Istri mana yang tidak bahagia bila suaminya naik jabatan. Yang semula hidup pas-pasan, tiba-tiba memiliki segalanya. Namun, itu semua tidak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang akhirnya mengangkat derajat keluarga nyatanya justru melenyapkan kebahagiaan Jihan.
Suami yang setia akhirnya mendua, ibu mertua yang penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya.
Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula Fahmi hadir kembali bersamaan dengan wanita masa lalu Aidan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13~ BUKAN ORANGNYA YANG AKU TANGISI TAPI PERLAKUANNYA
GAES, SORRY YA BARU BISA UPDATE. KEMARIN AKU ADA ACARA KELUARGA JADI BARU SEMPAT NULIS. 🙏🙏🙏
.
.
.
Bu Neny mendengus kesal seraya menjatuhkan sapu ke lantai, ia baru saja selesai membersihkan rumah. Hal yang rutin dilakukannya beberapa hari belakangan sejak tidak ada Jihan.
"Ini si Fahmi kapan sih nyari pembantu? Cuma ngomong aja terus tapi gak dicariin! Baru nyapu aja tanganku udah terasa keram, belum lagi cucian piring numpuk gitu di dapur!" Gerutunya, lalu segera menuju kamar Windi.
"Windi," panggilnya sembari mengetuk pintu kamar.
Tak berapa lama kemudian Windi pun membukakan pintu kamarnya, "Kenapa, Bu?" Tanyanya, ekspresi wajahnya terlihat sedikit kesal, sebab ia sedang rebahan menonton televisi saat ibu mertuanya mengetuk pintu kamarnya dengan cukup keras.
"Windi, kamu jangan di kamar terus dong. Ayo bantuin Ibu, itu di dapur cucian piring numpuk. Ibu capek bersih-bersih rumah." Keluh bu Neny dengan memasang wajah memelas.
"Aduh, Bu. Bukannya aku gak mau bantuin, tapi kan Ibu tahu sendiri kalau Mas Fahmi ngelarang aku mengerjakan pekerjaan rumah. Aku gak boleh kecapean, Bu, nanti bisa beresiko sama kandungan aku. Ibu sabar aja dulu, kalau sudah sempat Mas Fahmi pasti cari pembantu, kok." Ucap Windi.
"Windi, justru Ibu hamil itu bagus banyak gerak, biar gak seret kalau lahiran nanti. Lagian cuma cuci piring aja, kok. Gak bakal buat kamu kecapean banget,"
Windi menghela nafas sembari menatap kearah lain, "Iya Bu, aku cuci piring." Ujarnya, kemudian lekas menuju dapur. Sementara bu Neny pergi ke kamarnya untuk beristirahat.
Begitu sampai di dapur, ia menghentakkan kakinya kesal begitu melihat tak hanya cucian piring yang menumpuk, tapi dapur juga terlihat berantakan.
"Enggak enggak, aku gak bisa ngerjain ini semua." Windi mengeluarkan ponsel dari saku bajunya lalu segera menghubungi Fahmi.
Tak membutuhkan waktu lama, sambungan teleponnya pun terhubung.
"Halo Sayang," ucap Fahmi.
"Mas, aku ganggu, gak?" Tanya Windi.
"Enggak sih, ini kebetulan aku baru aja keluar dari ruang meeting sama Pak Vano. Ada apa, tumben nelpon jam segini?"
"Kapan sih, Mas Fahmi nyari pembantu? Aku capek tahu, semenjak gak ada Mbak Jihan jadi aku yang ngerjain semua pekerjaan rumah. Ini cucian piring numpuk, dapur juga berantakan, aku mau beresin tapi badannya aku rasanya lemas, Mas." Ujar Windi, dengan suara yang dibuat-buat terdengar lemah.
"Loh, aku kan sudah bilang sama Ibu untuk mengerjakan itu sementara. Nanti kalau aku udah gak sibuk lagi bakal langsung ke yayasan penyedia jasa asisten rumah tangga." Ucap Fahmi.
"Tapi nyatanya aku yang ngerjain semuanya, Mas. Aku baru udah nyapu aja pinggangku terasa pegal, apalagi kalau aku harus mengerjakan yang lainnya juga. Ini aja aku belum makan, Mas. Tadi Ibu cuma bikin makanan untuk dia sendiri aja, gak buatin untuk aku juga."
Di sana, Fahmi mengurut batang hidungnya sembari membuang nafas kasar. "Ya ampun, Ibu!" Gumamnya kesal. Padahal ia sudah meminta ibunya untuk mengambil alih pekerjaan rumah selagi ia belum mendapatkan asisten rumah tangga. Dan meminta sang ibu untuk memperhatikan kebutuhan istrinya, bukan malah menyuruh mengerjakan pekerjaan rumah.
"Udah udah gak usah kamu kerjakan, biarin aja semuanya kayak gitu. Sekarang kamu siap-siap, sebentar lagi aku akan jemput kamu. Kita makan siang di luar," ujar Fahmi lalu menutup sambungan telponnya.
Windi seketika bersorak senang, ia langsung menuju kamarnya dengan langkah riang. Setelah selesai bersiap-siap, ia duduk manis di sofa yang berhadapan langsung dengan jendela. Dari situ ia bisa melihat kedatangan suaminya.
