Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27
Selepas kepergian Kaivan, malam itu Shana langsung menghubungi Nana untuk membatalkan pemesanan Raisa. Dia pikir, Kaivan akan kembali malam itu. Mungkin setelah melepaskan kepenatan dan sikap emosional nya di luar. Ternyata … tidak.
Kaivan tidak pulang malam itu.
Hingga seminggu kemudian, dia benar-benar tidak pulang bahkan hanya untuk sekedar ‘bermalam’ dengan Shana. Melepaskan lelah dari pekerjaan proyek. Tidak. Dia benar-benar tidak pulang.
Pun memberi kabar, dia juga tidak melakukannya. Sehingga Shana yang sama sekali tidak pernah menghubunginya lebih dulu. Harus menurunkan ego dan mulai menghubunginya.
Nihil.
Berkali-kali Shana menghubungi nomornya, tidak pernah diangkat. Puluhan pesannya tidak kunjung mendapat balasan.
Kemana perginya Kaivan?
Semarah itu kah sampai harus nyaris hilang ditelan bumi?
Shana melepaskan nafas kasar. Paginya harus dimulai oleh beberapa vendor yang kemarin melakukan kerja sama dengannya, mereka tiba-tiba membatalkan kerja sama dengan outlet Mawari. Tidak ada yang bisa mencegah mereka. Shana hanya harus merogoh beberapa lembar uang untuk mengembalikan uang mereka.
Namun, di sini lah titiknya. Dia harus mendapat makian dan umpatan dari vendor-vendor itu. Yang sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Shana. Padahal Shana melakukan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya, nyaris tidak melakukan kegagalan apapun.
Namun mereka, sebelum pergi dan menerima uang mereka, mereka memaki Shana dulu.
Sehingga Shana terlihat begitu frustasi. Dia terduduk di salah satu stool di sudut ruangan. Kedua sikunya diletakkan di atas meja bundar, dan kedua tangannya kini memegangi kepalanya yang terasa pecah.
“Ini, Mbak. Minum dulu.” Nana berlalu setelah meletakkan secangkir teh dan memastikan keadaan Shana baik-baik saja.
Shana berusaha menampilkan raut wajah yang baik. Dia tidak mau orang lain tahu bahwa sebenarnya jauh dari semua itu, dia hancur. Dia benar-benar hancur setelah kepergian Kaivan.
Oh … mengingat laki-laki itu lagi. Membuat rindu Shana menggebu. Ingin sekali dia meminta maaf dengan memeluknya. Semingguan ini, Shana bahkan tidak bisa tidur dengan baik. Malamnya hanya terjaga dengan beberapa tangisan pilu.
Kaivan.
“Mbak?”
Shana terkesiap, dia sontak mendongak untuk melihat Lila yang mengernyitkan kening. Perempuan itu menatap Shana lama. “Mbak, baik-baik saja? Dari tadi ponselnya getar terus,”lanjutnya.
Shana hanya tersenyum getir. Membiarkan Lila pergi dulu sebelum dia menatap bingkai layarnya. Di sana ada nama Indung.
Apa mungkin Kaivan ada di sana?
Jadi, “Halo?”
“Teh. Teteh ada di mana? Kok Indung ke rumah nggak ada orang?”
“Emm … Indung tunggu, ya. Aku ke sana sekarang.”
Aneh. Shana tidak menemukan petunjuk apapun soal keberadaan Kaivan. Bahkan, Indung hanya mengatakan bahwa dia sedang menunggu di sana. Yang artinya, benar-benar tidak ada Kaivan.
Namun, Shana tidak menunggu lama. Dia segera menaiki taksi setelah menitipkan semua pekerjaannya kepada Nana.
Shana tiba di rumah pukul satu. Di panasnya yang terik ini, Shana bisa melihat Indung yang tengah berdiri menjinjing tas besarnya di bawah kanopi. Untung saja kanopinya lebar, sehingga indung tidak terkena paparan matahari yang menyengat.
Setelah turun dari taksi, Shana segera menghampiri Indung. Mereka berpelukan beberapa saat. Sampai Shana tersadar bahwa dia harus membawa indung masuk dulu.
...***...
“Jadi … Kaivan tahu soal Teteh yang kerja sekarang?”
Shana mengangguk lemah. Dia hanya merasakan telapak tangan Indung yang membelai rambutnya. Kepalanya sudah dia baringkan di paha Indung. Begitu nyamannya. Dia bahkan sudah beberapa kali menguap.
“Terus, Kaivan kenapa izinkan?” Terdengar tidak suka dari pertanyaan itu. “Kamu ‘kan tengah hamil, Teh. Apalagi sudah lima bulan. Kamu harus banyak istirahat, jangan kecapekan, jangan stres. Begitu kata bidan di kampung Indung,”lanjutnya.
Mungkin benar yang dikatakan Indung. Shana pun tidak membantah. Namun, semua ini sudah dipikirkan dengan matang. Jadi, “Indung, tenang aja. Shana nggak banyak kerja kalau di sana. Malah banyakan duduk.”
