NovelToon NovelToon
Mengapa, Harus Aku?

Mengapa, Harus Aku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:621
Nilai: 5
Nama Author: Erni Handayani

Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.

Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.

Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28

Aku mendongak, menatap lekat Aisha yang kacau dengan mata memerah juga derai air mata. Harus aku jawab apa pertanyaan Aisha? Tidak mungkin aku mengatakan masih mencintai Azam! Akan semakin sakit hatinya.

"Jawab kak! Jangan bikin aku semakin bodoh dengan kenyataan ini!"ulang Aisha.

Tidak ada yang paling menyakitkan di dunia ini, selain bertengkar dengan saudara sendiri. Terlebih hanya karena satu cinta juga lelaki.

Cintaku untuk Azam menimbulkan luka yang dalam karena aku diam. Rasa sayangku pada Aisha membuat dia merasa dibohongi dan kecewa.

Robb, aku harus apa untuk dua orang yang sangat berarti untukku.

"Jawab, kak!" ucap Aisha sedikit melengking.

Membuat aku tersadar jika berbohong tidak pernah ada baiknya. Meski itu untuk kebaikan.

"Aisha jaga emosi kamu, ingat kamu sedang hamil, Dek!" ujar Azam.

Aku merasa jadi malaikat pencabut nyawa, tapi bukan nyawa yang aku cabut melainkan kebahagiaan kembaranku sendiri.

"Kamu juga masih cinta sama kak Alisha, Mas?"tanya Aisha tajam pada Azam.

Lelaki itu mendadak terdiam, aku yakin dia pun tak bisa menjawab pertanyaan Aisha.

"Jawab, Mas!"pekik Aisha.

Emosi benar-benar melanda Aisha, dia yang lemah lembut bisa berubah begitu bengis dalam mencari kebenaran. Sedahsyat itu ternyata sebuah kebohongan juga rasa kecewa.

Lidahku benar-benar kelu, susah payah aku menahan saliva.

"kenapa kalian diam?"lagi Aisha menyentak dengan ucapannya.

"Kakak sudah tidak men..."

"Aisha.."

Aku dan Azam serempak menyebut nama Aisha kala tubuhnya limbung. Dengan cekatan Azam membopong Aisha ke kamarnya.

Meninggalkan aku sendiri, tubuhku juga ikut luruh ke lantai. Mata ini tak hentinya mengeluarkan air mata.

"Andai kamu tahu, betapa susahnya Kakak bertahan hingga detik ini Aisha. Bagaimana kakak bisa terus bernapas saat udara menjauh dari hidup kakak,"lirih diri ini merintih sendirian.

Pandangan ini mulai kabur seiring kosongnya pikiran. Jiwaku terasa ringan hingga detik jarum tak terdengar lagi di telingaku.

Aku terbangun kala mencium aroma minyak kayu putih. Mata ini susah aku buka, terasa berat seperti ada ribuan beban yang menimpa bola mataku.

Samar-samar aku melihat ibu, dari kelopak mataku yang susah payah aku buka. Apa yang terjadi padaku? Kenapa di kening ini ada kain pengompres.

"Ibu.." lirih aku memanggil wanita yang telah melahirkan aku. Mata ini belum sepenuhnya terbuka, kepala juga nyeri rasanya.

"Alhamdulillah kamu sudah sadar, nak! Ibu sampai mau bawa kamu ke dokter,"ucap ibu dengan nada bicara yang menggambarkan bahwa dia sangat khawatir padaku.

"Alisha kenapa bu? Berat sekali rasanya kepala ini?"ucapku dengan tangan yang meraba kening yang terdapat kain pengompres.

"Kamu pingsan, Nak! Empat jam baru tersadar!"jawab ibu.

Empat jam? Kenapa aku pingsan? Aku mencoba untuk menggali ingatan, apa yang terjadi hingga membuat aku pingsan selama itu. Namun, tak ingat apa-apa diri ini. Mungkin efek pingsan tadi.

"Alisha kenapa bisa pingsan, bu? Alisha nggak ingat apa-apa!" aku semakin tak mengerti dengan aya yang di ucapkan ibu.

Wanita tersayangku itu meneteskan air mata di pipinya.

"Ibu apa Neng Alisha, sudah siuman?" samar terdengar suara lelaki yang tak asing lagi di telinga tengah bertanya pada Ibu tentang keadaanku dari dekat pintu kamar.

