Zharagi Hyugi, Raja ke VIII Dinasti Huang, terjebak di dalam pusara konflik perebutan tahta yang membuat Ratu Hwa gelap mata dan menuntutnya turun dari tahta setelah kelahiran Putera Mahkota.
Dia tak terima dengan kelahiran putera mahkota dari rahim Selir Agung Yi-Ang yang akan mengancam posisinya.
Perebutan tahta semakin pelik, saat para petinggi klan ikut mendukung Ratu Hwa untuk tidak menerima kelahiran Putera Mahkota.
Disaat yang bersamaan, perbatasan kerajaan bergejolak setelah sejumlah orang dinyatakan hilang.
Akankah Zharagi Hyugi, sebagai Raja ke VIII Dinasti Huang ini bisa mempertahankan kekuasaannya? Ataukah dia akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs Dream Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Strategi Pembalasan
Malam itu, di bawah langit yang gelap tanpa bintang, Tarei menyiapkan rencana licik untuk mengecoh musuh. Bersama Hwa Ming, dia membantu panglima muda itu mengenakan pakaian dan baju zirah kerajaan yang khas milik Zharagi. Rambut Hwa Ming ditata mirip seperti Zharagi, dan dia juga diberi topi mahkota sederhana yang selalu dikenakan sang Raja di medan perang.
"Ingat," ucap Tarei dengan nada serius, sambil mengikat tali baju zirah. "Kamu hanya perlu muncul di depan pasukan musuh, berikan mereka waktu untuk mempercayai bahwa kamu adalah Raja. Tidak perlu terlalu lama. Fokus kita adalah memberi waktu bagi Yang Mulia untuk menyusup ke benteng mereka."
Hwa Ming mengangguk, meski wajahnya tampak sedikit tegang. "Aku paham. Tapi jika mereka berhasil mengetahui aku bukan Raja yang sebenarnya, aku tidak yakin aku bisa keluar dari sana hidup-hidup."
Tarei menepuk bahunya dengan tegas. "Itu risiko yang harus kita ambil. Yang Mulia Zharagi percaya padamu, dan begitu pula aku. Jangan buat pengorbanan ini sia-sia."
Di tempat lain, Zharagi mempersiapkan kelompok kecilnya yang terdiri dari prajurit-prajurit terbaik. Mereka mengenakan pakaian gelap untuk menyatu dengan bayangan malam. Saat Hwa Ming dan sebagian besar pasukan menuju ke utara untuk memancing perhatian musuh, Zharagi dan kelompok kecilnya akan menyusup ke selatan, langsung menuju benteng utama.
"Yang Mulia," ujar Tarei, menghampiri Zharagi sebelum keberangkatan mereka. "Hwa Ming akan melakukan yang terbaik, tapi kau harus berhati-hati. Jika sesuatu terjadi pada dirimu, kerajaan ini akan jatuh dalam kekacauan."
Zharagi menatap Tarei dengan sorot tegas. "Aku tahu risikonya, Tarei. Tapi kita tidak punya pilihan. Jika benteng utama mereka jatuh, perang ini akan segera berakhir. Aku tidak akan membiarkan pengkhianatan dan penghinaan ini berlanjut."
Tarei mengangguk dengan berat hati, lalu memberi salam hormat.
Di medan pertempuran, Hwa Ming memimpin pasukan besar yang tampak seperti kekuatan utama kerajaan. Dengan pakaian Zharagi, ia berdiri gagah di atas kuda, melambai kepada musuh dari kejauhan.
Musuh yang mengira bahwa Zharagi telah memimpin seluruh pasukannya ke arah utara segera mengerahkan kekuatan besar untuk menghadapi mereka. Hwa Ming, dengan kecakapan strateginya, memainkan peran itu dengan sempurna, memimpin pasukan dalam gerakan defensif yang terorganisir untuk mempertahankan waktu sebanyak mungkin.
