Di sekolah, Dikta jatuh hati pada gadis pengagum rahasia yang sering mengirimkan surat cinta di bawah kolong mejanya. Gadis itu memiliki julukan Nona Ikan Guppy yang menjadi candunya Dikta setiap hari.
Akan tetapi, dunia Dikta menjadi semrawut dikarenakan pintu dimensi lain yang berada di perpustakaan rumahnya terbuka! Pintu itu membawanya kepada sosok gadis lain agar melupakan Nona Ikan Guppy.
Apakah Dikta akan bertahan dengan dunianya atau tergoda untuk memilih dimensi lain sebagai rumah barunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellowchipsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sayang Tata!
...٩꒰。•‿•。꒱۶...
...𝙏𝙐𝘼𝙉 𝙆𝙐𝘿𝘼 𝙇𝘼𝙐𝙏 & 𝙉𝙊𝙉𝘼 𝙄𝙆𝘼𝙉 𝙂𝙐𝙋𝙋𝙔...
...© Yellowchipsz...
...—Yang memegang peringkat atas pun bisa keliru, maka jadilah manusia yang berbesar hati.—...
...♡˖꒰ᵕ༚ᵕ⑅꒱...
"Napsuan amat lo mau duel. Eh!" kaget cowok bernama Bruno itu saat melihat sosok Saila di dalam kelas. "Calon bini gue 'kok di kelas lo, Ta?!"
"Punya gue, jangan ganggu!" tekan Dikta yang menendang kotak sampah ke arah Bruno.
"Hah?! Saila punya lo?" kaget Bruno mendengarnya. Baiklah, dia mengiyakan saja daripada dihajar Dikta. "Ngomong-ngomong, gue lihat Juna tadi habis dari arah sini."
"Lo masih ngebully Arjuna?" tanya Dikta menatap runcing.
Bruno menggeleng dengan kekehannya. "Haha! Woy, Dikta! Itu udah masa lalu. Kenapa masih dibahas, sih? Takut amat kalau Arjuna dibully lagi. Yang lebih penting sekarang, gue ketinggalan berita hot SMA Permata Laut! Bocorinlah, gimana ceritanya Saila ... habis dari Arjuna, pindah ke elo?"
Dikta mendengus.
"O-kay! Gue pamit!" mundur Bruno tersenyum kecut untuk Dikta. "Kabarin kalau lo mau gabung geng gue, Ta! Skull terbuka lebar buat lo."
Dikta berdecih, "Heh! Gue udah punya geng sendiri. Namanya HUMAS!" Barusan Dikta menyebut nama geng dari buku Bukan Malaikat Hujan. Dikta pun menepuk bibirnya yang sudah lancang menceplos sendiri. (HUMAS: HUjan MAnis Squad) 🌧🍬
"HUMAS? Nggak pernah denger pun. Nggak terkenal keknya, sih! Geng gue nomor satu di sini! SKULL!" bangga Bruno menunjukkan jari tengah pada Dikta.
...٩꒰๑• ³•๑꒱۶...
Usai keributan itu, kelas 12 IPA 2 dihadapkan dengan kepusingan mengerjakan soal matematika. Yang terlihat paling tenang mengerjakan adalah Dikta, Saila, Lingga, dan Puri.
Murid-murid lainnya berpencaran dari kursi dan berniat mencontek tugas kepada salah satu juara kelas. Setelah berkeliling mengumpulkan jawaban, mereka semua kesulitan mendapatkan jawaban nomor terakhir. Hanya Dikta dan Lingga yang sudah memecahkan misteri ilmu hitung tersebut. Namun, ada hal yang bikin ricuh lagi, jawaban Dikta dan Lingga sangat bertentangan.
Saila yang belum selesai menulis sampai nomor akhir pun menjadi penasaran ingin menyelidiki.
"Yang benar yang mana, sih???" bingung Puri melihat jawaban Dikta dan Lingga bergantian sampai mukanya teler.
Saila mencoba mencermati kedua jawaban itu. Kemudian, dia tersenyum ke arah Dikta sebagai tanda bahwa jawaban Dikta yang mendapat nilai benar. Saila pun mengatakan, "Jawaban Dikta yang ben-"
"Eh, salah!" cegah Dikta yang berusaha menyembunyikan buku tulis dari semuanya. "P-punya gue kayaknya ada yang salah, punya Lingga yang bener!"
