Pernikahannya dengan Serka Dilmar Prasetya baru saja seminggu yang lalu digelar. Namun, sikap suaminya justru terasa dingin.
Vanya menduga, semua hanya karena Satgas. Kali ini suaminya harus menjalankan Satgas ke wilayah perbatasan Papua dan Timor Leste, setelah beberapa bulan yang lalu ia baru saja kembali dari Kongo.
"Van, apakah kamu tidak tahu kalau suami kamu rela menerima Satgas kembali hanya demi seorang mantan kekasih?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Pertengkaran
Satu per satu para penjemput personil satgas, mulai meninggalkan kesatuan, termasuk Dilmar dan keluarganya. Sementara Vela dan Vero, langsung berpamitan pulang ke rumah, dengan alasan tidak ingin membiarkan ibunya lama sendirian di rumah.
Kepergian keluarganya Dilmar, mendapat tatap kecewa dari Sela. Sela mengepalkan tangannya dengan kuat. Seandainya ia tidak mendapatkan ancaman dari orang yang mengaku kakaknya Dilmar, mungkin saja rencananya hari itu mulus seperti yang diharapkannya.
"Gara-gara perempuan yang mengaku kakaknya Kak Dilmar, rencanaku gagal. Tapi semua bisa gagal kerena istrinya Kak Dilmar yang sepertinya sudah bercerita pada orang yang mengaku kakaknya Kak Dilmar. Semua jadi gagal total. Padahal aku yakin, Kak Dilmar masih mencintai aku, terlihat dia begitu antusias ketika bisa bertemu lagi denganku," bisik Sela dalam hati seraya mulai melangkahkan kakinya menuju sebuah mobil yang menjemputnya pulang.
Setengah jam kemudian, mobil orang tua Dilmar sudah tiba di rumah Dilmar. Sesuai permintaan Dilmar sebelumnya, Pak Harun langsung mengarahkan mobilnya ke rumah Dilmar.
Kedatangan mereka disambut Deby dan suaminya yang ternyata sudah berada di kediaman Dilmar. Deby dan suaminya segera menyambut kepulangan Dilmar. Deby memeluk adik semata wayangnya yang kini sudah tidak bisa dianggap adik manisnya lagi, terbukti Dilmar sudah nakal dan mengkhianati Vanya.
"Kakak senang kamu kembali. Kalau masih lama di sana, bisa-bisa kamu lupa istri dan keluarga," ucap Deby terdengar sinis, tapi Dilmar menganggapnya hanya bercanda. Karena biasanya, kakak semata wayangnya itu sering menggodanya dan bercand. Jadi, ejekan-ejekan apapun bagi Dilmar sudah biasa.
"Tentu saja aku kembali dong, Kak. Aku juga sudah rindu dengan kakakku tercinta yang paling jail dan bawel ini," balas Dilmar tersenyum. Deby menatap sinis wajah adiknya yang cengengesan tanpa dosa. Rupanya Dilmar memang belum tahu kalau ternyata perselingkuhannya sudah diketahui kakak dan Vanya, sehingga Dilmar tidak menyadari bahwa sikap sang kakak yang sinis itu akibat dirinya yang telah mengkhianati Vanya.
Setelah menyalami sang kakak, Dilmar kini menyalami dan merangkul suaminya Deby. Mereka berbasa-basi sedikit di sana.
Acara kebersamaan keluarga itu tidak semata menjemput atau menyambut kepulangan Dilmar saja, setelahnya mereka melanjutkan kebersamaan itu dengan makan bersama.
Bi Jumsih yang sengaja didapuk oleh Bu Sonia untuk memasak di rumah Dilmar, sudah menyiapkan menu spesial di meja makan yang menggugah selera.
Pak Harun segera menggiring anak dan menantunya menuju meja makan. Di sini, Vanya kembali berperan layaknya istri setelah mendapat kode dari Deby. Vanya melayani Dilmar, mengambilkan piring dan nasi serta lauk di atasnya. Acara makan bersama itu, sekilas berjalan dengan penuh kehangatan satu sama lain. Namun, tidak dengan Vanya dan Dilmar. Sesekali mereka justru terlihat tegang saat Deby mencuri tatap ke arah mereka.
"Benar-benar sandiwara yang luar biasa," batin Deby miris.
Makan bersama telah selesai, mereka kini melanjutkan kebersamaan mereka di sebuah ruang keluarga. Terjadi obrolan-obrolan kecil di sana, bahkan Dilmar menceritakan pengalamannya selama tugas di perbatasan, baik suka dan duka. Vanya pun berbaur dengan Deby sang kakak ipar, sejenak Vanya bisa tertawa lepas, meskipun nanti setelah kepulangan kedua mertua dan kakak iparnya dari rumah Dilmar, suasana canda dan tawa itu akan sirna kembali.
Waktupun semakin bergulir, obrolan dan kebersamaan mereka di rumah Dilmar, tidak terasa telah mengantarkan mereka pada jam tujuh malam. Dengan terpaksa Bu Sonia dan Pak Harun serta Deby dan suaminya, berpamitan.