Sementara itu, Zharagi dan kelompok kecilnya bergerak diam-diam melalui hutan lebat di sisi selatan. Jalan menuju benteng penuh dengan jebakan, tapi mereka berhasil menghindari semuanya berkat informasi dari para pengintai.
Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di tembok besar benteng musuh. Zharagi menatap ke atas, ke arah para penjaga yang berpatroli di sepanjang dinding. Dengan isyarat tangan, dia memerintahkan salah satu prajurit untuk memanjat dengan tali dan kait.
Setelah penjaga pertama berhasil dihabisi tanpa suara, Zharagi dan kelompoknya menyusup ke dalam benteng.
Di dalam benteng...
Benteng musuh dipenuhi aktivitas, para prajurit sibuk mempersiapkan serangan berikutnya, tidak menyadari bahwa Raja Zharagi ada di antara mereka.
"Ikuti aku," bisik Zharagi pada kelompoknya. Mereka bergerak cepat melalui lorong-lorong gelap, mencari jalan menuju ruang utama tempat pemimpin musuh biasanya berstrategi.
Di ruang strategis, pemimpin musuh sedang membahas peta pergerakan pasukan Hwa Ming, yakin bahwa mereka telah mengepung Raja yang sebenarnya.
Zharagi tersenyum dingin. "Sekarang giliran kita yang mengejutkan mereka."
Dalam hitungan detik, kelompok kecil Zharagi menyerbu masuk. Pertarungan sengit terjadi di dalam ruangan sempit itu, tetapi kelompok Zharagi yang terlatih berhasil merebut kendali dengan cepat.
"Bawa mereka keluar," perintah Zharagi pada anak buahnya, sambil menunjuk para pemimpin musuh yang berhasil ditangkap hidup-hidup. "Kita akan membuat mereka menjadi contoh bagi yang lain."
Zharagi lalu berdiri di jendela besar yang menghadap ke arah luar benteng, memandang pasukan musuh di kejauhan. Dengan pedang yang masih meneteskan darah, ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Benteng ini milik kita sekarang!" serunya dengan suara yang menggema.
Pasukan musuh di luar benteng mulai panik ketika menyadari bahwa mereka telah dikecoh. Sorakan kemenangan mulai terdengar dari prajurit-prajurit Zharagi yang telah berhasil menyusup ke dalam benteng.
Sementara itu, di medan utara, Hwa Ming yang mulai terdesak tersenyum lega saat melihat isyarat api yang dikirim dari benteng utama—tanda bahwa Zharagi telah berhasil.
"Kita sudah menang," bisiknya pelan, sebelum memerintahkan pasukannya untuk mundur secara terorganisir, mengarahkan musuh ke arah jebakan terakhir yang telah dipersiapkan oleh pasukan cadangan.
Kemenangan Zharagi atas benteng utama musuh adalah titik balik perang ini, dan ia tahu bahwa langkah berikutnya adalah membawa Lady Ira ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan pengkhianatannya.
Zharagi berdiri di aula besar benteng utama yang kini menjadi miliknya. Dinding yang tadinya dipenuhi lambang musuh kini diruntuhkan, menyisakan jejak kemenangan pasukan Dinasti Hwang. Para pemimpin musuh yang telah ditangkap diikat di tiang-tiang besar, menundukkan kepala mereka dengan malu dan takut.
Tarei memasuki ruangan dengan langkah cepat, membawa laporan dari utara. "Yang Mulia," katanya, memberi hormat. "Pasukan Hwa Ming telah berhasil memancing musuh ke jebakan terakhir. Mereka kini dalam kekacauan dan mundur ke arah selatan. Kemenangan kita sudah di depan mata."
Zharagi tersenyum tipis, meskipun matanya tetap menyiratkan ketegasan. "Hwa Ming telah melakukan tugasnya dengan baik. Setelah perang ini berakhir, aku ingin dia diberi penghargaan atas pengorbanannya."
