Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24-Bahasa Rindu
Kerikil kecil yang dibiarkan, tanpa ada niat untuk disingkirkan, suatu saat akan membahayakan. Begitu pula dengan masalah, sekecil apa pun jika tak langsung diselesaikan pasti akan menjadi konflik yang berkepanjangan.
Mengikuti hawa nafsu memang tidak akan pernah menemukan titik temu. Tapi, salahkah jika aku meminta waktu untuk sekadar menepi dan menenangkan hati?
Jujur saja, saat ini aku benar-benar butuh kesendirian, untuk menelaah berbagai rasa yang tumpang tindih tak keruan.
"Abang bisa tidur di kamar lain kalau kamu nggak nyaman."
Aku yang saat itu belum terpejam dan masih berusaha untuk menghadirkan kantuk, sama sekali tak merespons. Mungkin Bang Fariz bisa merasakan kegelisahan yang saat ini tengah menghimpitku.
"Kamu perlu waktu, Abang akan pahami itu," imbuhnya lantas bergerak turun dari ranjang.
"Jangan. Aku gak mau sampai ketahuan Mama," cegahku menahannya.
Bang Fariz tersenyum tipis. "Nggak usah mengkhawatirkan soal Mama, itu urusan Abang. Lebih baik Abang kena semprot Mama, dibanding harus lihat kamu gak bisa tidur kayak sekarang. Kamu perlu istirahat."
Setelah mengatakan itu Bang Fariz benar-benar melangkah pergi. Aku pun hanya bisa menatap atap kamar dengan tangan yang sengaja dijadikan sebagai bantal.
Dosakah jika aku memperlakukan Bang Fariz seperti ini?
Antara ego dan hati saling berperang, mengutarakan hal yang berlainan. Membuat kepalaku semakin pening, dan tanpa sadar air mata kembali mengalir tanpa persetujuan.
Menangis tanpa suara, menahan sesak di dada, seolah dunia tengah baik-baik saja. Padahal, hatiku sedang porak-poranda.
Menjalin hubungan dengan seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya merupakan awal dari sebuah petaka. Secara sadar saling menyakiti, hingga tega mengenyampingkan rasa yang tersimpan dalam dada.
Suara ketukan pintu spontan membuatku segera menghapus linangan air mata. Sejenak merapikan rambut dan mengambil khimar instan lalu memakainya dengan kecepatan kilat.
Aku sedikit terkejut saat mendapati Mama yang tengah berdiri dengan nampan berisi semangkuk soto, lengkap dengan air minumnya.
"Barusan ada tukang soto keliling, kasihan dagangannya belum habis, padahal sudah malam. Mama keinget kamu, jadi Mama beliin deh," terangnya tanpa diminta.
Aku tersenyum tipis. "Sebenernya masih kenyang, tapi kalau untuk soto aku nggak akan bisa nolak."
Mama terkekeh pelan. "Ya udah mau makan di mana?"
Aku mengambil alih nampannya. "Makan di kamar nggak papa, kan, Ma?" tanyaku meminta persetujuan.
Mama mengelus puncak kepalaku lembut. "Di mana pun, akan Mama izinkan. Boleh Mama temani makan?"
Aku mengangguk cepat. Tak ada alasan untuk menolak, apalagi beliau sudah sangat berbaik hati.
Kami duduk di sofa yang memang sengaja disediakan di kamar. Mama benar-benar menemaniku makan, sesekali kami saling berbincang, dan melempar tawa sampai tidak sadar mangkuk berisi soto itu sudah habis tak tersisa.
"Mata kamu kenapa? Kok sembab?" tanya Mama. Dengan lembut dan penuh perhatian beliau mengusap bagian bawah mataku.
Sebisa mungkin aku mengukir senyum paling lebar. "Ah, masa? Perasaan Mama aja kali," kilahku.
Mama hanya mengangguk pelan. "Oh, ya besok kalian pulang, kan?"
"Iya, emangnya kenapa, Ma?"
Tiba-tiba saja Mama menarik tanganku dalam genggaman. "Menginap di sini, dua sampai tiga hari lagi yah."
Aku sedikit mengernyitkan kening. Tidak biasanya beliau mencegah kepulangan kami. "Kalau aku terserah Bang Fariz aja, Ma."
