Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.
Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24_Arahan Abi
Suara tawa dan tapakan yang di dengar Abi tadi, mereka adalah tiga remaja sekitaran tujuh belas dan delapan belas tahun. Mereka berlari mendekat dengan tawa riang yang mengiringi langkah mereka "cepatan woy, kita berhasil menangkap beruang," ucap anak remaja itu yang berlari paling depan.
Dari kejauhan dan dari atas sana Abi bisa melihat keberadaan mereka "anak-anak nakal," lirih Abi lagi.
Kali ini, Albert diam, ia tidak memberontak ataupun bertanya sama sekali hanya saja pandangan matanya mengarah kemana arah pandangan mata Abi mengarah.
Tiga anak remaja berjenis kelamin laki-laki itu sudah berada tepat di bawah nyaring yang merangkap tubuh Abi dan Albert di atas sana. Pandangan mata mereka fokus mendongak ke atas melihat nyaring mereka. Terdengar lirihan suara mereka berbicara "sepertinya itu bukan beruang coy tapi orang."
"Iya, kayaknya," jawab salah satunya lagi.
"Yasudahlah, target kita beruang bukan orang. Tinggalkan saja," ucap remaja yang berlari paling belakang tadi. Tubuhnya sekarang berbalik dan berjalan meninggalkan dua temannya, lantas dua temannya ikut mengikuti menginggalkan Abi dan Albert yang masi terperangkap dalam nyaring yang bergelantungan di atas sana.
"Dek," panggil teriak Albert kala melihat tiga anak itu beranjak pergi. "Dek, jangan pergi dulu. Tolong lepaskan kami."
Abi diam hanya menyaksikan Albert yang sibuk berteriak dan tiga anak remaja itu yang tidak peduli.
Berulang kali Albert berteriak meminta pertolongan pada tiga anak remaja itu. "Sudah Al. Jangan buang-buang energimu."
Tiga anak remaja itu berhenti melangkah, berbalik badan dan pandangan mata mereka menatap dua pasang mata yang ada dalam nyaring itu yang juga menatap mereka balik, Albert menatap mereka dengan tatapan sendu, memohon pertolongan sedangkan Abi menatap tiga anak itu dengan pandangan datar.
"Hey kalian mau kemana? Lepaskan kami dulu," teriak Albert kembali kala melihat tiga anak itu hendak melangkah kembali.
"Bukan urusan kami," ucap salah satu dari mereka.
"Jelaslah ini urusan kalian, kalian yang memasang nyaring di sini."
"Kami memasang nyaring untuk menangkap binatang bukan orang," menatap nyalang "jika kalian tertangkap nyaring kami bukan kami yang salah melainkan salah kalian sendiri kenapa membiarkan diri kalian terperangkap di sana."
Dua pasang mata dalam nyaring itu, menatap ke bawah, menatap tiga anak remaja ini dengan pandangan mata tajam, bahkan sangat tajam sudah.
"Kalian punya kepalakan untuk berpikir, otak kalian masih ada kan? Maka gunakan," ucap salah satu anak itu, setelahnya ia berlalu pergi dengan menarik tangan dua tangan temannya.
"Sialan. Anak-anak bu gil itu, menghina kita," teriak Albert melihat pan tat tiga anak remaja itu yang saling naik turun kala langkah mereka menapaki.
Satu tepukan kasar mendarat di kepala Albert "jaga ucapanmu Al."
"Iya kan! Lihat tuh mereka jangankan memakai baju, sem pak aja gak mereka pakai."
"Iya tahu, aku juga punya mata untuk melihatnya sendiri! Tidak perlu teriak-teriak untuk memberitahukan," ucap Abi dengan menahan emosinya. "Duduklah dulu. Tenangkan dirimu."
Pandangan mata tajam bagaikan menghunus dan membelah tubuh Abi, Albert berikan.
Abi yang melihat itu tidak mengambil pusing "Al, tidak ada yang bisa membuatmu emosi, marah dan bersedih kecuali dirimu sendiri yang mengizinkannya."
Albert masih menatap Albert intens. Tubuh mereka sudah duduk dalam nyaring itu walau tubuh mereka saling bergempetan.
