Satu digit, dua, tiga, empat, lima, hingga sejuta digit pun tidak akan mampu menjelaskan berapa banyak cinta yang ku terima. Aku menemukanmu diantara angka-angka dan lembar kertas, kau menemukanku di sela kata dan paragraf, dua hal yang berbeda tapi cukup kuat untuk mengikat kita berdua.
Rachel...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon timio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aroma Siapa Ini
Hari-hari menjelang rapat terbuka Rachel benar-benar memaksa dirinya sendiri agar segera merampungkan proyeknya itu. Ia benar-benar menekan perasaannya. Ia mensugesti dirinya untuk melupakan sejenak tentang Vano dan Bella. Pasalnya ia sendiri bingung, Vano tidak menceritakan apapun, tidak membahas apapun, tidak menyinggung apapun soal Bella. Soal perjodohan itu jika memang benar.
Ia juga ragu untuk memastikan itu benar atau hanya bualan. Jika bualan? Untuk apa? Toh juga Bella tidak tahu tentang hubungannya dengan Vano, dan untuk apa pula wanita terhormat sekelas Bella berbohong soal hal privasi begitu. Pokoknya itulah yang mati-matian di tekannnya, ia harus fokus untuk misinya sendiri.
Apapun yang terjadi, Vano harus diselamatkan terlebih dahulu. Entah pun dunia akan menertawainya sebagai si bodoh yang buta akan cinta, biar lah. Mau dikata bagaimana juga ia memang cinta, se cinta itu. Meski pada akhirnya ia akan menjadi si pesakitan yang dimanfaatkan, tidak apa. Ia tulus.
Bodoh, bodoh sekali.
Dua kata yang keluar dari bibir cantik Bella masih terngiang hingga hari ini di telinganya "calon tunangan". Ia tidak pantas juga untuk menanyakan itu pada Vano. Dan sepertinya kadar sakit itu terus bertambah menjelang rapat terbuka yang memusingkan itu.
"Emoticon gua ngakak sama senyum anjir, tapi hati gua kayak dimutilasi dengan sangat rapi. Aohhh... Emang lu ngarepin apa Rachel... Hehehe..", ia terkekeh miris.
"Udah mulai terang-terangan kayaknya, bisa yuk Hel bisa, lu udah pernah dapet yang lebih sakit kok. Hiks... Anj!n9 gua ngapain nangis, hiks... Hiks.... ", ia menumpukkan tangannya sebagai bantalan dan menangis keras disana.
Setidaknya ruangan yang menjadi saksi manis dan indah perjalanan cintanya dengan Vano ini, menjadi tempat yang paling sempurna juga untuk menangis, tidak akan ada juga yang mendengar.
Malam harinya, ia tiba di rumah. Rumah nya kelewat hening, bahkan gelap seperti tidak ada penghuninya. Seluruh badan dan hatinya sedang sakit, malam ini tidak ada pelukan yang menyambutnya sepulang dari luar.
"Ahh iya, dia kan lagi kencan, wajar lah belum pulang. Lagi check in juga mungkin." Hatinya benar-benar remuk.
Entah apa saja bayangan yang sudah menari-nari di pikirannya. Apakah Vano akan beraksi sama seperti ketika bersamanya? Apakah Vano juga akan menc!um Bella seperti yang ia lakukan padanya? Apakah? Apakah? Apakah? Apakah? Otaknya panas.
Rachel masih sibuk mempelajari materinya, persiapannya sudah lengkap. Tinggal menghapalkan semuanya. Bahan, dan alat pendukungnya sudah rampung. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari, bip bip bip klek...
"Ayaang... Kamu belum tidur?", kaget Vano.
"Belum kak. Kenapa malah pulang, kan aku blg ngga usah. Bahaya tahu."
"Heheh... Aku mana bisa tidur kalo ngga meluk kamu Ayaang... ", cup..
Deg
Patah
Patah
Se patah patahnya.
"Aromanya? AROMA SIAPA INI??!!!! ", jeritnya dalam hati.
Vano bercerita dia sudah merancang sesuatu untuk gebrakan baru Number, hanya itu yang ia dengar sisanya tidak. Karena suara pria itu sudah menggema-gema ditelinganya, ia tidak bisa mendengarkan apapun.
PRIANYA SUDAH BERHIANAT.
PRIANYA ... SUDAH TIDUR DENGAN WANITA LAIN.
Rachel merasa tenggorokannya panas sekali, otaknya berasa mengkerut. Paru-parunya susah sekali mengembang. Semua sesak dan pengap. Vano menangkap gelagat aneh dari Rachel, kekasihnya itu terlihat berat sekali untuk bernapas, ia gemetar hebat.
"Yaang.... Ayang.... Yaang... ".
Rachel hanya terus dengan napasnya yang sesak itu, sementara Vano juga sudah panik. Ia belum pernah mendapati Rachel seperti ini.
"Yaang... RACHEL... KAMU DENGAR AKU.. ? RACHELL.... ", teriak Vano.
"O-Obat K-kak... To-tolonghh.. . Di tas kerja, p-pouch biru... ce-cepath... ", serunya gelagapan berusaha tetap duduk meski sebenarnya ia ingin tumbang.
Vano secepat mungkin mencari benda yang disebutkan Rachel. Beruntunglah ia segera menemukan, memberikan obat itu sekaligus air untuk meminumnya. Bukan hanya Rachel yang terengah-engah, Vano juga ikut-ikutan.
"Panic Attacknya kambuh ya? ", tanya Vano setelah Rachel terlihat lebih tenang. Rachel hanya diam, tidak menjawab.
"Kenapa Yaang? Itu ada pemicunya kan? Kamu mikirin apa kok sampai segitunya? Ngga ada darah disini? Kenapa bisa kumat?".
Rachel tidak menjawab, ia mati-matian menahan air matanya. Lalu berlari ke kamar tanpa bicara apapun lagi dan tumpah lah air mata itu tanpa permisi.
"Yaang... Kamu kenapa? Ada masalah apa?".
"Aku ngantuk kak.. ", jawabnya pendek.
Vano tidak menjawab apapun lagi, lalu ia ikut merebahkan kan diri dan memeluk punggung kesayangannya itu.
"K-kak... ", dengan sedikit isakan yang terlepas dari mulutnya.
"Apa sayang? Ada yang sakit?. "
"Bisa ngga kamu ganti baju dulu?", tanya Rachel pelan.
"Oh iya Yaang, bentar ya." Meski ia bingung, ia tetap melakukan permintaan Rachel, dan kembali dengan cepat.
"Yaang...? Aku punya salah? Jangan diem begitu, kamu bisa omongin ke aku."
"Ngga, ngga ada yaang. Ayo tidur, jangan lepas aku, peluk aku." seru Rachel lirih.
Vano diam. Ia bingung sekarang, pikirannya ribut sekali. Ada apa dengan wanitanya? Rachel tidak mengatakan apapun tapi ia yakin ada sesuatu yang terjadi yang sangat mengganggu wanitanya itu.
"Yaang... Aku cinta kamu." Bisik Vano.
.
.
.
TBC... 💜