NovelToon NovelToon
Di Nikahi Duda Anak 1

Di Nikahi Duda Anak 1

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Pengasuh
Popularitas:7k
Nilai: 5
Nama Author: Nur Sabrina Rasmah

Kirana Larasati, gadis yang baru saja lulus SMA, harus menghadapi kenyataan pahit. Adiknya menderita sakit kanker, namun masalah ekonomi membuat adiknya terpaksa dirawat di rumah sendiri. Kirana ingin bekerja dan membantu orang tuanya. Suatu hari, tetangganya bernama Lilis menawarkannya pekerjaan sebagai pengasuh anak.
Kirana bertemu dengan Bastian Rajendra, seorang duda yang memiliki satu anak perempuan bernama Freya Launa.
Awalnya, Kirana hanya berniat bekerja untuk mendapatkan uang demi pengobatan adiknya. Namun, kedekatan Kirana dengan Freya, serta tanggung jawabnya yang besar, membuat Bastian mengambil keputusan tak terduga. Bastian menawarkan sebuah pernikahan kontrak dengan janji akan menanggung seluruh biaya pengobatan adiknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Kartu Sakti dan Satu Malam di Kamar Princess"

Mobil SUV mewah itu membelah jalanan kota menuju sebuah gedung perkantoran milik pemerintah. Di dalam mobil, suasana yang tadinya tegang mendadak cair karena celotehan Freya yang tidak berhenti bertanya kapan "pesta mama baru" akan dimulai.

"Papa, nanti pestanya ada es krimnya nggak?" tanya Freya polos.

"Ada, Sayang. Apapun yang Freya mau," jawab Bastian singkat sambil melirik Kirana yang duduk di sampingnya dengan wajah yang kembali tegang. "Kenapa? Takut tanda tangan?"

"Nggak! Siapa yang takut!" sahut Kirana cepat. "Saya cuma mikir, nanti kalau di kantor pendaftaran saya salah sebut nama Mas jadi 'Tuan Kelinci', bisa batal nggak ya nikahnya?"

Bastian mendengus. "Coba saja kalau kamu mau lihat saya benar-benar berubah jadi 'raksasa'."

Sesampainya di kantor pendaftaran, Bastian langsung disambut oleh beberapa petugas yang tampaknya sudah mengenal profil pria konglomerat itu. Mereka diarahkan ke sebuah ruangan privat yang tenang. Kirana merasa seperti sedang berada di dalam mimpi buruk yang sangat mewah. Ia melihat tumpukan dokumen yang harus diisi, foto berdampingan yang sudah disiapkan (entah kapan Bastian mengambil fotonya secara formal), dan tinta stempel yang siap mengesahkan status barunya.

"Silakan, Pak Bastian, Nona Kirana. Tanda tangan di sebelah sini," ucap petugas itu ramah.

Kirana mengambil pulpen dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia melirik ke arah Bastian. Pria itu tampak sangat tenang, seolah-olah menandatangani dokumen pernikahan sama ringannya dengan menandatangani kontrak kerja sama jutaan dollar.

Sret... sret...

Bastian menandatangani bagiannya dengan tegas. Kini giliran Kirana. Ia menarik napas dalam-dalam, membayangkan wajah Luki yang tersenyum di rumah sakit tadi. Bismillah, demi Luki.

Begitu tinta kering, petugas itu tersenyum lebar. "Selamat. Secara administrasi, pendaftaran pernikahan kalian sudah diproses. Tinggal menunggu hari pelaksanaannya minggu depan."

"Terima kasih," ucap Bastian datar namun sopan.

Begitu keluar dari ruangan, Kirana merasa kakinya seperti jelly. "Gila... beneran ini? Gue resmi jadi calon istri Mas Kelinci Otoriter?" batinnya linglung.

Bastian tiba-tiba menghentikan langkahnya di koridor yang sepi, membuat Kirana hampir menabrak punggungnya. Bastian berbalik, menatap Kirana dengan intensitas yang berbeda dari sebelumnya.

"Mulai hari ini, secara hukum namamu akan segera bersanding dengan nama saya," ucap Bastian. Ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu kredit berwarna hitam mengkilap, lalu menyodorkannya pada Kirana.

"Apa ini, Mas? Kartu sakti?" tanya Kirana polos.

"Ini kartu tambahan untukmu. Gunakan untuk kebutuhanmu, kebutuhan Freya, atau apapun. Saya tidak mau istri saya terlihat kekurangan di mata dunia," jelas Bastian.

