Benci Jadi cinta mengisahkan perjalanan cinta Alya dan Rayhan, dua orang yang awalnya saling membenci, namun perlahan tumbuh menjadi pasangan yang saling mencintai. Setelah menikah, mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti konflik pekerjaan, kelelahan emosional, dan dinamika rumah tangga. Namun, dengan cinta dan komunikasi, mereka berhasil membangun keluarga yang harmonis bersama anak mereka, Adam. Novel ini menunjukkan bahwa kebahagiaan datang dari perjuangan bersama, bukan dari kesempurnaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nike Nikegea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : ketegangan yang terjadi
Meskipun Rayhan dan Alya berusaha untuk tetap seimbang, ketegangan dalam hubungan mereka mulai muncul lagi. Kali ini, masalah datang dari arah yang tak terduga—yaitu pekerjaan Rayhan yang semakin menuntut waktunya, membuatnya harus sering lembur dan kadang meninggalkan Alya sendiri mengurus rumah tangga.
Alya mulai merasa lelah, bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Meskipun Rayhan selalu berusaha memberi waktu untuk keluarga, terkadang pekerjaan membuatnya terpisah secara emosional. Alya mulai merasa bahwa dirinya masih harus melakukan semuanya sendiri, dari mengurus Adam hingga mengatur rumah.
Suatu malam, saat makan malam bersama, Alya tidak bisa menahan rasa kesalnya lagi. “Ray, kamu udah nggak seperti dulu lagi. Aku tahu kamu kerja keras buat kita, tapi aku merasa kamu jauh, bahkan di rumah. Kamu lebih sering sibuk dengan pekerjaanmu daripada kita,” kata Alya, suara sedikit tegang.
Rayhan terkejut mendengar itu. “Alya, aku nggak bermaksud membuatmu merasa seperti itu. Aku memang lagi sibuk banget, tapi kamu tahu kan aku berusaha untuk kita semua? Aku cuma nggak ingin kamu merasa kekurangan.”
Alya menghela napas, menatap Rayhan dengan mata yang sedikit kecewa. “Aku nggak merasa kekurangan, Ray. Aku cuma merasa kita nggak seimbang. Aku juga butuh perhatianmu, kita juga butuh waktu bersama. Aku nggak ingin rumah kita penuh dengan kesepian, meski kita tinggal di bawah atap yang sama.”
Rayhan terdiam sejenak. Dia merasa dilema, merasa bahwa pekerjaannya memang penting, namun dia juga sadar bahwa keluarganya adalah prioritas utamanya. “Aku minta maaf, Alya. Aku benar-benar nggak bermaksud. Aku akan coba lebih meluangkan waktu buat kamu dan Adam. Aku nggak mau kamu merasa sendirian.”
Alya mengangguk pelan. “Aku cuma butuh kamu, Ray. Kita perlu waktu untuk diri kita sendiri. Kalau terus-terusan kayak gini, aku takut kita mulai kehilangan arah.”
Rayhan menggenggam tangan Alya, memandangnya dengan serius. “Aku janji, Alya. Aku nggak akan membiarkan pekerjaan mengganggu hubungan kita lagi. Kita akan cari solusi bersama, agar kita bisa tetap seimbang.”
Setelah malam yang penuh ketegangan itu, Rayhan benar-benar mulai menyadari bahwa pekerjaan bukanlah satu-satunya hal yang bisa memberikan kebahagiaan dalam hidupnya. Keluarga adalah segalanya, dan dia tidak ingin kehilangan itu.
Rayhan memutuskan untuk berbicara dengan atasannya dan meminta sedikit kelonggaran dalam jam kerjanya. Dia mulai mengurangi lembur dan lebih sering membawa pekerjaan ke rumah, agar tidak memisahkan dirinya dari keluarga. Meskipun terkadang masih harus berkompromi dengan deadline, Rayhan berusaha sekuat tenaga untuk tetap berada di rumah lebih banyak.
Sementara itu, Alya mulai merasakan perubahan. Meskipun tidak semuanya langsung berubah, Rayhan mulai lebih meluangkan waktu untuk mereka bertiga. Mereka mulai lebih sering beraktivitas bersama—makan malam keluarga yang tidak terburu-buru, akhir pekan yang dihabiskan di taman, atau hanya menonton film bersama di ruang keluarga.
Mereka mulai berbicara lebih terbuka tentang perasaan mereka, mendiskusikan kebutuhan masing-masing, dan mencari jalan keluar bersama. Rayhan mengakui bahwa terkadang dia terlalu fokus pada pekerjaan, sementara Alya mengerti bahwa tantangan hidup sebagai orangtua dan pasangan memang tidak mudah. Namun, mereka berdua tahu bahwa yang penting adalah usaha untuk menjaga hubungan itu tetap kuat.
Suatu hari, setelah beberapa minggu berjalan, Rayhan mengajak Alya dan Adam pergi ke pantai. Ini adalah salah satu cara mereka untuk menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan dari pekerjaan atau kegiatan sehari-hari. Mereka berjalan bersama di tepi pantai, menikmati angin laut dan tawa Adam yang riang.
“Alya, aku merasa lebih hidup kalau kita bersama seperti ini,” kata Rayhan dengan senyum lebar. “Aku tahu kita harus terus bekerja keras, tapi keluarga ini adalah segalanya buat aku.”