Sebelum Deby benar-benar pamit, Deby membisikkan sesuatu di telinga Vanya. Entah apa yang dibisikan Deby. "Nanti jika ada apa-apa, kamu langsung hubungi kakak," ucap Deby. Setelah itu dia melangkah meninggalkan Vanya yang nampak sedih.
Mobil kedua orang tua Dilmar dan Deby mulai meninggalkan halaman rumah Dilmar. Sebelum menghilang, Vanya dan Dilmar masih menatap dan melambaikan tangan pada mereka.
Kini hanya tinggal mereka berdua di dalam rumah itu. Tidak ada pembantu di rumah itu, Dilmar memang sejak mendiami rumahnya, tidak menyewa jasa ART. Baginya semua pekerjaan rumah bisa dia dan Vanya handle tanpa bantuan orang lain.
Vanya melangkahkan kaki ke dalam tanpa menoleh pada Dilmar. Dilmar segera menyusul, lalu menutup pintu rumah tidak lupa menguncinya.
Dengan cepat Dilmar meraih tangan Vanya dan membawanya ke kamar mereka. Vanya berusaha menepis tangan Dilmar, tapi Dilmar tidak kalah tenaga. Cengkraman tangannya walau terlihat tidak menekan kuat, tapi rupanya susah dilepaskan. Bagi Dilmar, lengan Vanya kecil.
"Brughhhh."
Pintu kamar tertutup kencang dan rapat. Dentumannya bersamaan dengan degup jantung Vanya yang tersentak. Melihat keadaan seperti itu Vanya menjadi takut, takut Dilmar berbuat kasar secara fisik padanya.
Dilmar mencengkram kedua tangan Vanya hanya dengan satu tangan, lalu memepet tubuh Vanya yang lebih kecil daripadanya ke dinding. Vanya semakin ketakutan, sudut matanya kini mulai menggumpal bening-bening yang siap jatuh.
"Jelaskan kenapa sikapmu seperti ini, Vanya? Aku baru pulang dari tugas, tapi sikapmu memuakkan. Kamu tidak menyambut aku dengan penuh cinta dan keceriaan yang biasa kamu berikan di hadapanku. Jelaskan!" tegas Dilmar terlihat sangat marah sekali. Kini tidak ada lagi kalimat sayang atau panggilan abang yang selalu dia sematkan seperti sebelum mereka menikah.
"Lepaskan tangan Vanya, ini sakit Bang," mohon Vanya. Tidak menduga Dilmar bisa berbuat kasar seperti itu, Vanya seakan mulai terancam.
"Jelaskan dulu, nanti aku lepaskan." Cengkraman tangan Dilmar semakin kuat, membuat Vanya tidak kuat lagi dengan himpitan tubuh Dilmar.
Vanya berlinang air mata, melihat sikap Dilmar yang beringas seperti itu tanpa kelembutan, ia yakin dalam hati Dilmar sudah tidak ada cinta untuknya.
"Katakan, jangan memohon dengan linangan air matamu. Kenapa sikapmu abai selama ini, dan setiap telpon dariku tidak pernah kamu respon? Apa yang kamu lakukan selama aku tidak ada di sampingmu?" tekannya lagi membuat Vanya berpekik.
"Lepaskannnn. Vanya akan ceritakan semua kenapa Vanya seperti ini. Tolong le pas kan, hiks, hiks, hiks," mohon Vanya dengan derai air mata yang semakin banyak.
Dilmar menatap Vanya yang semakin terisak, dan Dilmar semakin kesal karena sejak tadi Vanya selalu menghindari wajahnya. Vanya seakan jijik bertatapan dengan Dilmar.
"Tatap dulu mataku seperti yang sering kamu lakukan semasa kita pacaran. Apakah kamu tidak merasa rindu dengan wajahku, Vanya? Kenapa, kenapa kamu menghindar dari wajahku?" sentak Dilmar membuat Vanya semakin takut.
"Vanya jijik melihat Abang. Jijik ...." pekiknya semakin keras tangisannya.
"Jijik, apa maksudmu?" Dilmar tidak terima lalu meraih dagu Vanya dan menatap wajah Vanya tajam. Vanya tidak berdaya, dia kini diam demi mengumpulkan tenaga untuk melepaskan tangan Dilmar.
Melihat Vanya diam, perlahan Dilmar melepaskan dagu Vanya dengan perlahan.
"Katakan kenapa sikapmu seperti ini, Vanya? Jelaskan?" desak Vanya.
"Bukankah sikap Vanya seperti ini karena semua Abang yang memulai? Seminggu sebelum kita menikah, apakah Abang masih ingat, sikap Abang yang berubah duluan? Abang tidak lagi hangat seperti sebelum kita menikah? Dan kini Vanya berusaha mewujudkan keinginan Abang."
"Keinginanku? Apa maksudmu?"
"Menjauh dari Abang," jawab Vanya. Dilmar tersentak, perlahan ia melonggarkan cengkraman tangannya di lengan Vanya.
nyesel atau marah sama Vanya....
lha gmn tidak ..ms Vanya masih kepikiran takut kalau gigi Dilmar ompong ...😁
𝗅𝖺𝗇𝗃𝗎𝗍 𝗒𝖺 𝗄𝖺