"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.
Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.
Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.
mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
amnesia!!
Lorong Rumah Sakit Inap Melati dipenuhi keheningan yang hanya terpecah oleh suara langkah Gus Zayn.
Tatapannya tajam, berusaha tenang meski pikirannya bergolak. Di depan kamar rawat inap Haifa, bayangan sosok yang berlari tergesa menghampirinya membuat lamunannya buyar.
Nathan muncul dengan napas tersengal, wajah penuh kekhawatiran.
“Haifa!” seru Nathan, nadanya memecah suasana.
Gus Zayn segera menghadangnya, berdiri tegap di depan pintu. “Lo ngapain ke sini, Nath? Kalau Abiy sama Ummi datang gimana?” tanyanya dengan nada peringatan.
Nathan menatap sahabatnya penuh kekecewaan. “Gue cuma mau lihat keadaan Haifa, bro! Kenapa lo cegat gue?”
Gus Zayn mendesah berat, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Lo udah punya Cleo, Nath. Ngapain masih mikirin cewek lain? Udahlah, balik aja.”
Mata Nathan membulat, hatinya panas. “Serius lo bilang gitu? Temen sendiri lo cegat? Lo bilang nggak ada rasa ke Haifa, tapi lo malah bersikap begini?”
Gus Zayn terdiam, tak menemukan jawaban yang bisa meredakan keadaan. Tapi Nathan sudah memutuskan pergi. “Oke, gue pergi,” ucapnya dingin.
“Nath, tunggu! Bukan itu maksud gue—”
Nathan tak mendengarkan. Langkahnya mantap menuju pintu keluar, meninggalkan Gus Zayn yang menatap kepergiannya dengan rasa bersalah.
Malam telah menyelimuti kota ketika Nathan mengendarai motor sport hitamnya dengan kecepatan tinggi. Angin malam berembus kencang, tapi tidak mampu meredam gejolak dalam hatinya.
“Kenapa Zayn segitu posesifnya? Apa mereka dijodohkan?” pikir Nathan penuh amarah dan kebingungan.
Tangannya menggenggam setang motor lebih erat. Setibanya di depan sebuah bar, ia memarkir kendaraannya tanpa pikir panjang dan melangkah masuk ke dalam. Musik keras dan lampu temaram menyambutnya.
“Pelayan, satu gelas lagi!” serunya sambil menenggak alkohol, mencoba menumpahkan segala kegundahan.
Di sudut ruangan, beberapa wanita memperhatikannya dengan tatapan penuh kagum.
“Dia ganteng banget,” bisik salah seorang perempuan bernama Sindy.
“Itu Nathan, crush gue di kampus,” tambahnya pada temannya, Lia.
“Kalau gitu, kenapa nggak lo deketin aja?” tanya Lia menggoda.
Sindy mendesah berat. “Dia udah punya pacar.”
Namun perhatian mereka tak mampu menjangkau hati Nathan yang kini semakin larut dalam pikirannya sendiri, mencoba melupakan kenyataan yang menghantui setiap langkahnya.
Bar yang bising seolah menjadi saksi bisu kekacauan hati Nathan.
Di tengah musik yang menggema, Arsen datang menghampiri sahabatnya dengan langkah tergesa. Matanya membulat melihat botol minuman keras di meja Nathan.
“Astaga, Nath! Lo ngapain minum anggur kayak gini? Dosis tinggi lagi!” serunya prihatin.
Nathan menatapnya dengan mata merah dan linglung. “Ngapain lo ke sini?” tanyanya dengan suara berat, tubuhnya hampir roboh ke meja.
“Gue ke sini karena lo nggak angkat telepon gue! Berkali-kali gue hubungin, lo nggak ada kabar!” ujar Arsen, campuran kesal dan khawatir. “Lo kenapa? Ada masalah sama bokap nyokap?”
Nathan menggeleng pelan. “Nggak ada...” jawabnya dengan nada goyah. “Haifa...” nama itu meluncur dari bibirnya yang mabuk.
Arsen terkejut dan langsung memandang sekeliling, khawatir nama itu terdengar orang lain. “Ssst! Nath, jangan nyebut nama Haifa di sini! Lo mau anak kampus kita heboh?” bisiknya tegas.
Namun Nathan hanya tertawa hambar, kehilangan arah. “Gue... nggak peduli lagi, Arsen...”
Arsen mendesah berat, menggenggam lengan Nathan dengan tegas. “Udah, ayo kita pulang. Ini udah malam. Lo nggak bisa terus begini!”
Dengan susah payah, Arsen membopong tubuh Nathan yang sempoyongan keluar dari bar.
Malam semakin larut saat mereka menuju apartemen Nathan, di mana keheningan akhirnya menyelimuti mereka meski kekacauan di hati Nathan masih terus bergema.
......................
Di tengah hening malam yang hanya ditemani suara monitor alat medis, Gus Zayn tetap setia duduk di samping ranjang Haifa.
Wajahnya memancarkan kelelahan, namun matanya tetap berusaha terjaga meski rasa kantuk mulai menyerang.
"Haifa, cepatlah siuman. Sudah belasan jam kamu belum bangun," bisiknya pelan dengan nada yang penuh harap.
Sorot matanya menatap wajah Haifa yang masih terlelap, meski tubuh gadis itu dipenuhi selang dan alat bantu pernapasan.