Alya tersenyum, merasa lega dan bahagia. “Aku juga, Ray. Ini yang aku butuhkan—kamu dan Adam. Kita nggak perlu banyak hal, cuma waktu dan perhatian satu sama lain.”
Mereka berhenti sejenak, memandang matahari yang mulai tenggelam di balik cakrawala. Rayhan merangkul Alya, sementara Adam berlari-lari kecil di sekitar mereka. Semua terasa begitu sempurna, meski hidup mereka penuh dengan kesibukan dan tantangan.
Bab 35: Akhir yang Baru
Waktu berlalu, dan Rayhan serta Alya semakin menemukan keseimbangan dalam hidup mereka. Setelah berbagai cobaan, mereka mulai menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah tentang kesempurnaan, tapi tentang bagaimana mereka saling mendukung, menghargai, dan berjuang bersama melewati segala hal.
Rayhan yang kini lebih bijak dalam membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, merasa bahwa dia sudah berada di tempat yang tepat. Tidak lagi terjebak dalam rutinitas yang menuntutnya untuk selalu berfokus pada kesuksesan materi, dia mulai lebih menikmati setiap momen bersama Alya dan Adam.
Alya, yang semula merasa terbebani dengan peran ibu dan istri, kini merasakan kebahagiaan yang lebih besar. Dia belajar untuk lebih menerima dirinya, menghargai setiap usaha kecil yang dia lakukan, dan yang terpenting, dia tahu bahwa Rayhan adalah pasangan yang selalu ada untuknya, bahkan saat dunia terasa berat.
Suatu malam, setelah makan malam keluarga yang sederhana namun penuh kehangatan, Rayhan dan Alya duduk bersama di teras rumah mereka. Adam sudah tertidur di kamar, dan suasana di luar terasa tenang. Hanya ada suara angin yang berdesir dan nyanyian malam yang menemani mereka.
Rayhan menatap Alya dengan senyum lembut. “Alya, aku nggak pernah tahu kalau kebahagiaan itu bisa sesederhana ini—duduk di sini, bersama kamu, setelah semua yang kita lewati. Kita udah melewati banyak hal, dan aku merasa kita semakin kuat.”
Alya menggenggam tangan Rayhan, matanya memancarkan cinta dan rasa syukur. “Aku juga, Ray. Dulu, aku pikir kebahagiaan itu soal mencapai sesuatu yang besar, tapi sekarang aku tahu, kebahagiaan itu ada di setiap detik yang kita lalui bersama. Kamu dan Adam adalah rumahku, tempat aku merasa paling aman.”
Rayhan tersenyum, mencium puncak kepala Alya. “Kita sudah menemukan rumah kita yang sebenarnya, ya? Bukan hanya di tempat, tapi di hati kita.”
Alya tertawa kecil, mengangguk setuju. “Iya, kita sudah menemukan tempat di mana kita merasa lengkap. Dan kita nggak akan pernah berhenti berusaha untuk itu, kan?”
Rayhan mengeratkan pelukannya. “Tidak, kita nggak akan pernah berhenti.”
Mereka duduk bersama dalam keheningan, menikmati kehadiran satu sama lain. Tidak ada kata-kata yang lebih penting selain itu, karena mereka tahu bahwa segala yang telah mereka lewati bersama sudah cukup untuk membuktikan betapa kuatnya cinta mereka.
Setahun kemudian, Rayhan dan Alya merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Adam yang kini sudah tumbuh besar dan semakin pintar, ikut merayakan kebahagiaan mereka. Rayhan dan Alya memandang satu sama lain, merasa lebih bersyukur daripada sebelumnya.
“Kita berhasil, Alya. Kita berhasil bertahan,” kata Rayhan, suaranya penuh dengan kebanggaan.
Alya memandangnya dengan mata yang berbinar. “Kita bukan cuma bertahan, Ray. Kita berkembang. Dan ini baru awalnya.”
Mereka saling tersenyum, tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Tetapi, apa pun yang datang, mereka tahu mereka akan selalu ada untuk satu sama lain. Rayhan, Alya, dan Adam—mereka adalah keluarga yang tak tergoyahkan, yang sudah melewati badai, dan sekarang menikmati ketenangan yang mereka ciptakan bersama.
Epilog: Cinta yang Tidak Pernah Padam
Tahun demi tahun berlalu, dan Rayhan serta Alya tetap menjalani kehidupan bersama dengan penuh cinta dan dukungan. Setiap tantangan yang datang hanya mempererat ikatan mereka. Mereka tidak lagi takut menghadapi masa depan, karena mereka tahu bahwa selama mereka bersama, mereka bisa menghadapinya dengan tangan yang saling menggenggam.
Mereka menjadi contoh bagi banyak orang bahwa cinta tidak hanya tentang kebahagiaan yang datang dengan mudah, tetapi tentang komitmen untuk tetap ada untuk satu sama lain, meski dunia terasa penuh dengan cobaan.
Rayhan dan Alya, dengan segala ketidaksempurnaan mereka, akhirnya menemukan kebahagiaan sejati—dalam kesederhanaan, dalam kehadiran satu sama lain, dan dalam cinta yang tak pernah padam.
semangat kak 🤗
sumpah aku jadi ketagihan bacanya 😁😁