"Sudah, Gus! Aisha gimana apa dia sudah baikan?" tanya Ibu balik pada lelaki itu yang tak lain Azam.

Aisha? Azam?

Seketika rentetan kejadian beberapa jam lalu hadir memenuhi kepalaku. Kejadian yang tak pernah aku inginkan, kejadian yang membuat aku, Aisha, juga Azam menelanan buah simalakama tanpa air sedikitpun.

Hal yang aku jaga satu tahun ini agar tak terjadi, kini telah terjadi melukai banyak hati terutama Aisha. Ayah dan Ibu juga pasti kaget dengan kejadian semalam,dan mendapati kebohongan yang aku ciptakan. Meski untuk kebahagiaan banyak hati, aku tetap salah dalam hal ini.

"Sudah baikan Ibu. Sekarang Aisha lagi tidur,"jawab Azam.

Aku mengucap syukur dalam hati, Aisha baik-baik saja.

"Syukurlah kalau kamu dampingi Aisha, Gus! Kuatkan hatinya!"ucap Ibu pada Azam. Detik berikutnya lelaki itu pergi dari pintu kamarku.

"Ibu.." lirih aku memanggil Ibu. Aku kehilangan banyak energi untuk berbicara saja seperti tiada tenaga. Seluruh energiku menguap karena kejadian beberapa jam lalu.

"Iya Nak, kamu butuh apa bilang sama ibu!" ucap Ibu mendekat ke arahku mengenggam tanganku yang sedingin es di kutub utara.

"Maafkan Alisha!" ucapku lirih dan sedetik kemudian air mata tumpah di pipiku. Allah aku mohon beri aku kekuatan saat ini untuk bisa menghadapi banyak hati yang terluka karena aku.

"Kamu tidak salah, Nak! Ibu yang salah tidak pernah tahu isi hati kamu. Ibu dzolim padamu, Nak!" jawab Ibu dengan suara bergetar.

Aku menggeleng cepat, Ibu tidak pernah salah padaku. Dia Ibu yang luar biasa, yang menurunkan bakat menulisnya padaku.

"Alisha yang salah karena sudah berbohong, Bu. Jika saja Alisha jujur maka semua ini tidak akan terjadi. Alisha menyakiti Aisha, Bu. Alisha kakak yang jahat" ucapku dengan derai air mata.

Ibu memeluk erat tubuhku yang lemah, dia terus-terusan menggelengan kepala pertanda apa yang aku ucapkan tidak benar.

"Kamu nggak jahat, Nak! Kamu luar biasa mengorbankan hati dan cintamu untuk Aisha. Waktu saja yang membuat semua jadi begini. Aisha butuh waktu untuk menerima dan memahami kenyataan ini!" tutur Ibu.

Aku menangis di pelukan Ibu, hati ini bagai tertikam sembilu yang paling tajam. Sembilu waktu yang membuat semua merasakan sakitnya, bukan aku saja tapi Azam, Aisha, Ayah dan Ibu.

Allah jika bisa memilih aku ingin memilih buta dan tuli untuk selamanya. Agar mataku tidak bisa melihat kesedihan di mata orang-orang yang aku cinta. Agar telingaku tak mendengar jerit pilu kesakitan mereka.

Bisakah kau kabulkan keinginanku ini, Robb?

Waktu bergulir dengan lambat. Aku kembali berbaring di ranjang setelah melaksanakan salat subuh. Matahari mulai mengintip aku dari celah jendela, menyambut pagiku yang kelabu.

Ibu sudah tidak menemani aku, bagaimana Ibu punya tanggungan pada santri-santri untuk menemani ngaji pagi.

Aku meraih ponselku untuk memberitahu Kak Adam agar jangan ke rumah hari ini. Aku tidak bisa berpikir apa-apa saat ini, hatiku masih diliputi rasa tidak percaya jika semuanya telah terbongkar semalam.

[Maaf Kak, jangan datang hari ini dulu! Aisha sudah tahu semuanya.]

Aku mengirim pesan untuk Kak Adam lewat WA. Sedetik kemudian aku mematikan data dan membuat ponsel berada pada mode pesawat. Saat ini aku benar-benar ingin aku sendiri, untuk mengeja apa yang terjadi.

1
Afu Afu
jangan bucin alisha,buka hati buat yg lain percm menghro Azam istri nya jg SDH hmil apa yg mau km hrapkan ,plis deh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!