menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16
Waktu terus berlalu, dan perlahan kami mulai terbiasa dengan rutinitas seperti sebelumnya. Kedua orang tuaku fokus pada usaha mereka, begitu pula aku yang mulai sibuk dengan kegiatan kuliahku.
Malam itu, di malam Sabtu, udara Bandung terasa sejuk dan segar. Aku dan lima sahabat terbaikku berkumpul di kafe kecil di sudut kota. Mereka adalah Maya, gadis ceria yang selalu penuh semangat; Aji, sahabat yang selalu bisa diandalkan; Rani, si cerdas yang selalu punya solusi; Bimo, si petualang sejati; dan Tiara, si penyayang yang selalu membawa ketenangan dalam kelompok kami. Dalam obrolan santai, kami merencanakan pendakian ke Gunung Lawu.
"Gimana? Kalian semua sudah siap?" tanyaku dengan mata berbinar. Perjalanan ini adalah sesuatu yang aku impikan sejak lama. Bagiku, Gunung Lawu bukan hanya sekadar puncak yang ingin kutuju, tetapi juga simbol kebebasan dan kebersamaan dengan sahabat-sahabatku.
Maya yang duduk di sebelahku langsung mengangkat tangan. “Siap banget! Aku sudah beli snack dan peralatan buat camping. Pokoknya kita bakal seru-seruan habis!”
Aji menimpali, “Yang penting kita jaga stamina. Perjalanan dari Bandung ke Gunung Lawu lumayan panjang, dan jalur pendakiannya juga menantang. Tapi tenang, aku sudah siapkan semua kebutuhan logistik.”
Rani dengan tenang membuka peta dan memperlihatkan rute pendakian yang sudah dipelajari jauh-jauh hari. “Ini jalur Cemoro Sewu, jalur yang akan kita lalui. Di sini, kita harus hati-hati di pos tiga dan empat, medannya lumayan curam.”
Bimo, yang duduk di ujung meja, tampak tersenyum lebar. “Aku sih sudah nggak sabar mau lihat sunrise di puncak Lawu. Kalian tahu, katanya pemandangannya magis banget. Plus, ada sejarah dan mitos di sekitar gunung itu. Bikin semakin penasaran, kan?”
Tiara, dengan senyum lembutnya, menambahkan, “Yang penting, kita harus tetap saling menjaga. Ini pengalaman bersama yang tidak akan terlupakan.”
Setelah pertemuan itu, kami kembali ke rumah masing-masing untuk bersiap. Begitu malam tiba, kami berkumpul di tempat yang sudah disepakati, siap berangkat dengan semangat penuh. Lampu-lampu kendaraan menerangi jalanan Bandung yang mulai sepi saat kami bergerak menuju Gunung Lawu.
Sepanjang perjalanan, canda tawa memenuhi udara, tapi di balik itu, ada rasa haru. Ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin, penuh makna persahabatan dan petualangan.
Kami sudah berkumpul di parkiran mobil ketika Bimo tiba-tiba mengangkat tangan, menghentikan langkah kami. "Eh, tunggu sebentar. Aku kepikiran sesuatu," katanya, wajahnya terlihat bersemangat seperti biasanya.
"Apa lagi, Mo?" tanya Aji sambil tertawa kecil.
Bimo merapatkan jaketnya sambil melanjutkan, "Kalian sadar nggak, kita bakal capek banget kalau nyetir sepanjang malam dari Bandung ke Lawu? Jaraknya jauh, dan kita butuh energi buat pendakian besok. Gimana kalau kita naik kereta aja? Lebih nyaman, nggak perlu mikir jalan, dan kita bisa istirahat di perjalanan."
Maya langsung setuju. “Wah, itu ide bagus! Aku nggak terlalu suka lama-lama duduk di mobil. Naik kereta pasti lebih seru, bisa ngobrol, santai, dan nggak bikin capek.”
Rani, yang selalu mempertimbangkan segala hal dengan matang, bertanya, “Kamu sudah cek jadwal kereta, Mo? Kita bisa sampai tepat waktu untuk mulai pendakian?”
Bimo mengangguk dengan percaya diri. "Sudah, dong! Ada kereta malam dari Bandung ke Solo, terus dari Solo kita bisa naik transportasi lokal langsung ke Cemoro Sewu. Jadinya, kita punya cukup waktu buat istirahat sebelum mulai mendaki. Pas banget, kan?”
Aji terlihat berpikir sejenak sebelum menyetujui. “Oke, masuk akal. Kita bakal lebih segar buat naik gunung. Aku setuju.”
Tiara yang sejak tadi diam mendengarkan akhirnya tersenyum. “Aku juga setuju. Suasana di kereta pasti bikin kita lebih rileks. Selain itu, kita bisa menikmati perjalanan tanpa terburu-buru.”
