Sebenarnya, cinta suamiku untuk siapa? Untuk aku, istri sahnya atau untuk wanita itu yang merupakan cinta pertamanya
-----
Jangan lupa tinggalkan like, komen dan juga vote, jika kalian suka ya.
dilarang plagiat!
happy reading, guys :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Little Rii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Ibra
Aira masih fokus dengan jajanan yang sedang ia beli, tanpa menyadari ada orang lain di sampingnya.
"Aira," panggil orang itu membuat Aira langsung menoleh. Seketika Aira tersenyum canggung ke arah Ibra.
"Mas Ibra?"
"Iya, ini saya. Oh ya, kamu ngapain di sini?"
"Beli makanan," jawab Aira semakin canggung, apalagi mereka hanya berdua saja di depan pedagang bakso bakar.
"Iya, saya tau itu. Maksud saya, kamu ngapain di sini? Nemenin Aryan?"
"Iya, nemenin mas Aryan. Kalau mas sendiri? Ini kan bukan rumah sakit, kenapa di sini?"
"Eum, tadinya sih mau ketemu Aryan, ada yang mau di obrolin bentar. Tapi, karena Aryan lagi rapat, lain kali aja," jelas Ibra mengeluarkan dompetnya, lalu membayar jajanan Aira.
"Eh, gak usah, Mas. Aku punya uang kok," seru Aira merasa tak enak kalau harus menerima traktiran, ia takut ada yang salah paham nanti.
"Gak papa, anggap aja traktiran karena kita ketemu lagi. Kalau gitu, saya pergi dulu ya, mau ke rumah sakit."
"E-eh, iya. Makasih ya, mas Ibra. Semoga rezeki-nya lancar selalu," ucap Aira tersenyum kikuk. Ibra pun mengangguk sembari tersenyum tipis, lalu masuk ke mobilnya.
Setelah mobil Ibra pergi, Aira bergegas masuk kembali ke kantor. Ia harus berada di ruangan suaminya, sebelum suaminya selesai rapat, seperti janji di awal.
Sesampainya di ruang kerja suaminya, Aira meletakkan jajanan di atas meja, lalu duduk di sofa dan meluruskan kakinya. Ternyata lelah juga berjalan dengan perut sebesar ini.
Setelah dirasa rileks, Aira pun mulai memakan jajanan yang ia beli tadi. Suaminya masih rapat, jadi ia bisa bebas makan, tanpa ada larangan ini dan itu.
Kalau dipikir-pikir, hubungannya dengan sang suami mulai membaik dan ada kemajuan. Meski begitu, Aira belum melihat setitik cahaya pun tentang berakhirnya hubungan suaminya dengan Diana.
Apa ini hanya sebentar? Mungkinkah Aryan begini karena sedang bertengkar dengan Diana? Entahlah! Aira lelah terus berpikir negatif, tapi, suaminya sudah terlanjur menanamkan sisi negatif itu padanya.
Beberapa menit kemudian.
Aryan sudah selesai rapat dan kini baru saja masuk ke ruang kerjanya.
"Udah selesai, mas?" tanya Aira sembari membuang sampah jajanan yang sudah habis.
"Iya, baru aja selesai. Kamu tadi makan apa?" sahut Aryan meletakkan laptop-nya di meja kerjanya.
"Banyak," jawab Aira kembali duduk di sofa. "Oh ya, tadi aku juga ketemu sama mas Ibra, katanya dia pengen ngobrol sama mas, tapi mas lagi rapat," ujar Aira membuat Aryan langsung menatapnya dengan tatapan aneh.
"Bicara apa sama Ibra?" tanya Aryan dengan perasaan aneh. Seperti kesal, malas, muak dan juga takut.
"Ha? Maksudnya?"
"Kamu bicara apa aja sama Ibra?"
"Oh, gak ada sih. Mas Ibra cuma nanya kenapa aku di sini, terus ngejelasin kenapa dia di sini. Itu aja," jelas Aira dengan baik, namun terlihat ada raut wajah tak puas dari wajah Aryan.
"Terus mas Ibra traktirin aku bakso bakar, mas. Padahal aku bisa bayar sendiri, tapi udah terlanjur di bayarin," lanjut Aira masih terlihat santai, padahal sebenarnya Aira ingin mencari gara-gara. Ia ingin melihat, seperti apa respon suaminya.
"Mana bakso bakarnya?"
"Udah habis," jawab Aira tersenyum manis, lalu menunjuk perutnya yang besar. "Udah di sini baksonya," lanjutnya lalu tertawa.
Melihat istrinya tertawa, entah kenapa Aryan jadi tak tega untuk marah. Ia pun menghela nafas panjang, lalu menyentuh ponselnya.
Aryan membuka aplikasi m-banking, mentransfer sejumlah uang ke nomor rekening Ibra. Untungnya ia pernah melakukan transaksi ke nomor rekening temannya itu, jadi ia tak perlu meminta ulang nomor rekeningnya yang pastinya tidak akan diberikan.
