Tiga sahabat, Reza, Bima, dan Fajar, terjebak dalam sebuah misi absurd di tengah gurun pasir setelah disedot oleh portal misterius. Dengan hanya lima nyawa tersisa, mereka harus menghadapi tantangan aneh dan berbahaya untuk mencapai harta karun legendaris. Setiap kali salah satu dari mereka mati, mereka "respawn" seperti dalam permainan video, tetapi jumlah nyawa mereka berkurang, mendekatkan mereka pada nasib terjebak selamanya di gurun.
Setelah berlari dari kejaran buaya darat dan selamat dari angin puting beliung yang disebut "Angin Putri Balalinung," mereka menemukan helikopter misterius. Meskipun tidak ada yang tahu cara mengendalikannya, Bima mengambil alih dan, dengan keberanian nekat, berhasil menerbangkan mereka menjauh dari bahaya.
"Bro, lo yakin ini aman?" tanya Reza sambil gemetar, memandangi kokpit yang penuh dengan tombol.
Bima mengangguk ragu, "Kita nggak punya pilihan lain, kan?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vyann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunuh dia!!!
Setelah berhasil mengambil Batu Orion dan melintasi portal, Bima, Reza, dan Fajar melanjutkan perjalanan mereka dengan Suasana hati yang lebih ringan. Di sekeliling mereka, pepohonan tinggi menjulang, angin sejuk berhembus lembut, dan suara gemericik sungai mengalir menemani langkah mereka. Setiap embusan angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan, membuat perjalanan mereka terasa damai dan menyenangkan.
"Ini tempat tenang banget, ya. Kalau nggak ada tantangan, gue betah deh lama-lama di sini," ujar Fajar sambil tersenyum, menikmati keindahan alam di sekelilingnya.
Reza mengangguk setuju. "Bener, setelah semua yang kita lewatin, tempat ini kayak oase. Tapi pasti ada sesuatu yang nunggu kita di depan."
"Yah, selalu begitu," sahut Bima. "Tapi nggak ada salahnya menikmati momen ini sebelum hal-hal gila lainnya muncul."
Setelah berjalan cukup lama, Suasana tenang itu tiba-tiba terpecah oleh suara yang sangat familiar bagi mereka: "Ting!". Suara itu diikuti dengan munculnya kotak dari langit dan surat yang melayang perlahan ke tangan Fajar.
"Lagi?" gumam Fajar sambil membuka surat tersebut. Dia membaca pesan singkatnya, "Bunuh dia."
Ketiganya terdiam, saling bertukar pandang dengan kebingungan. "Bunuh siapa?" tanya Reza, keningnya berkerut.
Bima segera membuka kotak yang jatuh, dan di dalamnya ada sebuah pedang. Pedang itu berkilauan, seakan-akan menyimpan kekuatan besar. Tapi surat itu tidak memberi petunjuk lebih lanjut tentang siapa yang harus dibunuh.
"Sial, ini nggak jelas. Siapa yang harus kita bunuh?" Fajar berkata dengan nada bingung.
Namun, pertanyaan itu segera terjawab ketika mereka mendengar suara langkah kaki yang berat dan gemuruh dari kejauhan. Tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar, daun-daun di sekitar mereka bergoyang hebat, dan suara gemeretak ranting-ranting yang patah terdengar jelas.
Reza, yang mendengar suara itu lebih dulu, menoleh ke arah suara gemuruh. "Apa itu?" tanyanya dengan waspada.
Saat mereka mendongak, muncul sosok raksasa dari balik pepohonan. Seekor monster besar, berwujud seperti campuran antara reptil dan mamalia, dengan tubuh berotot dan kulit kasar yang terlihat keras seperti batu. Monster itu mengeluarkan raungan yang menggema, cukup untuk membuat jantung mereka berdegup kencang.
Fajar menarik napas dalam. "Kayaknya kita tahu sekarang siapa yang dimaksud dengan 'dia'."
Bima mengangkat pedang itu dengan berat hati. "Kita cuma punya satu pedang, dan monster itu terlalu besar. Ini bakal sulit."
Tanpa banyak bicara lagi, monster itu mulai menyerang, menebas pohon-pohon dengan cakarnya yang tajam, menciptakan suara ledakan dari batang-batang yang roboh. Reza, Fajar, dan Bima langsung berpencar untuk menghindari serangan pertamanya.
"Harus ada cara buat ngalahin dia!" seru Reza sambil melompat menghindari serangan cakarnya yang hampir menyapu dirinya.
Fajar yang berlari dari sisi lain mencoba mencari celah. "Kayaknya kita harus buat monster itu kelelahan dulu. Nggak mungkin kita nyerang dia secara langsung!"
Mereka pun mulai membuat taktik sederhana-mengganggu monster dengan serangan-serangan kecil, menunggu momen yang tepat untuk menyerang dengan pedang. Monster itu semakin marah, mengamuk dengan lebih ganas, namun setiap kali menyerang, ia tampak semakin lambat dan kelelahan.
Saat melihat kesempatan, Bima yang memegang pedang berlari ke arah monster yang terlihat mulai melemah. "Sekarang! Ini saatnya!"
Dengan sekuat tenaga, Bima melompat dan mengayunkan pedang ke arah leher monster. Tebasan itu mengenai tepat di sasarannya. Monster itu meraung keras untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya jatuh dengan suara gedebukan yang menggetarkan tanah.
Bima terengah-engah, menatap tubuh besar monster yang kini terbaring tak bergerak. "Selesai juga..."
Reza dan Fajar segera menghampirinya. "Anjir, itu gila banget!" seru Reza dengan nada lega. "Gue kira kita bakal abis."
Fajar menepuk pundak Bima. "Good job, bro. Tebasan lu mantap."
Sebelum mereka bisa merayakan kemenangan mereka lebih jauh, suara "Ting!" terdengar lagi, dan kali ini sebuah portal muncul di hadapan mereka, berputar dengan warna-warna yang familiar.
"Portal lagi," kata Reza. "Kayaknya kita bakal lanjut ke tempat berikutnya."
Tanpa banyak bicara, mereka bertiga memasuki portal tersebut, berharap mereka semakin dekat dengan tujuan akhir mereka. Begitu mereka melangkah keluar dari portal, pandangan mereka langsung disambut oleh bangunan megah yang berdiri kokoh di depan mata.
Sebuah kastil yang besar, dinding-dindingnya tinggi dan lebar, menjulang menakutkan di hadapan mereka. Cahaya matahari yang memantul dari batu bata kastil membuatnya terlihat megah dan sedikit mengintimidasi.
Fajar, yang pertama kali berbicara, berkata dengan nada setengah bercanda, "Jadi, siapa yang siap buat petualangan berikutnya?"
Bima tersenyum, masih merasa letih dari pertarungan sebelumnya. "Yah, kalau kita bisa ngalahin monster tadi, kastil ini nggak akan terlalu sulit, kan?"
Namun, mereka semua tahu bahwa tantangan berikutnya mungkin akan lebih sulit dari sebelumnya. Dengan semangat yang tetap tinggi, mereka melangkah menuju kastil, siap menghadapi apa pun yang menunggu di dalamnya.
Bersambung...
Mati pun gk usah khawatir ya, yg penting balik.