NovelToon NovelToon
Izin Menikah Mengubah Takdir

Izin Menikah Mengubah Takdir

Status: tamat
Genre:Tamat / Poligami
Popularitas:159.9k
Nilai: 4.8
Nama Author: Minami Itsuki

Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24 MULAI RESAH

Setelah kedua orang tuaku selesai minum teh, suasana menjadi sedikit canggung. Laras masih menunduk, sementara aku berusaha menghindari tatapan tajam Ibu yang jelas tidak puas dengan jawabanku tadi.

Aku bisa merasakan Laras tidak nyaman, dan begitu Ayah dan Ibu mulai berbicara hal lain, ia berdiri dan beralasan ingin membereskan dapur. Aku membiarkannya pergi, karena aku sendiri belum siap menghadapi pembicaraan lebih lanjut soal cucu laki-laki.

Namun, Ibu rupanya belum selesai. Setelah Laras pergi, ia menatapku dengan serius. “Kamu harus lebih tegas sama Laras. Jangan terlalu membiarkan dia dengan pikirannya sendiri. Perempuan itu harus diarahkan, kalau tidak dia akan makin sulit diatur.”

Aku menghela napas. “Bu, aku sudah bicara sama Laras. Aku juga sudah meminta dia resign supaya lebih fokus ke rumah tangga, tapi dia masih butuh waktu.”

Ibu langsung menyahut dengan nada tidak sabar. “Waktu apa lagi? Kamu laki-laki, harus bisa mengatur istrimu! Dulu Aisyah bisa nurut, kenapa Laras tidak bisa? Apa dia pikir menikah denganmu hanya sekadar status tanpa kewajiban?”

Ayah mengangguk setuju. “Kalau dia terus begini, dia hanya akan menyusahkanmu. Jangan biarkan dia bertindak semaunya.”

Aku diam sebentar, memikirkan apa yang harus kukatakan. Aku tahu, mereka ingin yang terbaik menurut versi mereka, tapi aku juga mulai menyadari sesuatu—Laras bukan Aisyah. Dan aku sendiri juga mulai merasa bahwa pernikahan ini tidak berjalan seperti yang kubayangkan.

Tiba-tiba Laras kembali dari dapur, membawa nampan dengan camilan kecil. Aku melihat wajahnya masih sedikit tegang, mungkin karena mendengar percakapan kami dari dapur. Ia meletakkan camilan di meja, lalu duduk kembali tanpa berkata apa-apa.

Ibu menatapnya dengan tatapan penuh makna. “Laras, kami berharap kamu bisa memahami posisi kamu sekarang. Jangan sampai kami kecewa.”

Laras hanya tersenyum tipis dan mengangguk, tetapi aku tahu dalam hatinya ia merasa tertekan. Aku sendiri mulai merasa lelah. Seakan dalam pernikahan ini, aku tidak hanya harus menghadapi Laras, tapi juga harus memastikan kedua orang tuaku puas dengan semua yang terjadi.

Aku pun akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan. “Bu, Ayah, kita lihat saja ke depannya. Aku akan berusaha mengatur semuanya.”

Ibu masih tampak tidak puas, tapi akhirnya ia tidak berkata apa-apa lagi. Aku melirik Laras yang diam di sampingku. Aku tahu setelah ini, aku harus bicara dengannya. Karena semakin lama, aku merasa seperti sedang menariknya ke dalam pernikahan yang penuh tekanan, tanpa ada kebahagiaan sedikit pun.

"Oh, ya. Ngomong-ngomong di mana Aisyah? Dari tadi ibu tidak melihat dia ada di sini, kalau ada. Tolong panggilkan Aisyah, karena Ibu ingin menyuruh dia menyiapkan makan, sudah lama Ibu tidak merasakan masakan dia kebetulan ayah dan ibu lapar."

“Ibu, Aisyah keluar bersama anak-anak,” akhirnya aku menjawab dengan tenang. “Mungkin dia memang sengaja pergi karena tidak ingin bertemu.”