"WOY!!!" kesal Lingga atas kebiasaan Dikta itu. "Udah tahu jawaban gue salah, malah bilang kalau jawaban gue bener! Waras lo?!"
"Nggak! Gue emang gila dari dulu!" balas Dikta meruap-ruap.
"Memang pantes lo nularin gue gila!" balas Lingga lelah berdebat.
Sekelas bengong menunggu secercah cahaya kebenaran jawaban.
Muka Dikta sampai bingung harus berlaku seperti apa. Dikta tidak ingin Lingga ciut karena jawaban Lingga ada yang keliru.
"Peringkat satu juga bisa keliru!" kesal Lingga yang merebut buku tulis Dikta, "Pinjam, mau nyontek!"
"Hahah!" tawa Saila tidak kuasa dengan tingkah Lingga. Seru sekali berada di kelas 12 IPA 2 yang bercandanya 80% menyehatkan tubuh, sedangkan di 12 IPA 1 teramat khusyuk sampai tawa pun jarang terdengar.
Dikta mengangkat alis atas permintaan Lingga untuk mencontek. "O-oke."
"Baikan dong!!!" goda Puri pada Lingga dan Dikta bergantian.
Lingga menyalin jawaban Dikta karena sedang malas berpikir. "Nyontek bukan berarti damai!" gengsinya sambil menulis dan dikerumuni oleh murid-murid lainnya yang ingin melihat buku Dikta.
Saila ikut nimbrung, "Apa Lingga beneran benci sama Dikta?"
"NGGAKLAH!" jawab Puri sebal dengan Saila sambil menyalin jawaban Dikta ke bukunya.
"Huhft!" sebal Saila tak berminat meladeni Puri.
"Benci!" jawab Lingga dengan wajah sebal yang dibuat-buat.
"Halah!" dongkol Dikta yang malas menoleh ke bangku Lingga. Lebih baik Dikta memandangi keanggunan Saila yang berada di depannya. "Saila udah selesai jawab soalnya?"
"Udah!" angguk Saila, "Jawabanku sama kayak Dikta!"
"Kamu nanti pulang sama siapa?" tanya Dikta lebih dekat.
"Dijemput mamaku karena mama lagi nggak sibuk," jawab Saila penuh semarak.
Dikta mengangguk paham. "Oh, dijemput mama. Terus, kalau misal mama kamu sibuk, biasanya gimana?"
"Biasanya ... Juna yang nganter," jawab Saila dengan wajah menyimpan tekanan.
Dikta mengembus napas gusar. Sebenarnya, dia ingin bertanya lebih dalam mengenai bagaimana hubungan Saila dan Arjuna yang sesungguhnya. Saila terlihat biasa saja, sedangkan Arjuna begitu terobsesi. Namun, Dikta menahan dulu dan tidak ingin terlalu tergesa, lalu dia bertanya lagi, "Besoknya? Apa boleh kamu nggak dijemput mama?"
"Maksud Dikta?" tanya Saila semringah.
"Aku yang anter pulang besok, gimana?" tanya Dikta penuh harap.
Saila tersipu. "Nanti aku nanya mamaku dulu, ya. Kalau dibolehin berarti Dikta bisa antar aku pulang besok."
"Semoga dibolehin!" harap Dikta menyatukan kedua tangannya, membuat Saila terkekeh manis.
Dikta dan Saila pun saling bertukar nomor telepon pribadi.
Menunggu Saila untuk jujur, itu makin menarik bagi Dikta. Tuan Kuda Laut ini akan bersabar sampai Nona Ikan Guppy mengaku!
...٩꒰๑• ³•๑꒱۶...
Bel pulang sudah berbunyi setengah jam yang lalu.\~
Dikta belum pulang karena tadi mendapat telepon dari pak Satria. Dia menjalani hukuman membersihkan dan merapikan meja kerja pak Satria gara-gara pantun nakal yang diucapkannya saat bel masuk setelah istirahat tadi.