Kirana menerima kartu itu dengan dua jari, seolah benda itu bisa menggigitnya. "Wah... beneran ini? Boleh buat beli bakso langganan saya sampai satu gerobaknya?"

Bastian tersenyum tipis—kali ini senyum asli, bukan sindiran. "Bahkan kalau kamu mau beli pabrik baksonya sekalipun. Tapi ada syaratnya."

"Apa lagi?!" Kirana mulai waspada.

"Jangan pernah menangis soal uang lagi di depan saya. Pahami posisimu sekarang, Kirana Larasati. Kamu adalah Nyonya Rajendra."

Kirana terdiam, menatap kartu hitam di tangannya lalu menatap mata Bastian. "Oke, Mas Kelinci. Tapi jangan nyesel ya kalau besok tagihannya isinya cuma daster-daster baru sama gerobak bakso!"

Bastian terkekeh pelan dan merangkul bahu Kirana, membawa gadis itu menuju mobil. "Kita lihat saja sejauh mana kamu bisa menghabiskan saldo kartu itu."

Bastian tertegun menatap mata bulat Freya yang masih setengah mengantuk namun penuh harap. Permintaan sederhana itu terasa seperti perintah mutlak yang tidak bisa ia bantah. Ia melirik Kirana yang masih terlelap—napasnya teratur, wajahnya tampak jauh lebih tenang saat tidur dibandingkan saat ia sedang mengomel tentang "Mas Kelinci".

"Ayah... ayo," rengek Freya sambil menepuk sisi kasur yang kosong di sebelah Kirana.

Bastian menghela napas pasrah. Ia melepas jas formalnya dan melonggarkan dasi, lalu perlahan naik ke atas tempat tidur besar bertema princess milik Freya. Posisi mereka kini sangat canggung bagi Bastian: Freya di sisi kanan, Kirana di tengah, dan Bastian di sisi kiri.

Baru saja Bastian menyandarkan punggungnya, Kirana tiba-tiba bergerak dalam tidurnya. Tanpa sadar, ia mencari posisi nyaman dan malah meringkuk ke arah Bastian, menyandarkan kepalanya di lengan pria itu.

Bastian membeku. Aroma harum sampo stroberi Kirana menyeruak masuk ke indra penciumannya.

"Mama wangi ya, Yah?" bisik Freya sambil tersenyum lebar, lalu memeluk lengan Kirana dari sisi lain. Tak butuh waktu lama, bocah kecil itu kembali memejamkan mata, merasa lengkap karena ada "Papa" dan "Mama" di sisinya.

Namun, tidak bagi Bastian. Jantungnya yang biasanya berdetak stabil saat menghadapi rapat pemegang saham, kini mendadak berpacu tidak beraturan. Ia menatap wajah Kirana dari jarak yang sangat dekat. Tanpa kacamata dan tanpa ekspresi waspada, Kirana terlihat... cantik.

"Kamu benar-benar pengacau, Kirana," bisik Bastian pelan, hampir tak terdengar.

Tiba-tiba, dalam tidurnya, Kirana menggumam, "Baksonya... jangan pakai seledri ya, Mas Kelinci..."

Bastian hampir saja tertawa terbahak-bahak jika tidak ingat ada Freya yang sedang tidur. "Bahkan di dalam mimpi pun kamu masih memikirkan bakso dan mengejek saya," batin Bastian sambil menggelengkan kepala.

Malam itu, di kamar yang dipenuhi boneka dan nuansa merah muda, sang "Raksasa Bisnis" yang ditakuti banyak orang akhirnya menyerah pada rasa lelah. Ia membiarkan lengannya menjadi bantal bagi calon istrinya, dan perlahan ikut tenggelam dalam mimpi, menyadari bahwa hidupnya tidak akan pernah membosankan lagi sejak kehadiran gadis pemakan bakso ini.

Esok paginya, kota akan gempar dengan berita pernikahan sang konglomerat, tapi malam ini, Bastian hanya ingin menjadi seorang ayah dan—mungkin—seorang pria yang mulai membuka hatinya.

Keesokan Harinya...

Sinar matahari menembus celah gorden kamar Freya. Kirana mengerjap-erjapkan matanya. Hal pertama yang ia rasakan adalah sesuatu yang hangat dan keras di bawah kepalanya. Ia meraba-raba "bantal" itu yang terasa seperti otot manusia.

"Nyaman?" suara bariton yang berat dan khas orang bangun tidur terdengar tepat di atas telinganya.