Ibu langsung berdecak kesal. “Memangnya kenapa dia tidak mau bertemu? Bukannya dulu dia selalu menyambut kami dengan baik? Apa dia sudah lupa cara menghormati mertua?”

Aku menghela napas. “Bu, Aisyah sudah bukan istriku lagi. Masa iddahnya saja belum selesai. Dan Ibu tahu sendiri, keadaan sekarang sudah berbeda. Dia tidak punya kewajiban lagi melayani Ibu.”

Ibu makin tidak terima. “Tapi dia masih tinggal di rumah ini! Seharusnya dia tahu diri. Kalau dia sudah mau pergi setelah masa iddah selesai, setidaknya sebelum itu, dia masih bisa bersikap baik kepada kami.”

Laras yang dari tadi diam akhirnya bersuara, meskipun suaranya terdengar ragu. “Maaf, Bu… kalau Ibu lapar, saya bisa menyiapkan makanan.”

Ibu melirik Laras sekilas, lalu menghela napas panjang. “Sudahlah, kalau bukan Aisyah yang masak, rasanya pasti beda.”

Aku bisa melihat Laras menggigit bibirnya, jelas merasa tersinggung. Aku sendiri merasa tidak nyaman dengan cara Ibu terus membandingkan mereka berdua.

“Ibu, yang penting ada makanan, kan?” ujarku mencoba meredam situasi.

Tapi Ibu hanya melambaikan tangan dengan malas. “Sudahlah, kalau tidak bisa merasakan masakan Aisyah hari ini, lebih baik Ibu tidak usah makan di sini.”

Aku mulai merasa jengkel. Kenapa seakan semua ini menjadi kesalahan Laras? Kenapa Ibu tidak bisa menerima bahwa keadaan sudah berubah?

Ayah akhirnya bersuara, mencoba meredakan ketegangan. “Sudah, Bu. Jangan diperpanjang. Nanti kita makan di luar saja.”

Ibu hanya mendengus pelan. Laras menunduk, sementara aku merasa semakin tertekan di antara mereka semua.

Setelah kedua orang tuaku pulang. Laras pun berbicara kepadaku mengenai sikap ibuku yang membuat dia sedikit tersinggung. Jujur Saja Laras tidak suka dengan cara bicara ibuku yang terlalu blak-blakan dan terlalu menuntut apalagi menekan membuat Laras merasa tidak nyaman.

"Aku paham, Laras," ujarku, menatapnya. "Ibu memang seperti itu, bukan hanya kepadamu, tapi juga dulu ke Aisyah. Dia memang punya ekspektasi tinggi terhadap menantunya."

Laras mendesah pelan, lalu menatapku dengan ekspresi kecewa. "Tapi ini beda, Mas. Dulu Aisyah mungkin bisa bertahan karena dia memang terbiasa sabar. Tapi aku? Aku tidak bisa terus-terusan menerima sikap Ibu yang selalu membandingkanku dengan Aisyah dan menuntut ini-itu. Aku ini manusia, bukan boneka yang bisa disuruh-suruh sesuka hati."

Aku terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk meredakan emosinya. "Aku nggak pernah anggap kamu boneka, Laras. Aku cuma ingin kamu berusaha menyesuaikan diri. Ini bukan hal yang mudah buat semua orang."

Laras menatapku tajam. "Menyesuaikan diri? Maksud Mas, aku harus diam dan menerima semuanya begitu saja? Harus pura-pura nggak sakit hati kalau Ibu bilang masakan Aisyah lebih enak? Atau harus tersenyum waktu Ibu terus mendesakku untuk segera punya anak laki-laki?"

Aku mengusap wajahku, merasa semakin terjepit di antara Ibu dan istriku sendiri. "Aku nggak bilang begitu, Laras. Aku cuma mau kita semua bisa saling memahami."