"Duit bakso bakar istri gue. Lain kali lo gak perlu ngeluarin sepeser pun buat istri gue! Thanks."
Setelah mengirim pesan bukti transfer, Aryan pun meletakkan kembali ponselnya, lalu kembali fokus dengan pekerjaannya.
Sesekali ia melirik istrinya yang terlihat mengantuk, padahal belum jam makan siang.
Bunyi pesan masuk dari ponsel Aryan, membuat laki-laki itu langsung membuka aplikasi pesan.
Ibra.
"Padahal gue ikhlas loh, Yan. But, it's okay, thanks ya. Lain kali gue bakalan ngelakuin hal yang sama, hahaha. Soalnya seru aja gitu dapat transferan dari lo."
"Ck, bangs*at lo, Ibra!" Aryan meletakkan kembali ponselnya, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Setelah itu, ia pun menatap ke arah istrinya yang sudah tertidur dengan posisi bersandar. Pasti tidak nyaman.
Sepertinya ia akan mengantar Aira pulang siang nanti. Kasihan istrinya yang kesusahan dengan kondisi perut sebesar itu.
Bunyi pesan masuk kembali terdengar, kali ini sepertinya spam. Aryan berdecak kesal karena mengira itu adalah Ibra. Namun, ternyata dari Diana, membuat Aryan semakin kesal, apalagi ia tak sengaja langsung membuka pesan itu.
Diana.
"Iyan, mama aku meninggal."
"Hari ini bakalan di makamin. Kamu hadir ya, untuk terakhir kalinya."
"Walau gimana pun, mama pernah sesayang itu sama kamu dan kamu pun gitu ke mama. Aku mohon, kamu datang ya."
"Aku butuh kamu."
"Innalillahi wainnailaihi roji'un. Ya Allah, tante Sinta meninggal. Sakit apa?" gumam Aryan merasa terkejut. Namun, semenit kemudian ia mulai merasa bimbang.
Sekarang ia harus bagaimana? Apa ia datang saja? Lalu Aira bagaimana? Ia takut terjadi kesalahpahaman lagi.
Tapi ini sedang dalam kondisi berduka. Seperti kata Diana, ia dulu pernah sesayang itu pada bu Sinta. Tidak mungkin ia tak hadir di pemakaman.
Siang harinya.
Setelah shalat Dzuhur di Mushollah kantor, Aryan berencana mengantar Aira pulang ke rumah dan akan pergi ke kediaman Diana sebentar, untuk melayat.
"Kita pulang, mas?" tanya Aira saat mereka sudah di dalam mobil.
"Iya."
"Terus mas berangkat kerja lagi? Atau kerjaanya udah selesai?" tanya Aira menatap suaminya yang fokus mengemudi.
"Saya cuma nganter kamu aja, setelah itu pulang ke kantor lagi."
"Oh, kirain udah selesai."
Di sisi lain.
Diana memeluk foto ibunya sembari termenung diantara kerumunan para pelayat. Ibunya sudah dimakamkan dan ia baru saja pulang dari makam, meski sebenarnya ia tak mau pulang.
"Na, kalau capek istirahat aja dulu, biar papa sama yang lain jaga di sini," ujar pak Herman dengan tatapan sendu.
Diana pun menatap ke arah para pelayat, lalu mengangguk pelan. Sepertinya ia memang harus menyendiri, toh yang ia tunggu kehadirannya tak kunjung datang juga.
"Assalamualaikum."
Saat Diana baru saja berjalan lima langkah dari tempatnya, suara orang yang di tunggu-tunggu akhirnya terdengar juga. Diana pun langsung tersenyum senang melihat Aryan.
"Iyan, akhirnya kamu dat...., eh."
"Kami turut berduka atas kepergian tante Sinta, om. Semoga amal ibadah tante diterima di sisi-Nya, dan Om sama keluarga selalu diberi kelapangan dada," ucap Aryan setelah meenyalam pak Herman.
"Aamiin ya Allah. Makasih, Aryan. Maafin istri om ya kalau dia ada salah," sahut pak Herman dan langsung diangguki oleh Aryan.
Diana hanya bisa menatap Aryan dari kejauhan dengan tatapan penuh luka. Yang ia harapkan datang, ternyata tidak datang sendirian, melainkan dengan istrinya.
Kenapa Aryan tega? Kenapa Aryan membawa Aira di saat hatinya sedang hancur.
padahal bagus ini cerita nya
tapi sepi
apalagi di tempat kami di Kalimantan,
jadi harus kuat kuat iman,jangan suka melamun
ngk segitunya jgak kali
orang tuanya jgk ngk tegas sama anak malah ngikutin maunya anak
emak sama anak sama aja
si aryan pun ngk ada tegasnya
.