Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Bayangan yang Berkhianat
Di dunia yang Ariella kenal, kepercayaan adalah kemewahan yang tidak bisa diberikan sembarangan. Setiap orang yang masuk ke dalam orbitnya memiliki agenda tersembunyi, dan di balik senyuman, selalu ada pisau yang siap menusuk. Setelah pertemuan dengan Darius, Ariella tahu ia sedang menapaki jalan berbahaya, tetapi ia juga tidak punya pilihan lain.
Malam itu, Rael kembali ke ruangan kerja Ariella dengan raut wajah yang menunjukkan bahwa sesuatu telah terjadi. Ia membawa sebuah amplop cokelat yang tebal, tanda bahwa informasi penting sedang dibawanya. Ariella, yang sedang menatap layar laptopnya, segera menutupnya dan mengalihkan perhatian kepada Rael.
“Ada apa?” tanyanya singkat.
Rael meletakkan amplop itu di meja tanpa berkata apa-apa. Matanya bertemu dengan Ariella, menyiratkan bahwa apa pun yang ada di dalam amplop itu akan mengubah permainan.
Ariella meraih amplop itu, membukanya, dan mulai membaca dokumen yang ada di dalamnya. Setiap lembar mengungkapkan sesuatu yang semakin memperkeruh pikirannya. Foto-foto, catatan transaksi, dan rekaman komunikasi yang sudah didekripsi. Semuanya mengarah pada satu kesimpulan: Darius sedang berkomplot dengan organisasi lain di luar kota.
“The Raven Syndicate,” Ariella membaca salah satu nama yang tertulis di dokumen itu dengan suara pelan. Ia menatap Rael, matanya penuh dengan pertanyaan.
Rael mengangguk. “Ya, dia menjalin kontak dengan mereka. Sepertinya mereka ingin menjatuhkan kita sebelum aliansi ini benar-benar berjalan.”
Ariella melempar dokumen itu ke meja dengan frustrasi. “Jadi, ini rencananya. Dia mendekati kita untuk mendapatkan akses, lalu bekerja sama dengan The Raven Syndicate untuk menghancurkan kita dari dalam.”
“Bukan hanya itu,” tambah Rael. “Darius juga mengincar sumber daya kita. Gudang senjata di pelabuhan—itu target utamanya.”
Ariella terdiam, pikirannya berpacu mencari cara untuk menghadapi pengkhianatan ini. Ia tahu bahwa Darius tidak hanya cerdas, tetapi juga sangat licik. Namun, satu hal yang Ariella pelajari selama bertahun-tahun di dunia ini adalah bahwa setiap langkah bisa diprediksi, asalkan kau tahu bagaimana membaca gerakan lawanmu.
“Kita biarkan dia melanjutkan rencananya,” ujar Ariella akhirnya, suaranya penuh tekad.
Rael tampak terkejut. “Maksudmu?”
“Kita biarkan dia berpikir bahwa kita tidak tahu apa-apa,” jawab Ariella. “Jika kita bergerak terlalu cepat, dia akan menyadari bahwa kita sudah mengetahui niatnya. Kita harus menunggu sampai dia membuat langkah pertamanya.”
“Tapi itu berisiko,” bantah Rael. “Jika dia berhasil merebut gudang senjata kita, kita akan kehilangan keuntungan terbesar kita.”
“Itulah sebabnya kita harus berada di sana sebelum dia tiba,” kata Ariella, matanya menyala penuh perhitungan. “Aku ingin kau mempersiapkan tim terbaik kita. Tidak banyak, hanya yang benar-benar bisa kita percaya. Kita akan menyambutnya di pelabuhan dengan kejutan.”
Rael mengangguk, meskipun jelas ada kekhawatiran di wajahnya. “Baik, aku akan mengatur semuanya.”
---
Malam berikutnya, pelabuhan kota itu tampak sunyi. Gudang senjata milik Ariella berdiri kokoh di ujung dermaga, dikelilingi oleh pagar kawat dan kamera pengawas. Dari luar, tempat itu tampak sepi, seolah-olah tidak ada aktivitas yang mencurigakan. Namun, di dalam, Ariella dan timnya sudah bersiap.