Namun di balik semua itu, wajah Haifa tetap terlihat tenang, seolah tengah bercanda dengan waktu yang berjalan lambat.
Gus Zayn menutup mukanya dgn frustasi. "Yaa Allah, sadarkan lah Ifa... berikan dia kekuatan," ucapnya lirih, nyaris seperti doa yang hanya bisa didengar oleh langit.
Lelah akhirnya menyeret Gus Zayn ke alam mimpi. Kepala yang bersandar di ranjang Haifa menjadi saksi bisu perjuangannya menjaga gadis yang kini diam-diam telah mengambil tempat dalam hatinya.
Sesaat sebelum tidur benar-benar memeluknya, bisikan lirih keluar dari bibirnya, "Ifa, bangunlah......kami masih membutuhkan mu."
......................
Di pagi yang hening, setelah selesai melaksanakan salat Subuh, Gus Zayn berdiri sejenak di sisi ranjang Haifa yang masih terbaring lemah. Namun, gerakan pelan jari-jari Haifa membuatnya terpaku.
"Haifa!" serunya penuh harap, mendekat dengan langkah cepat.
Kelopak mata Haifa sedikit bergerak, meski pandangannya masih samar. Ia menatap Gus Zayn tanpa ekspresi. "Siapa kamu?" tanyanya lemah, membuat Gus Zayn terdiam sejenak.
"Haifa, ini aku, Zayn," ujarnya lembut, suaranya serak menahan emosi.
Namun Haifa hanya menggeleng pelan, kebingungan semakin tampak di wajahnya. Gus Zayn segera memanggil dokter untuk memeriksa kondisi Haifa.
Setelah pemeriksaan selesai, Dokter Novi mengajak Gus Zayn berbicara di luar kamar.
"Mas, boleh kita bicara sebentar?" ucap dokter dengan nada serius.
Gus Zayn mengangguk, hatinya berdebar tak karuan. "Ada apa, Dok?"
Dokter Novi menghela napas panjang. "Maaf, Mas. Berdasarkan gejala yang saya lihat, Mbak Haifa mengalami amnesia pascatrauma. Kemungkinan besar jenis amnesia ini melibatkan amnesia retrograde."
"Amnesia retrograde?" ulang Gus Zayn bingung. "Maksudnya apa, Dok?"
"Amnesia retrograde adalah kondisi di mana seseorang kehilangan ingatan yang terjadi sebelum trauma. Artinya, Mbak Haifa mungkin lupa kejadian-kejadian baru-baru ini, tapi masih mengingat hal-hal di masa kecilnya," jelas Dokter Novi dengan nada prihatin.
Gus Zayn membekap wajahnya dengan kedua tangan, matanya memerah. "Jadi, Haifa tidak ingat apa pun yang terjadi baru-baru ini?"
"Benar sekali, Mas. Tapi ingatan masa lalunya mungkin tetap utuh. Untuk kesembuhannya, kita harus melakukan terapi secara bertahap. Ingatannya bisa pulih, tapi butuh waktu," ujar dokter dengan penuh pengertian.
"Ya Allah...," lirih Gus Zayn, suaranya nyaris pecah. "Tolong bantu Haifa, Dok. Saya mohon."
"Tentu, Mas. Kami akan melakukan yang terbaik," jawab Dokter Novi meyakinkan.
Tak lama setelah itu, Ummi Shofiah datang tergesa-gesa. "Maaf, Nak, Ummi telat," ucapnya dengan napas tersengal.
Gus Zayn berusaha menenangkan dirinya dan tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Ummi."
"Bagaimana kondisi Haifa? Dia baik-baik saja, kan?" tanya Ummi cemas.
Gus Zayn menunduk, senyum getir tersungging di bibirnya. "Ummi, sebaiknya Ummi temui Haifa dulu. Dia... Dia tidak mengenali Zayn."
Air mata mulai menggenang di mata Ummi Shofiah. "Ya Allah, Ifa..."
Dengan langkah berat, Ummi memasuki kamar inap. Haifa tampak duduk di ranjang, memandangi ruangan itu dengan mata bingung.
"Ummi... Ummi!" panggil Haifa lirih saat melihat sosok yang mendekat. "Ifa... Ifa di mana, Mi? Kenapa semua ini terasa asing?"
Ummi Shofiah menghampiri, menggenggam tangan Haifa yang dingin. "Sayang... Ifa di rumah sakit, Nak," jawabnya sambil menahan air mata.
"Rumah sakit?" ulang Haifa, nadanya penuh kebingungan. "Kenapa Ifa di sini? Apa yang terjadi, Mi?"
Haifa menatap Ummi dengan sorot mata penuh ketakutan. Ummi Shofiah tak kuasa lagi menahan tangis. Ia menarik Haifa ke dalam pelukannya, berusaha menenangkan anaknya.
"Semua akan baik-baik saja, Nak. Ummi di sini, Zayn di sini. Kamu tidak sendirian," bisik Ummi sambil mengusap punggung Haifa.
Di luar pintu, Gus Zayn berdiri membisu, menyaksikan pemandangan itu dengan hati yang tersayat. Bibirnya bergetar saat ia memejamkan mata, berdoa dalam diam.
"Ya Allah, beri kekuatan kepada Haifa... dan tunjukkan jalan bagi kami untuk membantunya kembali pulih. Hanya kepada-Mu aku memohon."