"Yang anak-anak itu bilang, ada benarnya Al, kita punya kepala untuk berpikir jangan sampai terperangkap. Jika sudah terperang begini berarti kita tidak terlalu menggunakan kepala kita dalam berpikir."
"Lantas. Kenapa kamu tidak menggunakan kepalamu untuk berpikir cara keluar dari sini."
"Aku gunakan kepalaku! Apa kamu menggunakan kepalamu?" Ucapnya dengan diiringi peralihan pandangan dengan lirihan kembali terdengar darinya "guna kepala hanya sebagai hiasan tubuh."
Albert kembali mendapatkan pukulan telak yang dilayangkan Abi. Untuk beberapa saat kesunyiaan dan ketenangan menyertai mereka, kelembutan angin yang berhembus meniup dedaunan dari pepohon terdengar merdu dan kadang suara menyeramkan dari binatang-binatang yang entah dimana keberadaannya ikut terdengar juga.
"Mana buktinya!" Ucap Albert tiba-tiba.
"Sudah tenang ya," berusaha berdiri kembali walau terombang ambing ketidakseimbangan dari nyaring itu "kamu juga berdiri Al."
Albert mengikuti arahan Abi, berdiri dan mengalami hal sama seperti yang dialami oleh Abi.
Nyaring itu terikat pada tali besar yang berpaut dengan ranting besar dari pohon besar yang batangnya tumbuh sedikit jauh dari jalanan aspal yang mereka tapaki tadi, jaraknya sekitaran sebelas atau dua dua belas meter kira-kira.
"Al, pegangan pada nyaring ini, kita harus naik ke atas, tangan kita harus berpegangan pada tali utama di atas sana."
Pandangan mata Albert mengarah pada arahan yang dimaksudkan Abi.
Perlahan namun pasti mereka melakukan pembebasan diri mereka sesuai arahan yang Abi perintahkan. "Pegang yang kuat."
Albert tidak menjawab.
"Jika jatuh, resikonya tangung sendiri." Kaki Abi menginjak antara sela-sela nyaring itu dan tangannya silih berganti memegang tali nyaring itu dan tubuhnya semakin naik ke atas.
Tubuh mereka berdua sudah berada di puncak terikatnya tali nyaring dengan tali utama "pertahankan tubuhmu, jangan sampai jatuh," menatap Albert yang berada tepat sedikit di bawahnya sedangkan Abi dengan cepat mengeluarkan belati kecil yang ia sembunyikan dibalik ikat pinggang celananya iu.
"Sejak kapan kamu punya benda itu, Bi."
"Diam," jawab Abi cepat, singkat dan padat. Belati kecil itu, dengan susah payah Abi keluarkan dari sarungnya dengan memakai bantuan giginya itu. Belati dan sarung belatinya itu sudah terpisah, sarung itu kini berada di antara gigi bawah dan gigi atas Abi, ia menggigit belati itu.
Sedangkan belati itu ia pegang dengan tangan kanannya itu, perlahan dengan tajam itu yang tidak seberapa dan runcingnya yang sangat tajam membuat Albert berngedik ngeri membayangkan jika belati menusuk tubuh "hati-hati, Bi," peringat Albert.
Abi tidak menghiraukan Albert, ia dengan sibuknya perlahan dengan sangat pelan, matanya menatap tajam pada punca tali yang mengikat pada nyaring mencari punca yang kemdian setelah menemukan punca itu, Abi iriskan tali itu.
"Kamu," menendang Albert.
"Kurang kencang nendangnya," ucap kesal Albert merasakan denyutan di lengannya.
"Naiklah duluan."
Albert menerima arahan Abi, tangan kirinya sudah berpegangan kuat pada tali besar yang menadi tali utama, penahan nyaring itu. Sedangkan tangan kirinya Abi sudah terlihat urat-urat besar berwarna hijau dari kulitnya yang putih. Keringat mengalir dahi dan tubuhnya, sedangkan tangan kanannya masih berusaha mengiris tali nyaring itu hingga putus satu persatu.
Helaan napas lega terdengar dari mereka berdua mereka rasa tali nyaring itu sudah terputuh sebagian.