Tak berselang lama, suara klakson mobil Fahmi pun terdengar. Windi segera mengubah posisi yang semula duduk santai itu, merentangkan kedua kakinya selonjoran sambil memijat mijat pelan betisnya.
Setelah memarkirkan mobilnya, Fahmi bergegas turun dan langsung melangkah cepat memasuki rumah. Saat menuju kamarnya, panggilan sang ibu menghentikan langkahnya.
"Fahmi," Bu Neny yang hendak ke dapur itu, lekas menghampiri putranya. "Jam segini kamu kok sudah pulang?" Tanyanya.
Fahmi tak langsung menjawab, ia menghela nafas sembari berdecak pelan. "Aku pulang untuk jemput Windi makan siang di luar. Ibu kenapa sih, tega banget bikin makanan sendirian dan gak buatin untuk Windi juga? Malah menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah, padahal aku sudah minta tolong sama Ibu untuk mengerjakannya sementara aku belum mendapatkan asisten rumah tangga. Windi lagi hamil, Bu, dia gak boleh kecapean!"
Ekspresi wajah bu Neny seketika berubah, keningnya berkerut tipis mendengar ucapan putranya, "Fahmi, kamu jangan mengada-ada ya. Dari pagi Ibu yang membersihkan rumah, dan Ibu cuma tolong sama Windi untuk cuci piring, pekerjaan yang gak menguras banyak tenaga. Dan asal kamu juga tahu, ibu baru aja mau ke dapur buat makanan. Dari pagi Ibu juga belum makan Fahmi!"
"Jadi, Ibu mau bilang kalau Windi yang mengada-ada, begitu?" Ujar Fahmi.
"Jadi Windi yang bilang begitu sama kamu?" Tanya bu Neny.
"Iya, makanya aku pulang mau jemput dia untuk makan siang di luar," jawab Fahmi, tatapannya sedikit tajam. "Aku kecewa sama Ibu!" Ucapnya lalu bergegas menuju kamarnya, dan mendapati Windi sedang memijat kakinya sendiri. Ia langsung berjongkok di hadapan istrinya itu dan membantu memijatkan. "Kakinya pegal ya? Ini pasti karena kamu kecapean."
"Iya nih, Mas, pegal kakiku."
"Ibu benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya memperlakukan kamu seperti ini." Fahmi berdecak kesal, "Udah siap, kan? Kita pergi sekarang."
"Iya, Mas. Aku juga udah laper nih."
Fahmi lalu merangkul istrinya keluar dari kamar, dan mendapati bu Neny telah berdiri di depan pintu.
"Windi, kenapa kamu bilang sama Fahmi kalau Ibu menyuruh kamu... ."
"Udah, Bu!" Potong Fahmi, helaan nafasnya terdengar memburu. Sorot matanya tersirat kekecewaan terhadap ibunya. "Gak usah mencoba melakukan pembelaan, dan aku juga gak ada waktu dengerin celotehan Ibu. Sekarang Windi lapar, Bu. Aku harus segera bawa dia makan di luar," ujar Fahmi, kemudian kembali merangkul istrinya pergi.
Bu Neny menatap kepergian keduanya dengan mata berkaca-kaca. Anak menantunya ingin pergi makan siang di luar, sementara ia sendiri juga belum makan sejak pagi. Dan yang lebih membuatnya tak menyangka, bisa-bisanya Windi mengadukannya yang tidak-tidak pada putranya sendiri.
.
.
.
"Mbak Jihan, tolong antarkan ini ke meja nomor 11 ya. Aku kebelet banget, Mbak." Pinta salah seorang pelayan restoran seraya memberikan nampan berisi makanan pada Jihan.
"Siap, Mbak." Ucap Jihan antusias. Ia pun langsung menuju meja nomor 11 dengan penuh semangat. Ia tak pernah mengeluh meski beberapa temannya sesama pelayan sering menyuruhnya ini dan itu. Diterima bekerja tanpa persyaratan yang sulit saja, ia sudah sangat bersyukur.
Begitu sampai di meja nomor 11, jihan seketika mematung saat melihat ternyata Fahmi dan Windi yang berada di sana.
"Oh, sudah dapat pekerjaan kamu rupanya." Fahmi tersenyum sinis sembari menatap remeh seragam yang dikenakan Jihan. "Pelayan!" Ucapnya.
Jihan menahan nafas, sebisanya ia menahan agar air matanya tidak jatuh. Padahal, ia sudah memantapkan hati untuk berpisah, tapi entah kenapa rasanya masih saja sakit.
"Silahkan dinikmati hidangannya," ucapnya seraya meletakkan makanan di meja. Berusaha mengabaikan mereka yang menatapnya remeh. Setelahnya ia pun bergegas pergi bersamaan dengan setetes air matanya yang jatuh.
'Ya Allah, sebenarnya bukan orangnya yang aku tangisi, tapi perlakuannya. Selama ini aku sangat tulus mendampinginya, tapi kenapa aku diperlakukan seperti ini. Ternyata benar, siapa yang mencintai paling dalam maka dialah yang paling berantakan. Siapa yang terlalu sayang, maka dialah yang akan terbuang.'
hadech mama Kiara jangan galak2 dong bisa jantungan itu si Jihan papa Denis berasa Dejavu g tu anaknya mau mepet janda 🤭🤭🤭
ayo om dokter Pepet terus jangan kasih kendor dah pasti dibantuin nyomblangin kok ama bang Rian n Nayra 🤭🤭🤭