"Ya ampun, Pak ... Pak. Ini meja, apa sarang rambut keramatmu, Pak?! Kalau dilihat sama nenek, meja amburadul kayak gini ... hmmm, pasti kepala Bapak dijitak pakai sapu!" oceh Dikta sendiri sekalian merapikan beberapa buku.
Seragam atas Dikta dilepas sementara lantaran gerah, menyisakan kaos oblong putihnya yang mandi keringat.
Setelah tugasnya selesai, Dikta baru terkenang sesuatu yang penting. "Astaga! Kan lupa!" sesalnya yang terselap memata-matai Nona Ikan Guppy.
Dikta segera keluar dari pintu kantor sambil berpamitan dengan penjaga ruang, lalu ia bersicepat menuju kelasnya.
Sesampainya di tempat tujuan, Dikta mengatur ritme napas sembari memasuki kelasnya yang kosong. Dia langsung memeriksa kolong mejanya.
Jeruk cokelat darinya sudah tidak ada dan terdapat kertas surat yang baru. Itu artinya, sosok Nona Ikan Guppy sudah daritadi masuk ke sini untuk memberi surat balasan.
Dikta lagi-lagi gagal memergokinya. Sedih, tapi rautnya berubah tersentuh saat membaca kata-kata pembukaan di surat baru dari sang Nona.
💌dari Nona Ikan Guppy: ****Sayang Tata! 🤎🤎🤎🤎🤎
"Sayang Pypy juga," lirih Dikta bergetar—kesal dengan Nona Ikan Guppy yang masih belum mau mengaku juga, tapi renjana mengkalbu tak terbendung.
Dikta menyimpan surat itu ke dalam tasnya dan berniat menaruh balasannya di bawah kolong meja besok pagi. Inginnya pulang membuang letih dan memeluk Nenek.
Dikta berjalan gagah ke parkiran motornya yang sudah sepi. Tidak ada kegiatan ekskul hari ini sehingga suasana sekolah begitu sunyi. Tinggal penjaga sekolah dan sisa guru lainnya sudah keluar dari gerbang juga.
Sesaat kemudian, Dikta terkejut ketika melihat di parkiran mobil yang berada di luar sekolah, masih ada mobil Lingga yang nangkring di sana.
Kok mobil Lingga masih ada? Berarti dia belum pulang, batin Dikta merasakan keganjilan.
Terasa deras sarayu berhembus diramaikan kelabu sang penampung air kurnia bumi yang selalu dinanti Dikta.
📲 Drrtttt!
Dikta mengambil smartphone dari saku celananya, lalu terperangah melihat nomor Saila memanggilnya. Dia senang bukan main dan segera mengangkatnya.
📞"Halo, Saila?" sapa Dikta senang.
Tiba-tiba rautnya berubah 180°. Isak ketakutan Saila di telepon membuat Dikta berlari ke suatu tempat. Kakinya berpacu menaiki tangga gedung menuju lantai paling atas—sebuah bidang terbuka yang membuat Dikta was-was, atap datar tempat berandal sekolah bersemayam.
Sesampainya di sana, Dikta mendengar jelas tangisan Saila. Tangisan itu terdengar ganda. Ternyata, ada sosok gadis lain yang menangis, suaranya pun tak asing bagi Dikta, seperti suara Puri.
Saat Dikta melangkah lebih maju, dia melihat Arjuna sedang memarahi Saila, bahkan sang Arogan itu merebut smartphone yang barusan digunakan Saila diam-diam menelepon Dikta.
Arjuna merangkul paksa Saila, lalu memarahi beberapa orang yang berada di ujung atap.
"Gue nyuruh kalian nakut-nakutin dia, bukan nyiksa sampai mati!" cemas Arjuna seperti akan ketiban masalah besar.
Dikta meyakinkan dirinya untuk bergerak lebih maju, setapak demi setapak hingga dia menyaksikan pemandangan cat merah belepotan memenuhi dinding putih kusam. Tidak, itu bukan cat, malah lebih kental dan pekat.
Lemas jantung Dikta saat menyaksikan raga Lingga bersimbah darah dan babak belur, berada di pelukan Puri yang remuk hati.
Bersambung ... 👑