Rael, bersama lima orang terbaiknya, berjaga di berbagai sudut gudang. Mereka dilengkapi dengan senjata dan peralatan pengintai, siap untuk menghadapi apa pun yang datang. Ariella sendiri berdiri di salah satu balkon di dalam gudang, memantau situasi dengan teleskop kecil di tangannya.
Pukul dua pagi, suara langkah kaki mulai terdengar dari kejauhan. Melalui teleskopnya, Ariella bisa melihat sekelompok pria berpakaian gelap mendekati gerbang gudang. Di depan mereka, Darius berjalan dengan percaya diri, ditemani oleh dua orang yang jelas bukan dari kelompoknya. Mereka adalah anggota The Raven Syndicate, terlihat dari logo kecil di dada mereka.
“Aku ingin tahu seberapa jauh kau akan melangkah, Darius,” bisik Ariella pada dirinya sendiri.
Darius dan kelompoknya berhasil membuka gerbang tanpa menimbulkan suara. Mereka bergerak cepat, langsung menuju pintu utama gudang. Tapi sebelum mereka bisa masuk, lampu-lampu di sekitar mereka menyala terang, menerangi seluruh area.
Ariella muncul dari balkon, memandang mereka dari atas dengan senyum dingin. “Malam yang indah, bukan?” katanya, suaranya menggema di seluruh gudang.
Darius membeku, jelas tidak menyangka bahwa Ariella sudah menunggunya. Namun, ia dengan cepat memasang wajah percaya diri. “Ariella, aku bisa jelaskan—”
“Tidak perlu,” potong Ariella. “Aku tahu persis apa yang kau coba lakukan. Kau pikir kau bisa mempermainkanku?”
Sebelum Darius sempat menjawab, Rael dan timnya muncul dari berbagai sudut, mengepung kelompok Darius. Dalam hitungan detik, senjata diarahkan kepada mereka. Anggota The Raven Syndicate tampak panik, sementara Darius mencoba menyembunyikan ketakutannya.
“Kau membuat kesalahan besar, Darius,” lanjut Ariella. “Aku memberimu kesempatan untuk menjadi sekutuku, tetapi kau memilih untuk mengkhianatiku. Sekarang, kau harus membayar harga untuk itu.”
Darius mencoba meraih senjata di sabuknya, tetapi sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, Rael sudah menodongkan pistol ke kepalanya. “Jangan coba-coba,” ancam Rael.
Ariella turun dari balkon, berjalan perlahan menuju Darius. “Kau tahu apa yang aku benci lebih dari apa pun, Darius?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh ancaman. “Pengkhianatan.”
Darius terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Keringat dingin mengalir di pelipisnya saat Ariella berhenti tepat di depannya.
“Aku bisa membunuhmu sekarang,” kata Ariella, matanya menusuk seperti pisau. “Tapi aku rasa itu terlalu mudah untukmu. Sebaliknya, aku akan memastikan bahwa kau kehilangan segalanya—kekuasaanmu, reputasimu, dan nyawamu.”
Ariella memberi isyarat kepada Rael, yang segera menangkap Darius dan menyeretnya keluar dari gudang. Anggota The Raven Syndicate lainnya juga ditahan, sementara Ariella berdiri diam, memandangi gudang yang kembali sunyi.
Malam itu, Ariella membuktikan bahwa dia tidak hanya seorang pemimpin yang cerdas, tetapi juga seseorang yang tidak akan pernah membiarkan siapa pun bermain-main dengannya. Namun, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari pertempuran yang lebih besar. Dengan The Raven Syndicate di luar sana, dan ancaman yang terus berdatangan, Ariella harus terus waspada. Di dunia ini, hanya yang terkuat yang bertahan.
Namun satu hal yang pasti: Ariella tidak akan pernah menjadi korban permainan orang lain.