qis, ayo cepat jalannya!"
Balqis yang beberapa kali menguap berusaha menyusul Melodi. Dia juga keheranan dengan orang-orang yang berlarian ingin cepat sampai ke kamar.
"Diih... Mereka kenapa sih? Gaje banget!"
Sesampainya di kobong. Balqis yang tiba-tiba merasa penasaran penatap kamar ujung yang letaknya beberapa meter dari kamarnya. Dia terus saja memperhatikan Arsyila yang berjalan tergugu seperti ketakutan. Padahal menurutnya kamar itu terlihat biasa saja.
Grettt!
Mata Balqis belum bisa berpaling, dia tetap memperhatikan Arsyila membuka pintu. Kemudian masuk ke dalam dan tidak terlihat lagi.
"Balqis, ayo?"
Balqis mengangguk. Kemudian masuk ke kamarnya. Sebelum merebahkan dirinya dia mengganti baju terlebih dahulu.
"Aku kasian sama Arsyila. Apa dia akan bertahan malam ini tidur di sana?" ucap Raras.
"Kalau jadi aku meningan menerima hukuman lain ketimbang tidur di sana," sahut Amel.
Balqis yang sudah selesai mengganti baju pun merebahkan dirinya. Telinganya masih mendengar obrolan yang lain secara berisik-bisik.
Ck... Kalo menurut gue sih kamar itu biasa aja. Malahan nggak ada energi makhluk halus.
"Qis, apa kamu mau makan?" tawar Melodi sambil membawa piring.
"Nggak, Mel. Gue mau tidur aja." tolak Balqis yang tidak memejamkan matanya sama sekali.
Dia sangat sibuk mendengarkan cerita keempat temannya, lalu sibuk memperhatikan Melodi yang makan sendirian.
Cih.. Kalo menurut gue sih cerita itu cuma hoax aja. Pasti nggak bakalan ada hal apa pun di sana.
"Aaaa... tolong!"
Balqis berserta yang lain terperanjat kaget. Bahkan mereka berhamburan keluar untuk melihat ada apa?
Bukan hanya Balqis yang keluar kamar, semua orang ikut keluar. Bahkan mereka segera berlarian ke kamar ujung untuk mengecek keadaan Arsyila.
Balqis tidak seperti yang lain, dia memilih berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan orang-orang.
"Apa jangan-jangan sesuatu terjadi pada Arsyila?"
"Aku jadi takut."
Balqis melirik ke belakang. Dia melihat Siti dan Amel tidak bergerak sama sekali dari tempatnya. Mereka berdua memilih diam di dalam ketimbang ikut melihat seperti Melodi, Raras dan Siska.
"Arsyila, buka pintunya!"
Balqis kembali menoleh kekerumunan. Dia yang penasaran ikut melihat. Dia juga menerobos orang-orang yang semakin banyak.
"Dobrak saja, Teh!"
"Arsyila, buka pintunya!"
Balqis kembali menoleh kekerumunan. Dia yang penasaran ikut melihat. Dia juga menerobos orang-orang yang semakin banyak.
"Dobrak saja, Teh!"
Bugh!
Bugh!
Kening Balqis mengerut karena dobrakan Badriah sama sekali tidak membuat pintu bergerak.
Ck... Percuma badan besar tapi otot kecil.
"Balqis, apa yang kamu pakai?"
Balqis menoleh. Dia melihat hampir semua orang memperhatikan penampilannya yang memakai piyama tidur pendek.
"Loh, emangnya kenapa? Mau bilang ya... kalo kulit gue mulus? Bersih? Putih? Makanya rajin luluran,"
"Astaghfirullah!"
Semua orang memalingkan wajahnya. Lagi-lagi sifat sombong Balqis keluar. Padahal bukan kulit yang menjadi permasalahannya, melainkan ketika dia tidur takut nyamuk mengigitnya.
"Balqis, apa kamu nyaman ketika tidur memakai baju seperti itu"
"Kenapa sih emangnya? lo juga mau mencobanya?"
Balqis mendengus kesal. Di saat keadaan panik mengkhawatirkan Arsyila, mereka malah sibuk memperhatikan bajunya.
Bugh!
Bugh!
Pintu yang sejak tadi didobrak tidak bergerak sama sekali. Mereka semakin dibuat cemas apalagi keadaan di dalam sangat gelap.
"Ck... Minggir, biar gue yang dobrak!"
Balqis menggeser Badriah dari dekat pintu. Dia merasa sebal karena badan mereka yang besar ternyata tidak bisa mendobrak pintu sama sekali.
"Balqis, apa kamu yakin akan mendobrak dengan pakaian seperti itu?"
Balqis memutar matanya malas. Mereka malah sibuk dengan style bajunya.
"Ck... Urusan baju belakangan aja. Kalo kalian nggak suka sama baju gue kalian bisa menyumbang baju kalian buat gue!" sarkas Balqis kesal perkara bau saja dibesar-besarkan.
"Sudah, jangan bahas baju! Cepat saja dobrak pintunya."
Brugh!
Dengan sekali tendangan, pintu melayang jatuh ke bawah. Engselnya langsung rusak karena tendangan cukup keras.
"Done!"
Naila dan beberapa yang lain masuk ke dalam. Mereka begitu terkejut melihat Arsyila terkapar pingsan.
Dengan gesit serta cepat mereka pun memindahkannya ke kamar lain. Balqis mengikuti saja. Dia ingin tahu keadaan Arsyila yang setia memejamkan matanya.
"Cih.. Dia cuma pura-pura pingsan."
Lontaran perkataan Balqis mampu membuat semua orang meliriknya. Padahal keadaan Arsyila pucat, tapi dia dengan entengnya bilang hanya pura-pura.
"Balqis, tidak boleh bicara seperti itu. Arsyila pingsan, wajahnya pucat, badannya juga dingin," ujar Melodi.
"Ya... Terserah aja kalo nggak percaya!" sahut Balqis yang kemudian berlalu keluar kamar.
Dia sangat tidak suka melihat adegan drama yang hanya akting semata. Padahal dia yakin Arsyila hanya berpura-pura, karena adegan seperti itu sering dilihatnya di televisi.
Ciihhh... Bener-bener korban sinetron.