Bagiamana jika kehidupan seorang mafia yang terkenal akan ganas, angkuh atau Monster ternyata memiliki kisah yang sungguh menyedihkan?
Bagaimana seorang wanita yang hanyalah penulis buku anak-anak bisa merubah total kehidupan gelap dari seorang mafia yang mendapat julukan Monster? Bagai kegelapan bertemu dengan cahaya terang, begitulah kisah Maxi Ed Tommaso dan Nadine Chysara yang di pertemukan tanpa kesengajaan.
~~~~~~~~~~~
✨MOHON DUKUNGANNYA ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
O200DMM – BAB 15
MAXI BUKANLAH PRIA JAHAT???
Setelah saling mengenal serta memberikan teguran yang tak mengasikan. Miia berjalan pergi, Nadine benar-benar tidak menyukai keluarga tersebut, pantas saja Maxi bersikap buruk keluarganya pun juga sama.
“Aku Ina. Maxi adalah kakak ku, dan senang berkenalan denganmu.” Nadine tersenyum tipis menerima jabatan tangan Ina. Tak lama gadis yang lebih muda darinya tadi tiba-tiba memeluknya.
“Aku harap kamu bisa mengubah kakak ku, Nadine.” Bisik Ina, melepaskan pelukannya lalu tersenyum tipis dan pergi dari sana. Itu sangat aneh. Nadine melihat sejenak kepergian gadis muda tadi, meninggalkan rasa penasaran di benak Nadine.
“Jangan dengarkan nenek sihir Miia. Dia memang seperti itu sejak lahir hahaha!” Nadine masih tak menggubris ucapan dari wanita bertubuh langsing dan selalu berpakaian seksi.
“Ngomong-ngomong namaku Julia! Dan perlu di ingat bahwa aku istri Ericsson.” Nadine meraih tangannya sambil tersenyum tipis 1 detik. Setelah itu, Julia melipat kembali kedua tangannya ke depan dada. Nadine tak habis pikir, wanita cantik dan masih muda ternyata mau juga dengan pria yang lebih tua darinya.
-‘Benar-benar keluarga yang aneh.’ Batin Nadine seraya menggeleng pelan.
“Kini aku punya saingan kecantikan!” ucap wanita berambut blonde itu lalu berjalan pergi dengan di ikuti oleh seorang pria yang terus menatap Nadine dengan penuh nafsu dan jelalatan. Itu sama sekali tidak sopan, dan Nadine sangat membenci pria seperti itu.
Tatapan Nadine terus saja mengarah ke pria kurang ajar tadi yang terus tersenyum miring. Dia adalah Alex Morley, adik semata wayang dari Julia Scott. Pria itu cukup licik dan hidung belang jadi para wanita harus berhati-hati dengannya, karena dia pria gila dan hiperseks.
Nadine masih saja fokus ke arah perginya orang-orang tadi dengan mimik wajah datar. Dia sungguh berpikir, apakah dia akan tinggal bersama manusia-manusia seperti mereka? Banyak sekali keanehan serta rahasia yang mereka sembunyikan satu persatu.
“Biarkan saya mengantar anda nyonya.” Nadine tersentak kaget mendengar suara seseorang dengan tiba-tiba.
Gadis yang masih memakai pakaian yang sama itu, kini melihat ke sosok wanita tua seperti usia ibunya. Nadine tidak bisa jika dia terus bersikap kurang ajar, cukup dengan orang-orang tadi saja tapi tidak untuk pelayan bernama Doray itu.
Langkah kedua wanita tadi sangat lamban karena sesekali mereka juga saling berbincang dan mengenal. Seperti saat ini, Doray bercerita bahwa dia punya keluarga kecil di desanya, dan Nadine sendiri juga mengatakan bahwa dia seorang penulis buku anak-anak dan seorang yatim piatu.
“Maaf nyonya say--”
“Panggil Nadine saja. Bibi lebih tua dari saya!” pinta Nadine tersenyum tipis nan tulus. Baru kali ini Nadine akhirnya mau tersenyum dengan tulus pada salah satu seseorang yang ada di Mansion ErEd.
“Tapi itu tidak sopan.” Doray merasa sungkan karena dia tidak pernah mendapat teguran panggilan dari para majikannya yang lainnya. Bahkan seperti Julia dan Gery saja selalu bersikap kurang ajar padanya.
“Jika Bibi tidak memanggil namaku, aku tidak akan mau bicara lagi dengan Bibi.” Ancam Nadine. Doray semakin ketakutan, di sisi lain dia takut jika sampai tuan Maxi marah padanya.
Melihat hal itu, Nadine faham dengan apa yang Bibi Doray takutkan. “Dia tidak akan marah. Kita tidak perlu takut dengan orang-orang seperti mereka.” Jelas Nadine.
Kedua masih berjalan menuju kamar milik Maxi yang jarang di gunakan, karena pria itu lebih suka berada di rumahnya sendiri daripada berkumpul bersama keluarganya.