Namun, sebelum Tarei bisa merespons, seorang prajurit pengintai masuk tergesa-gesa. "Yang Mulia! Kami menemukan seseorang yang tampaknya bekerja dengan musuh. Seorang wanita berpakaian seperti bangsawan Hwang. Dia mencoba melarikan diri, tetapi kami berhasil menangkapnya."
Zharagi langsung berdiri. "Bawa dia ke sini."
Tak lama kemudian, Lady Ira dibawa masuk ke aula, tangannya diikat, dan wajahnya memancarkan campuran antara ketakutan dan kesombongan. Ia masih mengenakan gaun mewah dengan lambang keluarga kerajaan, meskipun sudah lusuh akibat perjalanan melarikan diri.
"Lady Ira," kata Zharagi dengan suara dingin. "Bibi yang terhormat. Aku tidak menyangka kau akan berakhir seperti ini, berdiri di hadapanku sebagai pengkhianat."
Lady Ira mendongak dengan tatapan tajam. "Aku melakukan ini untuk keluarga kita," katanya. "Kau terlalu muda untuk memahami bagaimana dunia bekerja. Jika kau mati, Dinasti Hwang akan membutuhkan pemimpin yang lebih bijaksana."
Zharagi tertawa pendek, tanpa humor. "Bijaksana? Pengkhianatanmu telah membuat ribuan nyawa terancam. Kau bahkan menjual peta pasukan kita kepada musuh! Apa kau pikir itu bijaksana?"
Lady Ira membisu, tapi matanya tetap menyiratkan keberanian.
"Tangkap dia dan siapkan untuk diadili di hadapan Dewan Istana," perintah Zharagi. "Biarkan rakyat tahu siapa yang mencoba menghancurkan kerajaan ini dari dalam."
Keesokan Harinya
Setelah kemenangan besar ini, Zharagi memimpin pasukannya kembali ke perbatasan dengan membawa Lady Ira sebagai tahanan. Di sepanjang jalan, pasukan Hwang disambut dengan sorakan rakyat yang bersyukur atas kemenangan mereka.
Di dalam tenda perkemahan, Tarei menemui Zharagi yang sedang mempelajari peta baru untuk strategi berikutnya.
"Yang Mulia," ujar Tarei pelan. "Dengan benteng utama musuh di tangan kita dan Lady Ira sebagai tahanan, perang ini hampir selesai. Namun, musuh yang tersisa masih cukup kuat untuk memberikan perlawanan. Apa langkah kita berikutnya?"
Zharagi menatap Tarei dengan sorot tajam. "Kita tidak akan memberi mereka waktu untuk pulih. Sebelum mereka bisa menyusun strategi baru, kita akan menyerang markas utama mereka di lembah timur. Tapi sebelum itu, aku ingin pesan dikirim ke istana."
"Pesan apa, Yang Mulia?"
Zharagi menarik napas dalam-dalam. "Kirimkan kabar kemenangan ini kepada Ratu dan Mei Li. Pastikan Putera Mahkota dilindungi dengan baik. Aku tidak ingin ada celah bagi musuh atau pengkhianat lain untuk merusak apa yang telah kita perjuangkan."
Tarei mengangguk dan segera pergi untuk mengatur pengiriman pesan.
Di istana, kabar kemenangan Zharagi membawa kelegaan besar, terutama bagi Mei Li yang terus memantau dari kejauhan. Namun, di balik rasa lega itu, ada kekhawatiran yang tak bisa ia hilangkan.
Mei Li berjalan ke balkon kamar Putera Mahkota, memandang ke arah cakrawala. "Yang Mulia..." gumamnya pelan. "Aku harap kau tetap aman, di mana pun kau berada."
Ratu, yang kebetulan melewati balkon, berhenti sejenak. Ia mengamati Mei Li dengan tatapan tajam namun tak berkata apa-apa. Namun, senyum tipis yang samar terlihat di wajahnya.