Kirana tersentak. Ia mendongak dan menemukan dagu Bastian yang mulai ditumbuhi bulu halus tipis. Matanya membulat sempurna. Ia melihat posisi mereka—Freya yang masih mendengkur halus di pelukannya, dan tangan Bastian yang melingkar protektif di pinggangnya.

"AAAAA—MMPH!"

Bastian dengan sigap membekap mulut Kirana sebelum teriakan gadis itu membangunkan Freya. "Diam. Kamu mau membuat anak saya jantungan?" bisik Bastian tajam namun ada kilat jenaka di matanya.

Kirana hanya bisa mengangguk cepat dengan wajah yang sudah semerah kepiting rebus. Pikirannya melayang, Gue tidur sama Tuan Kelinci?! Tamat riwayat kesucian daster gue!

Bastian perlahan melepaskan bekapannya setelah yakin Kirana tidak akan berteriak lagi. Ia menatap Kirana dengan alis terangkat sebelah, memberikan tatapan "kamu-pikir-saya-apa" yang sangat khas.

"Ngapain?" ulang Bastian dengan suara rendah yang serak khas bangun tidur. "Coba kamu lihat diri kamu sendiri. Masih pakai daster motif beruang kutub yang kancingnya sampai leher begitu. Kamu pikir saya selera melakukan 'sesuatu' di kamar anak kecil yang penuh boneka?"

Kirana buru-buru memeriksa pakaiannya. Benar, dasternya masih rapi meski sedikit kusut karena tidur "bertempur". Ia mengembuskan napas lega yang sangat keras hingga terdengar lucu.

"Ya... ya siapa tahu kan, Mas! Namanya juga laki-laki. Apalagi saya kan cantik kalau lagi tidur, tadi Mas sendiri yang bilang saya pengacau... eh, tunggu!" Kirana menyipitkan mata. "Kok Mas bisa ada di sini? Mas tidur di sini semalaman? Di samping saya?"

Bastian mendengus, lalu melirik Freya yang masih terlelap tenang di sisi lain Kirana. "Anak kamu yang minta. Dia bangun pas saya mau taruh kamu, lalu dia memaksa saya tidur di sini karena katanya dia mau punya mama dan papa di sampingnya. Jangan terlalu percaya diri, lengan saya sampai kram karena kamu jadikan bantal semalaman."

Kirana melihat lengan Bastian yang memang memerah karena tertindih kepalanya. Rasa bersalah sedikit muncul, tapi egonya tetap lebih tinggi. "Ya salah Mas sendiri punya lengan keras banget kayak beton! Kan kepala saya jadi pusing!"

"Oh, jadi sekarang betonnya yang salah?" Bastian beranjak duduk, meregangkan tubuhnya yang atletis hingga otot-otot di balik kemejanya yang berantakan terlihat jelas. "Cepat bangun. Cuci muka kamu yang penuh bekas liur itu. Kita ada janji dengan desainer jam sepuluh nanti."

Kirana refleks meraba sudut bibirnya dengan panik. "Hah? Bekas liur? Serius?!"

Bastian tidak menjawab, ia hanya terkekeh pendek sambil berjalan menuju pintu kamar. Namun, sebelum keluar, ia berbalik. "Dan satu lagi, Kirana. Soal pertanyaan kamu tadi... semalam saya memang tidak 'ngapa-ngapain'. Tapi jangan pikir saya akan selalu sesabar itu setelah kita resmi menikah nanti."

Bastian mengedipkan sebelah mata—sebuah gestur yang sangat tidak "Bastian" sekali—lalu menutup pintu, meninggalkan Kirana yang membeku di tempat dengan jantung yang berdegup dua kali lebih cepat.

"Heh! Mas Kelinci Mesum!" teriak Kirana tertahan, melemparkan bantal bulu milik Freya ke arah pintu yang sudah tertutup.

"Mama... berisik," gumam Freya yang mulai menggeliat bangun.

Kirana langsung menoleh dan memasang senyum manis yang dipaksakan. "Eh, Sayang... sudah bangun? Ayo mandi, kita mau beli baju pesta... dan mungkin, beli gerobak bakso pakai kartu sakti Papa kamu!"

1
Sri Wahyuni Abuzar
kenapa siih harus ada kata² umpatan B2
di bab sblm nya jg gitu aku masih diem..eeh ini ketemu lg..kesel sm majikan boleh² aja tp g mesti ngebatin dengan kata² kotor.
Nur Sabrina Rasmah
bener bener posesif banget ya , mas Bastian ke Kirana🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!