"Kalau begitu, Mas juga harus memahami aku," suara Laras melemah, tapi tetap penuh ketegasan. "Aku menikah dengan Mas karena aku ingin bahagia. Bukan untuk dibanding-bandingkan dengan wanita lain atau terus ditekan seperti ini."

Aku menghela napas panjang. Situasi ini semakin sulit, dan aku sendiri belum tahu harus bersikap bagaimana.

...----------------...

Aku duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan, menatap layar yang hanya menunjukkan tanda centang dua tanpa balasan dari Aisyah. Sudah tiga hari, dan dia belum juga pulang. Aku mencoba menelepon lagi, tapi seperti sebelumnya, hanya nada sambung tanpa jawaban.

Aku menghela napas panjang. Aku tahu Aisyah marah, kecewa, dan sudah tidak peduli padaku, tapi setidaknya dia bisa memberi kabar, terutama untuk anak-anak.

1
devi aryana
Luar biasa
Cahaya Sidrap
up lanjut thor
Haerul Anwar
Donntol
DN
mau ngapain kau Reza, mau rebut bayi itu dari Aisyah ?? klo iya kau manusia tak punya hati. kau manusia lucnut.
DN
Luar biasa
DN
patuh tp tdk pd tempat nya. Berbakti kpd ortu tp menghancurkan keluarga kecilnya. sungguh Ter...la ..lu
Endang Supriati
laras itu pelakor! tempatnya di neraka!!!!
Kamiem sag
cerita ini jadi aneh karena Laras memutuskan kembali kerumah mertuanya padahal selama uni mereka tinggal diluar kota atau kota lain, trusgimana dgn sekolah Adam??
gak ketemu alurnya thor
Kamiem sag
bosan baca drama ciptaan Endang dan Reza
Kamiem sag
Aisy dan Adrian tdk dikaruniai anak??
Kamiem sag
Laras cuma pura pura
aslinya Laras senang dan bahagia Reza jauh dari Safira Rani dan Gibran karena Laras terlalu egois mau menguasai Reza hanya untuknya dan anak anaknya saja
Kamiem sag
mantap kan nikmatnya dimadu bu Endang?? serumah lagi seperti Aisy dan Laras??
selamat ya bu Endang, selamatmendapat madu😄
Kamiem sag
ta gakpapalah bu Endang kan nanti kau masuk surga krn berbagi suami😄😄😄😄😄
Kamiem sag
itu belum seberapa bu Endang bentar lagi kau akan tau suamimu juga dibawa pelakor biar kau kebagian surga krn rela dimadu
Kamiem sag
kurasa isi kepala Reza itu cuma taik cicak ya thor selain kecil bau busuknya luarbiasa makanya gak pernah bisa mikir dgn baik
Kamiem sag
GILA
Kamiem sag
Endang Bakti Reza Laras Adam sekumpulan orang dlm bentuk organisasi "keluarga" dgn defenisi "keluarga toxic"
"keluarga kacau"
"keluarga gila"
Kamiem sag
selamat ya Reza kau sdh berhasil
semua usahamu yg menurutmu benar sdh petik hasilnya
Kamiem sag
Endang dan Reza defenisi manusia tdk pernah bercermin
Kamiem sag
Ada anaknya Laras wajar sifat cemburunya suangats bessar kalo jiwanya baik pasti kasihan pd Dr. Safira tapi Adam malah tak suka dgn usaha neneknya yg ingin menebus kesalahan dimasa lalu dia mau neneknya hanya memikirkan dirinya saja
seperti Laras yg selalu marah kalo Reza menemui putra putrinya Aisyah yg notabene anak kandung Reza, Safiramau Reza hanya memikirkan memperhatikan anak anak yg lahir dari rahimnya saja
dan perempuan seperti Endang dan Laras ini jenis perempuan yg memasukkan suami kedalam neraka baik neraka dunia juga neraka akhirat krn menghalangi pihak lain ( suami) bertanggung jawab
mampuslah kalian Endan Laras
nikmati hasil usaha kalian
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!