Indung melepaskan nafas berat, “Tapi, tetap saja, Teh. Kerja ya tetap kerja. Pasti capek. Kan?” Tatap itu sekarang terpaku pada Shana. Shana bisa melihat tatap sayu yang terlihat lelah, namun masih mengkhawatirkan keadaan Shana.
Shana bangkit, dia mengelus pundak Indung. Berusaha menenangkannya, meskipun dia juga tidak kunjung tenang. Ada hal yang masih tersimpan di benaknya, dia benar-benar belum bisa mengutarakannya dengan baik. “Indung, pokoknya tenang aja. Kalau capek, Shana pasti langsung minta istirahat.”
Dan Indung tidak menyahut lagi. Sebenarnya ada lega di lubuk hati Indung ketika mengetahui bahwa Shana dibantu oleh beberapa pekerja.
Ketukan di pintu menarik perhatian keduanya. Mereka menoleh ke arah pintu yang tidak tertutup rapat. Shana bergegas menghampiri untuk membukanya. Dia sama sekali tidak mencurigai apapun.
Sehingga ketika pintu terbuka lebar, dia benar-benar menyesali perbuatannya sendiri. Di sana, ada Raisa. Sedang tersenyum lebar. Senyuman picik perusak rumah tangga orang. “Mau apa kamu ke sini? Saya sedang tidak menerima tamu.” Alias, kamu pergi sekarang!
Raisa berdecak kagum, sesaat memalingkan wajah untuk melepaskan kekeh. Tangannya menyilang di dada, “Aku mau bicara. Sebentar aja kok.”
Embusan nafas jengah keluar dari mulut Shana. Dia sedang tidak ingin berdebat atau beradu saat ini. Apalagi di dalam ada Indung yang pasti ikut mendengar omong kosong perempuan itu. “Katakan. Apa?” Sambil melirik arloji di pergelangan tangannya.
“Ceraikan Kaivan sekarang.”
“Apa?”
“Ceraikan Kaivan sekarang!”
Apa memang perempuan di hadapannya ini kebanyakan mimpi sampai-sampai ketika berbicara, terdengar seperti ngigau?
Sesaat Shana terdiam. Bukan. Bukan terkejut dengan omong kosong belaka yang didengarnya. Melainkan, dia terkagum-kagum oleh tingkah perempuan itu. “Wah … hebat ya kamu. Sudah gatal dekati suami orang, terus berani-beraninya kamu datang ke sini nyuruh saya ceraikan suami saya?” Wajah Shana dicondongkan pada Raisa dengan kernyitan di keningnya, “Situ waras?”
Raisa berdecak. Dia menatap kuku-kukunya yang baru saja diwarnai. “Aku nggak mau basa-basi. Jadi, kalau mau aman. Silakan ceraikan Kaivan.”
“Kamu sakit, ya? Budek juga? Nggak dengar saya ngomong apa?” Rupanya Shana tidak sadar bahwa intonasi suaranya naik. Dia bahkan melupakan keberadaan Indung yang mungkin saja mendengar obrolan mereka. “Pergi sana!” Telunjuknya mengacung ke arah teras.
“Terserah. Terserah kamu mau ngomong apa. Yang pasti, dengar ini baik-baik …” Raisa menatap wajah Shana yang kaku. “Aku hamil! Dan ini anak Kaivan!”ungkapnya. Memundurkan langkahnya pelan. Menikmati bagaimana Shana menggeram. Dia sangat menikmatinya. Seulas senyum dia berikan sebelum membalik badan dan masuk ke dalam mobil.
Embusan nafas Shana terdengar berkali-kali. Tangannya menggenggam gagang pintu erat. Pandangan kosong itu sekarang basah. Mengalir dua anak sungai di sana. Yang dengan cepat dia usap, lalu berjalan mendekati Indung.
Rupanya, bukan cuma Shana yang hancur. Indung juga. Shana tahu bahwa kepala yang menunduk dalam-dalam dengan kedua tangan menggenggam erat rok itu, tengah menahan desak hatinya yang hancur lebur. Sehingga sekarang, Shana menghampiri. Duduk di sampingnya. Memeluk dari samping. Mengelus lengannya. “Indung … jangan dengarkan. Perempuan itu memang begitu. Jadi, tolong jangan didengar. Kaivan tidak mungkin melakukan hal seburuk itu.”
Meski Shana tidak yakin akan kebenarannya. Namun, di hati kecilnya dia yakin dengan janji yang dulu dilontarkan Kaivan.
Namun, “Nggak, Teh. Indung nggak pikiran kok. Tapi, Indung pulang sekarang, ya?” Indung bangkit seraya mengambil tas besarnya yang diletakkan di samping sofa. “Indung lupa kalau Gista sama Laras ada acara di sekolahnya,”lanjutnya seraya tersenyum tanpa menatap mata Shana. Beliau membalik badan, “Indung pamit. Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam…” Dengan pelan dan tertahan, akhirnya Shana bisa membalas salam itu. Meski sekarang Indung sudah tidak ada lagi di sana.