“Tolong jangan terlalu membenci tuan Maxi.” Nadine masih tidak peduli dan terus saja melangkah. Hal itu sangat sulit dia lakukan setelah semua yang di lakukan Maxi padanya sungguh tidak bisa di beri hati. Bahkan pria itu tidak peduli dengan air mata, kesedihan seseorang ataupun rintihan kesakitan dari para nyawa yang dia cabut.
“Dia pantas di benci.” Balas Nadine. Bibi Doray menunduk sedih.
“Tuan Maxi tidaklah seperti itu. Dia hanyalah anak kecil yang di paksa menjadi seorang pembunuh, apa dia pantas mendapatkan kebencian di saat dia tidak menginginkan hal tersebut?” Nadine menghentikan langkahnya. Sesuatu yang membuatnya tertarik dengan cerita yang baru saja di lontarkan bibi Doray.
Dengan wajah penuh tanya, Nadine menoleh ke bibi Doray yang kini masih memasang wajah sedih penuh keprihatinan.
“Apa maksud Bibi?” dahi Nadine sudah mengkerut penuh rasa ingin tahu.
“Tuan Maxi.. Mungkin sangat kejam, tapi dia tidak pernah sekalipun berucap kasar kepada saya.” Sangat patut di curigai, apakah itu benar? Nadine sendiri melihat bagaimana cara Maxi berbicara tak sopan kepada pamannya maupun ibunya. Tapi apa yang barusan dia dengar? Bahwa pria sialan itu tak pernah berucap kasar ke seorang pelayan.
Ada apa ini?
Sementara di ruang kerja Ericsson. Terdengar suara cekcok, suara pria tua yang sangat tinggi dan kasar sedangkan pria yang satunya menanggapi dengan santai karena dia memang tidak suka berdebat panjang-panjang. Mungkin karena yang mengajak debat adalah pamannya, jadi Maxi masih bisa menahan amarahnya.
“Atas izin siapa kamu bisa menikahinya Tomasso?” Ericsson yang saat ini berdiri dengan emosi meluap. Sedangkan Maxi hanya duduk santai di sofa sambil terus memandangi pamannya dengan senyuman miring serta ketajaman mata.
“Aku tidak perlu meminta izin siapapun paman. Aku berhak menentukan hidupku sendiri.” Pria itu berpaling ke depan.
Ericsson sangat terkejut-- sejak kapan Maxi selalu melawannya? Apalagi menikahi wanita yang seharusnya menjadi ancaman bagi mereka. “Sejak kapan kamu berubah?” suara Ericsson memelan layaknya seorang ayah.
Maxi seolah tidak suka dengan pertanyaan dan nada bicara tersebut. Pria berpawakan gagah yang awalnya duduk, kini beranjak dari sofa berjalan perlahan mendekat ke arah pamannya berdiri.
“Ada masanya seseorang akan berubah. Aku sangat berterima kasih karena kau sudah membuatku menjadi seorang monster. Aku akan tetap menjadi monster yang kau inginkan, tapi aku juga akan tetap menikahi Nadine.” Ericsson menelan salivanya kasar, peluh mulai merambat di pelipisnya. Suara Maxi benar-benar sangat dingin penuh penekanan.
Tak bisa berkata-kata lagi, Ericsson hanya bungkam. Jika boleh jujur, dia sebenarnya takut jika harus memancing kemarahan Maxi.
Pria dengan sorot tajam tadi hendak melangkah namun ia urungkan kembali, menoleh ke pamannya yang masih tak bisa berkutik. “Panggil aku Maxi paman, aku harap kamu mengerti.” Setelah itu dia baru melangkah pergi.
.
.
.
Di dalam kamar dengan dekorasi modern, elegan dan mewah, namun hanya berwarna hitam putih sungguh membuat mata Nadine Kemang. Bukan itu sekarang, gadis yang sudah sampai di kamar, terus saja memikirkan ucapan dari bibi Doray mengenai sikap Maxi yang sangat bertolak belakang dari apa yang dia lihat sendiri.
“Jika dia bersikap baik lalu kenapa dia bersikap buruk pada keluarganya sendiri? Dia benar-benar gila.” Gerutu Nadine. Dia jadi ikut bingung sendiri.
Namun di sisi lain, Nadine juga sedikit percaya ketika dia juga sudah melihat tingkah keluarga Maxi sendiri yang sangat-sangat menyebalkan.
kl menyukai ,kenapa nggak d ulangi n lanjut next yg lebih hot.
( berimajinasi itu indah.. wk wk wkk )
kl sekarang mau kabur,apa nggak puyeng liat jalur melarikan dirinya.jauuuub dr kota.awak d ganggu pemuda2 rese LG lho.
tadinya baca cerita luna almo dulu sih..untuk maxi nadine ini ditengah udah mau menyerah krn alurnya lambat ya..tapi penasaran jadi ttp aku baca..dan kesimpulannya bagus banget walaupun banyak bab yang menguras emosi..terimakasih kak author..