"Nanti Mama yang bilang Fariz, sekarang ke mana anak itu?" tanya Mama seraya celingukan.
Aku mendadak gelagapan. Bingung dalam memilih alasan. Hingga akhirnya ...,
"Apa ada hubungannya sama mata sembab kamu, Nak?" tanya beliau sangat lembut, bahkan senyumnya pun sangat menenangkan.
Aku tak menjawab, hanya bisa menunduk dalam.
Mama menangkup wajahku agar menatap ke arahnya, bahkan ibu jari beliau begitu leluasa mengusap kedua pipiku. "Mama nggak akan ikut campur masalah rumah tangga kalian, Mama juga nggak mau tahu apa yang saat ini tengah kalian ributkan."
Beliau menjeda kalimatnya, mencium keningku singkat lantas kembali berucap, "Tapi Mama harap kalian bisa segera menuntaskannya, karena Mama nggak mau melihat anak-anak Mama berselisih paham. Kalian harus akur dan rukun."
Mendengar penuturan Mama, air mataku kembali mengalir tanpa izin. Sebisa mungkin aku menyembunyikan isakan, karena tak ingin membuat beliau semakin kepikiran.
Tanpa kata Mama memelukku, dengan penuh kasih sayang beliau mengelus punggungku. Cara beliau dalam menenangkan memang patut diacungi jempol. Tidak perlu bersuara, cukup berikan aksi nyata.
"Sudah tenang?" tanyanya beberapa saat kemudian.
Aku pun mengangguk pelan.
Pelukan kami yang memang sudah terurai, memudahkan Mama untuk menghapus jejak-jejak air mata yang begitu jelas di wajahku.
"Mau istirahat atau cerita sama Mama? Biasanya perempuan akan lebih merasa tenang kalau sudah dikeluarkan. Sekali lagi Mama tekankan, Mama nggak akan maksa kamu untuk memilih opsi kedua."
Aku kembali menunduk dalam. "Bang Fariz belum selesai dengan masa lalunya, Ma."
Terdengar helaan nafas singkat. Aku pun sontak mengangkat kepala.
"Maafkan Putra Mama yah, Nak."
Aku cukup terhenyak saat beliau mengutarakan permohonan maaf.
"Mama nggak bisa membenarkan tindakan Fariz, karena Mama tahu itu keliru. Mama juga nggak akan menghakimi kamu. Kalian sudah sama-sama dewasa, sudah tahu bagaimana caranya mencari solusi dari sebuah permasalahan."
"Tapi Mama mau sedikit memberi saran, jangan biarkan ego menguasai. Jangan terlalu larut dalam masalah, kalau terus dibiarkan akan jadi boomerang. Mama mau yang terbaik untuk kalian," tukas beliau.
Aku hanya bisa diam menyimak apa pun yang Mama katakan. Bibirku mendadak kelu.
"Sekarang Fariz di mana?"
Aku menggeleng pelan.
Mama tersenyum simpul. "Mau diselesaikan sekarang atau besok? Mama nggak bisa tidur nyenyak kalau tahu kalian ribut."
"Aku masih perlu waktu, Ma. Aku takut emosi lagi kalau harus sekarang juga diselesaikan."
Mama mengangguk setuju. "Ya udah kalau gitu Mama temani kamu tidur. Mama mau memastikan kalau kamu bisa tidur dengan nyenyak."
Beliau ini sangat amat perhatian dan penuh kasih sayang, padahal statusku hanya sebatas menantu.
Aku mengangguk setuju.
Sebelum kembali naik ke ranjang, aku menggosok gigi dan mencuci muka terlebih dahulu, tak lupa aku pun mengambil wudhu. Kuambil tasbih yang berada di atas nakas lantas berbaring di sisi Mama.
Kebiasaanku jika sedang dilanda kegundahan, agar kantuk datang, ya hanya dengan cara berdzikir. Oleh, sebab itulah aku selalu membawa serta tasbih.
Tidurku akan terasa damai serta tenang, bahkan tidak ada satu pun mimpi yang menyapa. Pikiranku benar-benar istirahat total, dan saat terbangun di pagi hari nanti. Semua akan terasa lebih baik.
Sejatinya ketenangan memang tidak perlu jauh-jauh dicari, sebab adanya di relung hati yang senantiasa mengingat Sang Illahi.