Keputusan sudah diambil. Kami segera menuju stasiun untuk membeli tiket kereta. Malam itu, diiringi oleh suara bising roda kereta yang meluncur di atas rel, aku dan yang lain duduk bersama di dalam gerbong. Pemandangan malam dari jendela kereta menemani obrolan ringan kami. Perjalanan ini terasa lebih berkesan karena dimulai dengan cara yang berbeda.
“Ini pasti bakal jadi petualangan yang seru banget,” bisikku dalam hati, melihat ke luar jendela, menatap bulan yang menggantung rendah di langit malam.
Kami tertawa, berbagi cerita, sambil menikmati perjalanan panjang menuju Gunung Lawu, dengan semangat petualangan yang semakin besar.
Malam semakin larut, dan suasana di dalam kereta mulai hening. Lampu-lampu stasiun yang dilewati tampak samar di kejauhan, sementara suara roda kereta yang bergesekan dengan rel menjadi irama yang menenangkan. Kami mulai terlihat mengantuk, tetapi Aji yang terkenal dengan selera humornya tiba-tiba mengusulkan sesuatu.
"Eh, kalian pernah dengar cerita tentang Gunung Lawu?" tanya Aji dengan nada serius, meski ekspresinya tak bisa disembunyikan dari aku yang sudah mengenalnya dengan baik.
Maya mengerutkan kening, "Cerita apa? Jangan-jangan cerita horor?"
Aji menyeringai, "Iya dong! Kalian tahu, kan? Katanya, Gunung Lawu itu salah satu gunung paling mistis di Jawa. Banyak pendaki yang mengalami kejadian aneh di sana."
Bimo yang duduk di seberang, mencoba terlihat cuek, tapi jelas ia tertarik. "Kejadian aneh gimana, Ji?"
Aji menurunkan suaranya, membuat suasana jadi semakin tegang. “Ada banyak, sih. Tapi yang paling terkenal itu soal Pasar Setan. Kalian tahu, kan? Itu pasar yang tidak terlihat oleh mata biasa. Katanya, kalau kamu mendengar suara ramai di tengah pendakian, itu sebenarnya kamu sedang berada di pasar dunia lain.”
Tiara memeluk jaketnya lebih erat, sementara Maya mulai merasa tidak nyaman. “Pasar Setan? Astaga, Ji, jangan ngawur deh! Serem, ah!”
Tapi Aji belum selesai. "Dan katanya lagi, kalau kamu mendengar suara-suara seperti orang jualan, jangan pernah menjawab atau membeli apa pun. Soalnya, kalau kamu merespons, kamu bakal tiba-tiba hilang dan tersesat di dunia mereka. Ada cerita, lho, tentang pendaki yang pernah bertemu pasar itu, dan... ya, mereka tidak pernah kembali lagi."
Rani yang biasanya rasional mulai merasakan bulu kuduknya berdiri. “Aji, kamu serius?” tanyanya, meski jelas terlihat ia mencoba bersikap tenang.
Aji mengangguk, berusaha menjaga ekspresi seriusnya. “Iya. Ada banyak saksi mata yang mengalami hal-hal ganjil di Gunung Lawu. Bahkan ada yang mengaku pernah mendengar suara gamelan di malam hari, tapi ketika dicari, tidak ada apa-apa di sekeliling mereka.”
Aku yang sejak tadi mendengarkan hanya tersenyum kecil, tahu betul bahwa Aji sedang mengarang cerita untuk menakut-nakuti yang lain. Tapi suasana kereta yang sepi dan dinginnya malam membuat cerita Aji terdengar lebih menyeramkan dari biasanya.
Maya mulai menggeser duduknya lebih dekat ke Tiara. "Udahlah, jangan ngomongin yang serem-serem. Aku tidak mau mendengar suara aneh di gunung nanti."
Bimo ikut menimpali, tapi dengan nada menantang. "Ah, cerita gituan tidak bakal bikin aku takut. Aku malah penasaran kalau ketemu Pasar Setan beneran! Siapa tahu ada barang-barang diskon."
Maya langsung mencubit lengan Bimo, membuat semua orang tertawa. "Jangan macam-macam kamu!"
Melihat semua teman-temannya mulai tertawa, Aji akhirnya menyerah dan ikut tertawa. "Ya ampun, kalian serius banget sih! Aku cuma mau bikin perjalanan ini lebih seru, biar tidak bosen."
Aku menatap Aji dengan pandangan geli. “Tapi serius, Ji, jangan kebanyakan bikin cerita horor. Nanti malah kamu yang paling takut waktu di gunung.”
Aji terkekeh, “Tenang saja. Aku siap jadi yang pertama lari kalau ada yang aneh-aneh!”
Semua kembali tertawa, menghilangkan ketegangan yang sempat menyelimuti gerbong kereta. Meski begitu, di balik canda tawa, rasa penasaran tentang cerita Aji tetap tersisa di benak kami. Gunung Lawu, dengan segala keindahannya, ternyata menyimpan misteri yang mungkin akan kami temui.